L I M A B E L A S

464 40 7
                                    

jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari. seharusnya pemuda bernama Dritan tersebut sudah asik bergelung dibawah selimut seperti keluarganya yang lain. namun tidak, Dritan masih terlihat betah duduk di depan meja belajar sambil mencoret-coret buku latihan soal miliknya.

"ck ini gimana sih, susah banget. gue rasa pasti soalnya dibuat sama orang gila, karna bikin yang ngerjain jadi ikutan gila."

dumelnya sambil melempar punggungnya pada sandaran kursi. hampir tiga puluh menit ia terjebak pada satu soal terakhir yang luar biasa sulit. padahal, biasanya ia hanya butuh kurang dari dua menit untuk menjawab satu soal latihan seperti ini.

meregangkan badannya sebentar, ia memutuskan untuk berdiri dan beranjak. ia membutuhkan bantuan seseorang.

kepala Dritan muncul dibalik pintu bernuansa putih milik Badra. daripada kepalang penasaran, sebaiknya ia menanyakan pada manusia paling pandai yang ada di rumah ini. siapa tahu Badra masih terjaga.

dan benar saja.. pemuda berlesung pipi tersebut masih nyaman duduk bersila di atas karpet bulu yang ada di kamarnya, fokus membaca tiap kata yang tersaji dari buku di genggamannya.

"permisi, paket." kata Dritan membuyarkan fokus sang kakak.

mengangkat kepalanya sekilas, Badra agak terkejut menemukan keberadaan Dritan tengah malam begini.

"kok belum tidur, sini masuk." ajaknya pada sang adik yang setia berdiri di depan pintu sambil menyembulkan kepalanya ke dalam kamar.

Dritan pun tersenyum dan masuk ke dalam kamar bernuansa dark grey milik kakaknya itu, memilih untuk duduk di depan Badra.

"kok belum tidur, ini udah jam berapa Dritan. besok sekolah."

tentu Dritan mengangguk mengiyakan ucapan Badra, ia juga sebenarnya sudah mengantuk kok.

"aku juga pengen tidur, ngantuk banget. makanya bantuin mecahin ini biar aku nggak penasaran lagi dan tidur nyenyak." jawabnya sambil menyodorkan buku yang ada ditangannya ke hadapan Badra.

menghembuskan nafasnya lelah, Badra kepalang paham manusia seperti apa Dritan ini.

melihat obsesi Dritan pada nilai-nilai yang sempurna, tidak mengejutkan jika satu butir soal macam ini mampu membuatnya sebal bukan main.

dari kecil, Dritan memang menunjukkan sikap gigih dan ulet dalam menjalani segala hal yang telah ia mulai -menyelesaikan hingga akhir dengan sebaik-baiknya agar tidak membuat dirinya menyesal dikemudian hari.

"oke tapi habis itu tidur." yang tentu saja dibalas anggukan Dritan. ia berjanji.

memperhatikan Badra yang menyelesaikan soal miliknya, Dritan jadi teringat akan sesuatu.

"abang lolos olimpiade lagi ya sama bang Aru. aku sempet denger tadi di ruang guru."

Badra yang tengah menulis di atas buku milik Dritan reflek berhenti. berdehem pelan untuk mengalihkan rasa tidak nyaman di hatinya.

"iya, terakhir buat kenang-kenangan sebelum berhenti. abang udah sepakat sama Aru. kamu.. nggak perlu khawatir."

menarik satu sudut bibirnya sekilas, Dritan mendengus remeh. kakaknya ini naif sekali. menutup mata akan nasib yang selalu dilaluinya setiap Badra atau Baruna selesai memenangkan olimpiade yang mereka ikuti.

jangan khawatir ia bilang?

"belum lama ini abang juga bilang persis kayak gini, katanya mau berhenti tapi nyatanya nggak."

Badra tersenyum paksa.

iya, ia tahu hal tersebut. ia juga tidak buta jika setelah ini bisa-bisa adiknya akan mendapat beban baru di pundaknya. tapi sungguh kali ini diluar kuasanya. memang benar kata banyak orang, manusia hanya bisa berencana dan tetap Tuhan yang berkehendak.

A K A S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang