"mau ke kantin atau bekal?" tanya Rafa kepada Akasa sesaat setelah guru mereka berjalan meninggalkan kelas untuk memberi waktu istirahat.
Akasa yang sedang sibuk memasukkan buku-buku kedalam tas sontak menoleh singkat ke arah pemuda tampan itu,
"kantin. mama lagi nemenin papa dari pagi banget jadi nggak sempat bikin bekal."
mendengar hal itu Rafa mengangguk senang. akhir-akhir ini Akasa susah sekali diajak sekedar pergi ke kantin. jangankan ke kantin, keluar kelas saja susahnya minta ampun.
siang ini suasana kantin cukup ramai. sebenarnya selalu seperti itu di jam jam istirahat dan Akasa cukup malas menghadapinya, namun apadaya perutnya sudah berisik minta diisi. pasti karena tadi pagi ia tidak terlalu berselara makan.
"jadi ambil ekskul apa? lo udah tahu kan kalau setiap siswa setidaknya wajib ikut satu ekstrakulikuler buat dimasukin nilai rapor?"
ah benar. sebenarnya Akasa lupa memikirkan hal itu, belum juga ada pikiran akan mengambil ekstra apa. jika tidak diwajibkan, sepertinya ia akan lebih memilih untuk tidak mengikuti kegiatan ekstrakulikuler apapun. Akasa cukup puas dengan datang ke sekolah, belajar, lalu pulang seperti biasanya.
mengerti akan jawaban yang akan dilontarkan Akasa, Rafa menghembuskan nafasnya pelan.
"gue ada rencana join basket. ikut?"
basket ya? salah satu kakaknya juga menggeluti olahraga tersebut. kata mama, Agir sangat suka basket. bahkan bersama timnya, sang kakak kerap kali memenangkan pertandingan. membawa nama sekolah mereka ke atas podium.
keren, tapi sepertinya tidak cocok untuk dirinya. daripada berlari-lari membawa bola seperti Agir, Akasa lebih tertarik duduk sambil membaca komik. ia tidak suka berkeringat.
"aku mikirin beberapa, kecuali olahraga. mungkin jurnalistik, atau PMR."
"sangat Akasa sekali." balas Rafa sambil menyeruput kuah bakso yang ada dihadapannya.
mengedikkan bahunya sekilas, Akasa juga ikut melanjutkan makan siangnya. ia tidak bohong, ia memang sedang mempertimbangkan jurnalistik. sepertinya akan menyenangkan jika ia masuk kedalam tim mading. membuat artikel, membaca cerita, dan lain sebagainya.
lumayan ribet sih, tapi setidaknya ia hanya harus berdiam diri di ruang ber ac tanpa perlu sibuk berlari-lari mengejar bola seperti yang akan dilakukan oleh Rafa.
"aku ke toilet sebentar, duluan aja." kata Akasa ketika mereka berdua mulai berjalan menuju kelas karna waktu istirahat tinggal 10 menit lagi. mengangguk singkat, Rafa mulai meninggalkan Akasa seorang diri.
ah sial, toiletnya sedang ditutup sementara karna harus dibersihkan. terpaksa ia harus mencari toilet lain yang agak jauh dari kelasnya.
"Do, gue beneran nggak bisa. gue harus ada di rumah tepat waktu hari ini biar orang rumah nggak ada yang curiga. gue udah pernah bilang ke lo kan."
saat akan mendorong pintu toilet Akasa mendengar suara yang cukup familiar ditelinganya. mengurungkan niatnya, Akasa memilih untuk tetap diam dan mendengarkan lebih lanjut pembicaraan yang dilakukan sang pemuda dengan seseorang entah siapa lewat telepon genggamnya tersebut.
sebenarnya ia juga perlu memastikan sesuatu, apakah benar jika suara itu adalah suara dari orang yang ia kenal atau hanya sebatas mirip saja.
membuka sedikit pintu toilet, Akasa menajamkan penglihatannya. dilihatnya sang pemuda tengah berdiri membelakanginya, berdiri tegak di depan wastafel sambil mengusak rambutnya dengan kasar. menandakan rasa frustasi. benar, ia juga kepalang kenal punggung ini.
"Do please kali ini aja. kemarin-kemarin gue selalu tepat waktu kan, please ngertiin gue. lo paham kalau orang rumah nggak boleh ada yang tahu soal ini."
soal apa? orang rumah? dirinya juga termasuk salah satu orang rumah yang dimaksud kakaknya kan. benar, pemuda yang tengah berbicara tersebut adalah salah satu kakak laki-lakinya, Dritan.
"gue janji, nggak ada lain kali soal keterlambatan kayak gini. gue janji tapi jangan bilang ke siapa-siapa soal ini, terutama Agir."
hee nama Agir sampai dibawa-bawa. apakah memang sepenting itu ya, memangnya kakaknya ada urusan apa dengan si Do Do ini sampai semua keluarganya tidak boleh tahu terutama Agir.
memilih untuk mundur dan pergi sebelum sang kakak memergokinya, Akasa sebenarnya cukup penasaran. kakaknya ini tipikal yang tidak aneh-aneh, lurus, dan tidak pernah juga berperilaku mencurigakan. alih-alih Dritan, wajah Agir lebih cocok dipilih sebagai yang paling mencurigakan dan berpotensi melakukan sesuatu yang aneh-aneh sebenarnya.
mencoba abai Akasa pikir mungkin hanya urusan biasa yang dilakukan sang kakak dengan teman-temannya, seperti nongkrong diam-diam makanya tidak ada yang boleh tahu. mungkin.
❀•°❀°•❀
"dek, makan dulu."
suara maskulin milik Kalan mengalun lembut kedalam kamar milik Akasa.
"bentar, masih kurang satu soal lagi. nanggung." balas Akasa tetap fokus pada soal-soal yang sedang ia kerjakan di atas meja belajar.
Kalan hanya tersenyum dan masuk ke dalam kamar adik bungsunya ini. duduk di pinggir ranjang dan memperhatikan betapa seriusnya Akasa.
"oke, abang tungguin disini."
"udah. ayo"
"kok cepet, bener nggak itu ngerjainnya?" tanya Kalan terdengar sangsi karena baru sebentar ia duduk dan tiba-tiba Akasa sudah selesai saja.
"bener dong, Akasa kan pinter abang." katanya sambil menghampiri dan berdiri di depan sang kakak.
Akasa memang cukup nyaman saat bersama Kalan. selain Baruna dari awal Kalan memang cukup ramah padanya, walau tidak terlalu banyak bicara.
Kalan juga tipe kakak yang perhatian padanya, pada semua adik-adiknya. ia bukan tipe kakak yang otoriter dan kaku, Kalan selalu berusaha agar adik-adiknya tidak sungkan padanya walau jarak umur mereka terpaut cukup jauh.
mengelus kepala sang adik pelan, Kalan tersenyum memandang pipi Akasa yang cukup gembil. gemas sekali. kulitnya juga halus sekali seperti anak perempuan.
pasti ini akan enak jika ditarik dengan keras, batin Kalan sambil mengelus pipi sang adik. tahan. tahan.
"abang percaya, kalau gitu ayo ke bawah. semua udah nunggu buat makan."
"abang lama." sambut Agir ketika Kalan dan Akasa sampai di meja makan.
terkekeh Kalan berjalan ke tempat duduknya dan mengelus sekilas kepala Agir. hari ini mereka makan malam tanpa papa dan mama karena masih di luar kota.
Akasa yang merasa waktu makan malam menjadi molor karena dirinya tentu merasa tidak enak hati. terutama pada Agir yang sudah sedikit cemberut.
sadar akan hal tersebut, Dritan yang duduk tepat disebelah Akasa menoleh dan menenangkannya. Dritan yakin Agir tidak benar-benar marah, makanya Kalan juga tidak menanggapi keluhan sang kembaran secara serius. tetapi ia tahu, adiknya ini pasti sudah berpikir lebih jauh dari yang lain dan merasa bersalah.
"Agir nggak beneran marah kok. nggak usah dipikirin ya." katanya berbisik pelan sambil melirik Agir yang sudah terlihat semangat mengambil lauk-lauk favoritnya dengan senyuman secerah mentari.
fokus Akasa terhadap Agir tiba-tiba lenyap digantikan dengan ingatannya akan kejadian siang tadi di toilet sekolah. Dritan. kakak laki-lakinya ini dari sepulang sekolah benar-benar tidak kemana-mana. benar-benar di rumah seperti yang ia katakan di telepon.
menyadari Akasa yang melamun sambil memperhatikannya dengan intens membuat Dritan jadi tidak enak sendiri.
"Ka, kok ngelamun. makan."
tersentak, Akasa mengangguk dan mulai mengambil makanan untuk dirinya sendiri. walaupun begitu disetiap suapan ia masih memikirkan kakaknya itu.
tidak, ia tidak boleh mencampuri urusan kakaknya. benar, Dritan kelewat pintar dan tentu saja tidak mungkin melakukan hal-hal aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
A K A S A
General Fiction"bunda, ini lili putih kesukaan bunda. sebenernya Akasa nggak suka lihat bunda tidur di dalem tanah sendirian kayak gitu. bunda sendirian di dalem sana, Akasa juga sendirian di atas sini. kalau sama-sama sendirian kayak gini kenapa bunda tetep milih...