92🕯️Cinta karena Cinta

31 9 1
                                    

"Kau puas sekarang?"

Chris menggeleng di atas kasur Rael yang mereka tempati, "Aku tidak pernah puas jika itu menyangkut tentangmu,"

Rael mendecak, "Kau menang kali ini, tuan Wellington. Sekarang apa yang harus ku katakan pada para pelayan di luar kamar yang pastinya bertanya-tanya kenapa aku tak kunjung keluar juga? Beruntung Rafael sedang tak ada di istana sejak kemarin siang setelah keberangkatan Sam dan Jeremy ke Laven."

Chris terkekeh melihat Rael yang kesulitan berjalan, "Katakan saja yang sejujurnya. Oh, ya, mau ku bantu ke kamar mandi?"

"Kau mau mati?!" Rael menatapnya horor, membuat Chris tertawa.

"Aku tidak mau mati. Jika aku mati siapa yang akan memanjakan mu? Terlebih ketika kita melewati malam yang sangat---"

Bukk!

"Kau bicara lagi atau bantal ini akan menghajarmu!"

Chris semakin kencang dengan tawanya.

"Berhenti tertawa, Chris! Orang-orang di luar bisa mendengar mu dan kau akan ketahuan berada di istana Zenia sejak kemarin malam," peringat Rael.

"Bukankah kamar ini kedap suara?"

Rael nampak mencerna, detik kemudian ia memukul sendiri kepalanya.

....

Sean berjalan seorang diri di hutan Malverich---ralat, tanah bekas hutan itu. Ia melamun sejenak.

"Kenapa kau menolak ku, Zena? Apa yang kurang dariku sehingga kau tak kunjung tertarik?" Gumamnya pada angin.

Ditatapnya bangunan megah---mansion miliknya yang ia bangun di tanah itu, "Aku membangun ini untukmu, untuk kita, tapi dengan teganya kau menolak cintaku dengan seorang pria berpangkat Count?"

Sean ingat sehari sebelum penobatan Safiya, Zena mengatakan semuanya.




















Tenda pengungsian rakyat Axyius, bukit rendah Laven...

"Zena, aku tidak sabar untuk hari esok. Kau dan aku akan berdansa. Kau akan sangat cantik dengan gaun ungu yang kuberikan waktu itu dan aku akan menjadi pangeran hatimu yang paling tampan,"

Zena memandangnya sendu, Sean yang datang padanya dengan antusias ini semakin memberatkan hatinya.

"Yang mulia, saya tidak bisa."

"Kau selalu menolak. Aku tahu kau sebenarnya tidak berkeinginan untuk---"

"Saya sudah bertunangan," kalimat Zena memudarkan senyum di wajah Sean seketika.

"Hei, itu tidak mempan padaku. Kau pasti bercanda, kan?"

Zena menggeleng, "Saya dengar anda juga memiliki kekuatan membaca pikiran, jadi, saya rasa anda tak perlu pengulangan atas jawaban saya."

Sean tertampar seketika.

Bukannya tidak percaya, ketika melihat netra itu yang jelas menolaknya kali ini, Sean sebenarnya sudah tahu jawabannya.

Ia bukannya tidak tahu, tapi hanya berusaha memungkiri sakit hati yang akan menderanya.

Walau kenyataannya, itu lebih menyakitinya.

"Lalu kenapa baru sekarang kau mengatakannya? Kenapa tidak dari dulu? Kau tahu aku bisa membaca pikiran, tapi kenapa aku tak menemukan pria lain dalam pikiranmu ketika bersamaku jika itu benar?" Sean menuntut penjelasan.

"Ini perkara hutang. Saya dan dia dijodohkan. Sudah sejak lama. Saya tak bisa mengatakannya karena saya tak punya kesempatan mengatakannya, bukan maksud saya menyembunyikannya. Dia adalah  anak teman ayah saya, laki-laki baik yang sebenarnya saya sukai dari usia belia."

Perjodohan yang menguntungkan. Kapan lagi kau menikah dengan pria sederhana yang kau sukai sejak lama?

Sean merah padam di tempatnya. Ia marah, sedih, kecewa dan tak terima.

Sekarang ia mengerti bagaimana patah hati yang Chris alami.

"Katakan, pria bergelar apa yang merebut hatimu dariku?"














Begitulah berakhirnya kisah Sean dan Zena.

"Count Skylar..." Desis pria itumenggertakan giginya.

Sean meninggalkan mansion nya dengan hati murka. Berjalan keluar hutan dengan tergesa, menuju kastel tempat di mana bangsawan Axyius bernama Skylar itu mengungsi sementara.

...

"Habis bersenang-senang, hm, adikku?" Rafael bersidekap dada begitu pintu kamar terbuka oleh Rael.

Rael jantungan dibuatnya.

"Astaga, kau mengagetkan ku! Bagaimana bisa kau di sini? "

"Harusnya aku yang bertanya; bagaimana bisa kau membiarkan Chris menyusup kemari? Bukankah kau masih marah padanya?" Balas Rafael. Pria itu semakin menyinggung seringai tatkala Rael terlihat merona.

"Kau tahu?"

"Kau berharap aku tidak tahu rupanya?"

"Tidak, bukan begitu, tapi---"

"Sudahlah, adik. Akui saja. Kau masih ingin meneruskan pernikahan kalian dan pelayan-pelayan ku akan membantu mu berkemas,"

"Kau mengusir ku?!" Rael tak percaya ini

"Aku tidak mengusir mu. Aku hanya tidak suka drama percintaan yang tersuguh acap kali di depan mataku. Aku membencinya, sungguh"

"Kenapa?" Pertanyaan polos dari mulut Rael membuat Rafael mendengus.

"Jika aku ceritakan, satu hari tidak cukup untuk menjabarkan nya, adik. Jadi, patuhi saja perintah ku dan berkemas segera!"

"Tapi, kak---"

"Tapi apa lagi?" Rafael jengah.

"Aku menangkap satu kejanggalan di sini," Ungkap Rael.

"Apa? "

"Kau--- kau tidak benar-benar pergi dari istana kemarin siang? Seharusnya jika kau pergi, tidak mungkin kau sekarang sudah kembali,"

Rafael tersenyum miring mendengarnya.

"Kau harusnya tidak khawatir dengan aku yang berada di istana. Apa kau risau aku mendengar yang kalian lakukan di kamar semalaman, hm?"

Rael memerah seperti kepiting rebus, lalu menginjak keras kaki Rafael membuat pria itu mengaduh.

____________________

TO BE CONTINUE
___________________

THE DUKE'S PÂTISSIER✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang