53🕯️Toko Kue

42 11 0
                                    

"Jika aku katakan yang sebenarnya apa kau mau percaya?"

"Hah?"

"Tidak. Lupakan saja."

"Chris, kau selalu saja tak pernah selesai dengan kalimatmu!" Rengek Rael membuat Chris kecil terkekeh.

"Tidak penting. Bukankah yang paling penting adalah aku baik-baik saja?"

Tentu saja Rael mengangguk, "Memangnya apa lagi? Kau membuatku hampir gila waktu itu ditambah ada lamaran mendadak yang datang padaku,"

"...jangan kaget, Chris, aku sudah menikah sekarang, tapi kau tenang saja, orangnya bukanlah Angelo jika itu yang kau khawatirkan."

Chris terus mengamati Rael yang mengoceh, padahal dia tak bertanya, tapi perempuan itu menjawab semuanya.

"Syukurlah, aku ikut senang mendengarnya."

"Chris,"

"Ya?"

"Ikutlah denganku, sekali lagi, aku akan pastikan kau bahagia, ya?" Pinta Rael memelas.

Chris meraih tangan Rael yang sedari tadi terus menggenggamnya, "Tidak bisa. Aku harus pergi."

"Kita baru saja bertemu tapi kau mau pergi lagi?"

Chris tersenyum melihat wajah cantik yang mengkhawatirkannya itu, "Aku baik-baik saja dan hidup dengan baik jika itu yang kau khawatirkan."

"Setidaknya katakan di mana kau tinggal agar aku bisa berkunjung sewaktu-waktu terlebih ketika sangat merindukan mu,"

Chris menggeleng, "Kau cukup tahu bahwa aku selalu bersama mu,"

"Chris, ku mohon---"

"Maaf." Setelah mengatakan itu, Chris melepaskan genggaman erat Rael dan berlari menjauh mengikuti hulu sungai.

Rael mengejarnya, tapi tubuh kecil itu seolah dengan cepat menghilang dari pandangan seiring rimbun nya semak-semak yang tumbuh di sekitaran tepi sungai.

"CHRIS!!" Teriaknya memanggil nama yang selalu ia rindukan pada sosok yang kembali pergi seiring pupusnya harapan.

....

Rael kembali lagi menuju tenda pengungsian mengikuti arus sungai. Wajah perempuan itu sangatlah suram.

Hanley yang berpura-pura mengawasi aktivitas penduduk, menangkap Rael yang kembali dari sungai dengan wajah lesu. Ia bisa pastikan Chris kecil sudah selesai dengan sesi jumpa nya.

"Sampai kapan aku harus menjadi saksi drama cinta mereka?" Keluh Hanley yang tak dimengerti siapapun.

Rael terus berjalan mengitari pengungsian, sampai pasang matanya melebar melihat sosok pria bersurai merah muda yang terlihat habis kembali dari hutan dengan sekarung kayu bakar yang dipikulnya.

"Angelo?"

Langkah Rael berniat mendekat---menghampiri namun gagal hingga sebuah tangan mencekal guna menghentikannya.

"Aku tidak mengizinkanmu bertemu dengannya." Suara berat itu jelas Rael kenali.

"Chris? Bukankah kau pergi ke istana? Hanley bilang---"

"Aku kembali lebih cepat. Kau habis darimana? Kenapa ujung gaun mu basah dan rambutmu terlihat berantakan dengan daun dan ranting kecil ini?" Chris menatap gaun Rael yang basah akibat ia bawa menyeberang sungai, penampilan yang terkesan kumuh namun membuat Chris merasa gemas.

Chris tahu alasannya tentu saja, tapi ia tetap bertanya.

"Aku habis dari sungai."

"Menangkap ikan?"

"Ish, yang benar saja! Kau pikir aku beruang hutan yang sedang kelaparan?!"

Chris tertawa, "Maaf, aku tidak bermaksud, tapi aku suka dengan kau yang begini, terlihat... Sexy."

"Heh!"

....

"Mau sampai kapan begini?"

"Tunggu sampai aku membukanya untukmu,"

Ketika sampai pada hitungan tiga, Chris membuka penutup mata yang ia ikatkan pada Rael.

"Taadaaa!!!"

Di depannya, sebuah toko kue yang terlihat megah dengan ornamen cantik berlantai dua tersuguh mempesona di depan mata. Mereka berkuda dengan cepat kemari, mengingat hari sudah sore.

"Coba tebak, ini adalah---"

"Toko kue yang kau janjikan padaku waktu itu?"

Chris mengangguk, "Ku harap kau menyukainya."

"Kau bercanda? Ini terlalu mewah untuk ukuran toko. Tidakkah ini terlalu berlebihan?"

"Aku bahkan bisa membawakan gunung tertinggi di dunia jika itu untukmu."

"Kau pasti bercanda, Chris. Omong-omong, aku sangat menyukainya. Terimakasih, terimakasih banyak." Rael kegirangan, akhirnya ia bisa kembali memanggang.

"Haruskah kita masuk dan melihat ke dalam sekarang?" Chris mengulurkan tangan.

Rael menyambutnya, mereka bergandengan, "Dengan senang hati, Yang mulia."

....

"Sean, aku melihat beberapa prajurit bolak-balik dari barat hutan Malverich menuju istana. Apa yang kau lakukan sebenarnya?"

"Coba tebak,"

"Sean, aku serius!"

"Aku juga serius. Kau saja tidak pandai membaca situasinya."

"Dengar, Axyius dilanda banjir kutukan karena hangusnya hutan itu, sekarang kau ingin berbuat lebih jauh atas wilayah terlarang itu?! Apa yang akan terjadi nantinya?" Safiya naik pitam, ia bahkan melepas tiara di kepalanya.

"Axyius lenyap dari muka bumi untuk selamanya? Mungkin saja." Nada Sean memanggil terdengar bercanda, tapi itu membuat Safiya frustasi dibuatnya.

Sulit membedakan mana antara adiknya yang tengah serius atau benar-benar bercanda. Safiya seringkali terjebak dengan senyum licik itu.

Sean hanya membalik halaman novelnya dengan santai sembari bersandar di sofa, "Coba ingat apa yang biasa para bangsawan bangun di wilayah terpencil atau desa ketika mereka ingin berlibur atau menetap sementara di sana guna menghilangkan stress yang mendera akibat pekerjaan yang tak ada habisnya?"

Safiya mencerna pertanyaan sekaligus jawaban dari Sean dengan perlahan, lalu matanya membulat, "Kau membangun mansion di atas hangusnya hutan itu?!"

"... Sean, Jangan berulah lagi!"

"Siapa yang kau sebut berulah? Aku tidak." Bantah Sean. "Bukankah itu kau yang pulang dari kastel grand Duke Chris dengan pipi membiru bekas tamparan? Harusnya aku yang berucap demikian; kak, berhentilah membuat onar!"

_______________________

TO BE CONTINUE
_______________________

📌Fun Fact :

Rambut Sean tidak berwarna ungu sejak lahir.

Ia terlahir dengan surai coklat sama seperti Safiya, tapi ketika usianya menginjak empat tahun, surainya mulai berubah warna seiring keanehan dan sihir yang muncul hingga rambut itu ungu sempurna seperti sekarang.

THE DUKE'S PÂTISSIER✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang