Perkara Atreo dan Ashita tidak hanya mengguncang Rahma, namun juga temannya yang lain. Nayla, salah satunya. Pulang dari rumah Ashita, ia kerap kali termenung. Saat memasak, mandi, atau bahkan ketika mengawasi anaknya bermain.
Sebenarnya ini bukan masalah besar, mengingat di awal masalah itu pecah terjadi hal yang lebih parah.
Sekitar empat tahun lalu, Nayla menerima pesan singkat dari Soja. Dia tidak berpikir buruk sebelumnya, karena biasanya adik tingkat sekaligus sepupu Ashita itu mengirim pesan lucu atau sekadar meme berupa muka suaminya yang sudah diedit, Ditto. Namun, apa yang ia lihat di layar ponselnya sungguh mengejutkan.
Teh Nay, punten. Ini Soja bukan Sona apalagi Saka. Soja mau kabarin, barusan Teh Aci nitipin Adya sama Kirana ke rumah Soja. Waktu ditanya, katanya mau ke pengadilan agama buat urus perceraian sama Aa Teo.
Detik itu juga, Nayla langsung meluncur ke rumah Soja membawa dua anaknya yang masih kecil. Dan benar, ada Adya beserta Kirana di sana. Dua balita itu tampak senang melihat Nayla yang justru sekuat tenaga menahan tangis. Ditambah, Teo tiba-tiba muncul dari dalam mobil kemudian memaksa menemui anaknya.
Selanjutnya yang terjadi tentu dapat ditebak. Benar, dua orang itu cekcok berujung kepala Teo hampir bocor akibat dihajar Nayla menggunakan palu mainan Adya.
“Mama.”
“....”
“Mama, you have two missed calls and some unread messages from Aunty Thala. Seems like she needs to talk to you.” Luna—anak perempuan Nayla—menggoyangkan bahu mamanya agak keras, berusaha meraih atensi. “Mama?”
“Ah, iya? Aduh, maaf, Sayang. Mama gak fokus.”
Bak orang dewasa, Luna menghela napas panjang. “Udah Luna duga.”
Nayla meringis mendengarnya. Kadang, anak perempuannya itu memang lebih dewasa dibanding dirinya yang seorang ibu. Tidak apa, bagus malahan. Jadinya ia tidak perlu takut Luna akan berbuat macam-macam atau kelewat aneh seperti kembarannya, Sunny.
“Kalau Mama ke luar sebentar gak apa-apa?”
“Mama tenang aja, kalo Kak Sunny berulah biar aku cubit.”
Setelah yakin meninggalkan dua anaknya di play room, Nayla bergegas menuju ruang makan untuk menelpon Thala. Panggilannya diangkat beberapa detik kemudian.
“Halo, Thal. Ada apa?”
“Buset, pertanyaan lo kaku bener kaya kemeja baru dibeli.”
Dihelanya napas, berusaha sabar. “Sorry. Lo mau ngomong soal apa? Gue lagi nemenin anak gue main, kalo ditinggal kelamaan takut terjadi hal yang nggak diinginkan.”
“What the hell hal tidak diinginkan do you mean?”
“Lo inget kan, dulu Sunny pernah bikin penghapus masuk ke lobang hidung Luna dan gak bisa dikeluarun sampai harus masuk UGD?”
“Ow, it sucks.”
“Right, makanya gue langsung tanya lo mau ngomong soal apa.”
“Gue kasih tau tapi lo jangan pengsan mendadak ya.”
“Tergantung, tapi separah-parahnya gue gak bakal pingsan sih kayaknya.”
“Nah, cakep kalo gitu.” Dari ujung sana, Thala terdengar membolak-balik buku atau kertas. “Barusan gue kan cek en ricek Luvies ye, ada appointment baru. Gak banyak soalnya ada yang gak gue accept as always. Terus bagian jengjengjetnya nih, Nay. Lo tau gak sih? Ada pesanan atas nama. And guess what? Elang yang membuat pesanan di Luvies itu Elang Ramdhan! Si monyet Afrika yang bertahun-tahun hilang ditelan Bumi!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Get Ready With Us : Famancy
Genel KurguFamancy /fa. man. cy/ n. The art of loving your family in returns. | WARNING | Cerita ini mengandung konten tak masuk akal yang bisa membuat perut kalian sakit dikarenakan kebanyakan tertawa atau bisa juga sakit mata karena kebanyakan menangis. © 20...