[SIDE STORY]🕯Eksekusi Mati

21 4 0
                                    

Rafael berjalan dengan tenang bersama pedangnya. Ia tatap semua kepala yang sudah siap ditempatnya untuk dieksekusi.

Dari semua bangsawan Axyius itu, Rafael berjalan---mendekat pada sosok yang selama ini dipanggil kakak oleh adiknya.

"Kau yakin dengan pilihanmu, tuan Viscount?" Rafael berbisik dingin di telinga Arino.

"Ketimbang aku harus hidup menyedihkan sendiri setelah ini, lebih baik aku mati!" Desis Arino.

Rafael menggeleng-gelengkan kepalanya, berlagak amat menyayangkan, "Cinta memang membuat siapapun menjadi buta. Kau seharusnya mengambil opsi selamat, tuan Viscount."

"Kau akan berkata lain jika kau merasakan yang namanya jatuh cinta, Yang mulia." Tekan Arino penuh amarah.

Rafael tersenyum miring. Ia tidak tertarik, tidak berminat. Tidak untuk saat ini.

Ia tak lagi menggubris Arino. Pria itu melanjutkan langkahnya menuju barisan paling kanan kepala bangsawan yang siap dipenggal bersama pedang kesayangannya.

"Yang mulia, algojo akan melakukannya dalam---"

"Tidak, Calvin. Aku tidak perlu algojo tuk mengeksekusi mereka semua. Aku sendiri dengan senang hati melakukannya dengan tanganku sendiri," Seringainya tajam.

Calvin tak membantah, ia mengangguk dan menunduk hormat lalu kembali ke posisi.

Crattss!

Crattss!

Crattss!

Crattss!

Satu persatu kepala manusia itu terpisah dari badannya bersamaan dengan darah yang muncrat mengenai setelan kerajaannya yang mahal.

Hingga kepala terakhir yang ke-delapan puluh tiga dipenggalnya, Rafael tertawa keras, merasa puas menyaksikan lapangan eksekusi itu menjadi lautan darah.

Pedangnya yang berlumuran warna merah---darah, dilempar nya ke udara menuju arah belakang yang langsung sigap ditangkap Calvin guna membersihkannya.

Ia meludah singkat, "Ck, bau darah pendosa memang sangatlah tidak sedap,"

Lalu, ia berbalik. Berjalan dengan santai meninggalkan lapangan eksekusi setelah menepuk bahu Calvin dua kali.

"Siapkan pemandian air hangat ku. Aku perlu membersihkan diri dari darah pada pendosa itu," Titahnya pada seorang pelayan yang langsung dipatuhi.

Sepeninggal Rafael, Jeremy yang turut menyaksikan jalannya eksekusi bersama Sam dan para pasukan lain seolah lupa caranya bernafas.

"Kau pasti tidak akan berselera makan setelah ini, kak. Begitu juga aku."

"Tidak hanya makan, aku bahkan jadi tremor hanya dengan berdiri di atas kaki ku sendiri seperti sekarang ini," Sam tak berbohong, kakinya gemetar.

Jeremy terkekeh meski sama tremor nya, "Kau tidak boleh berdiri dengan keringat dingin seperti ini nanti ketika bersanding bersama Siu di pelaminan,"

"Masih dua bulan lagi,"

"Yah, benar. Aku masih tak menyangka kau akan menikah dan aku akan menjadi paman,"

"Heh! Nikah saja belum, kau sudah memikirkan aku akan punya anak?!"

Jeremy hanya terkekeh, lalu mengembalikan topik awal, "Ini pertama kalinya aku menyaksikan pembantaian---tidak, eksekusi mati se-ngeri ini di depan mata kepala ku sendiri,"

Sam mengangguk, membenarkan.

"Semuanya bubar! Kembali ke barak kalian!" Titah Calvin lantang pada semua pasukan.

"Ayo, Jeremy." Ajak Sam pada adiknya yang masih terpaku pada lautan darah di depan mereka, "Yang mulia raja pasti telah puas dengan eksekusi hari ini serta dendam yang telah tuntas, itu artinya setelah ini kita bisa tenang menjalani hari-hari seperti biasa sebagai seorang Zenia,"

Jeremy mengangguk. Pada akhirnya mengekori langkah Sam kembali menuju barak mereka.

Andai Rafael tahu bahwa Arthur masih hidup, ia pasti takkan segan mengotori pedangnya lagi dengan lumuran darah tuk yang kesekian kali.

________________________

THE DUKE'S PÂTISSIER
________________________

THE DUKE'S PÂTISSIER✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang