Cerita ini adalah imajinasi yang dibuat penulis berdasarkan tokoh dan cerita dalam sejarah. Bahasa yang digunakan juga telah disesuaikan agar lebih mudah untuk dibaca.
###
"Saya menyapa Yang Suci Dang Hyang Lohgawe, Yang Terhormat Mpu Parwa dan para Brahmana lainnya."
Selepas Arok memberi salam, diskusi kembali dimulai. Arok memberitahukan bahwa racun Mpu Parwa telah sampai dengan selamat ke tangan Dedes. Mpu Parwa tersenyum yakin, ia percaya bahwa racun yang dikirimkan kepada Dedes akan membunuh Tunggul Ametung dalam sekejap. Para Brahmana lainnya juga gembira mendengar hal itu. Matahari mulai tenggelam di tengah kegembiraan para Brahmana.
"Saya juga hendak melaporka—" ucapan Arok terhenti. Napasnya tersengal-sengal. Pandangannya berputar dan memburam. Jantungnya seperti diremas, perutnya terasa panas. Rasa panas itu menjalar hingga tenggorokan.
"Aaargggghhhh!!!!" teriak Arok. Laki-laki itu terbaring tak berdaya, rasa panas luar biasa telah sampai di kepalanya. Mulut Arok gatal, tiba-tiba sebuah cairan panas memenuhi mulut Arok. Laki-laki itu memuntahkan darah merah kehitaman yang mengerikan.
Dang Hyang Lohgawe, Mpu Parwa dan para Brahmana terkejut melihat hal itu. Mereka berbondong-bondong menolong Arok yang kesadarannya telah hilang. Para Brahmana menggotong tubuh Arok dan mereka letakkan di tempat tidur kayu milik Dang Hyang Lohgawe, tentu saja setelah mendapat ijin dari sang pemilik.
Wajah Arok dipenuhi keringat, napasnya semakin sesak. Para Brahmana mengigit bibir. Dalam benaknya mereka bertanya, Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
"Yang Terhormat Mpu Parwa! Bukankah yang Arok alami adalah gejala yang akan muncul bila terminum racun milikmu?" tanya Dang Hyang Lohgawe.
Para Brahmana lainnya terkejut. Dalam benak, mereka membenarkan. Benar juga ya ... yang dialami Arok adalah gejala yang akan muncul bila meminum racun Mpu Parwa! Mpu Parwa sendiri yang mengatakannya!
"Seharusnya, yang tidak meminum racun itu tidak akan mengalami hal ini! Menyentuh racunnya saja tidak apa-apa! Kenapa Arok mengalami gejala itu?"
Mpu Parwa sendiri heran. Arok tidak mungkin menjadi orang bodoh yang meminum racun tersebut dengan sengaja. Arok mengatakan bahwa racun itu sudah diterima oleh Dedes batin Mpu Parwa.
"Apakah, Dedes mengacaukan rencana kita?"
Sorot mata Mpu Parwa berubah menjadi tajam, ia berkata. "Putriku tak mungkin mengkhianati kaum Brahmana! Putriku terpelajar! Tidak mungkin Dedes mencekoki Arok dengan racunku."
"Baiklah, kita tunggu kabar dari putrimu. Sementara ini, kita harus mencari tabib¹ yang bisa mengobati Arok."
Para Brahmana langsung bergerak, mereka mencari tabib hebat yang bisa mengobati Arok. Walaupun langit sudah gelap, para Brahmana tidak peduli. Mereka meninggalkan padepokan dan mencari tabib terhebat di kota.
Sedangkan, Dang Hyang Lohgawe dan Mpu Parwa tetap di padepokan mengawasi keadaan Arok. Mereka cemas, karena Arok merintih kesakitan di dalam ketidaksadarannya. Mpu Parwa pamit pergi untuk mencari lembaran kulit pohon yang berisi tentang racun itu. Tersisa Dang Hyang Lohgawe yang menemani Arok.
Arok berteriak kesakitan di tengah ketidaksadarannya. Teriakan kesakitan dan tersiksa. Napas Arok kian tak beraturan, paru-parunya naik beberapa sentimeter hanya untuk mengambil sebuah napas. Brahmana Agung itu mencoba menenangkan Arok.
Dang Hyang Lohgawe berdoa kepada Dewa, agar Arok cepat sembuh dan diangkat penderitaannya. Dia hanya mengerti tentang agama dan kerohanian, dia tak mengerti hal-hal yang berhubungan dengan penyakit. Dang Hyang Lohgawe tidak tega melihat murid kesayangannya tersiksa oleh sebuah racun.
Mpu Parwa kembali, dia menggelengkan kepalanya. Dia tak menemukan apapun dari lembaran kulit pohon yang memuat informasi tentang semua racun bergejala mirip dengan yang dialami Arok. Beberapa saat kemudian, para Brahmana berdatangan dengan tabib di sebelah setiap orang.
"Bisakah kalian mengobati anak muda ini?" tanya Dang Hyang Lohgawe.
Para tabib bergantian mengamati dan mencoba menyembuhkan Arok. Tetapi, tak satupun dari mereka berhasil mengobati Arok. Kepanikan ikut melanda para tabib.
Sementara itu, di Pakuwon Tumapel, kepanikan tidak ikut melanda para penghuninya. Ametung tertidur dengan damai di dalam bilik utama. Tapi, kepanikan itu melanda Dedes. Sedari tadi, dia berjalan bolak-balik di depan tubuh Ametung yang terlelap. Mulutnya tak berhenti mengigit jari.
Hasil dari pertapaannya tadi adalah abu-abu. Dia tak mengerti apa yang Dewa maksud. Dewa memberinya peringatan, dan petir menyambar di saat yang bersamaan. Firasat Dedes tidak enak. Tetapi, dia harus tegas. Dia harus memperlihatkan pada kaum Brahmana, bahwa dia baik-baik saja dan tidak gentar dengan ancaman hukum karma dari Mpu Parwa, ayahandanya.
Dedes menguatkan tekadnya. Dia memanggil Pakatik kepercayaan Ametung untuk mengerjakan perintahnya. Tanpa menunggu, Pakatik kepercayaan Ametung telah tiba.
"Saya menghadap kepada Yang Mulia Paramesywari Tumapel," ujar Pakatik itu sembari menunduk.
"Aku akan memberitahukan sesuatu, jadi jangan memotong," tegas Dedes.
"Nggih, Yang Mulia Paramesywari."
Dedes menunjukkan keadaan Ametung yang terlelap. Wajah Pakatik menunjukkan raut tidak paham. Dedes berkata, "Akuwu Tumapel sedang terkena efek racun yang akan membuatnya tertidur selama beberapa hari. Aku ingin kau menyebarkan berita bahwa Akuwu Tumapel terbaring tak berdaya. Sehingga untuk sementara waktu, Tumapel akan di urus oleh istrinya. Buat berita ini tersebar ke segala penjuru tanah Jawa. Jika bisa, lebih-lebihkan berita ini. Kau mengerti?"
"Kulo mangertos², Yang Mulia Paramesywari."
###
Esoknya, kabar Akuwu Tumapel yang terbaring tak berdaya dan hingga saat ini belum terbangun dari tidurnya, tersebar di segala penjuru tanah Jawa. Pihak Kediri bahkan mencoba mencari tahu, tetapi tidak ada yang berhasil masuk ke dalam Pakuwon Tumapel. Para Brahmana juga terkejut mendengarnya, kabar tersebut akhirnya sampai di telinga Mpu Parwa dan Dang Hyang Lohgawe.
"Yang Terhormat Mpu Parwa, sepertinya benar bahwa putrimu mengkhianati kaum Brahmana. Jika hal itu tidak benar, mengapa Akuwu Tumapel itu hanya terbaring tak berdaya dan bukannya muntah darah dan merintih kesakitan? Dia bukanlah orang yang sakti Yang Terhormat, dia hanyalah sudra rendahan! Jika Akuwu Tumapel meminum racun yang engkau kirimkan pada Dedes, bukankah seharusnya Tunggul Ametung langsung mati?" ujar Dang Hyang Lohgawe dengan sedikit emosi.
Mpu Parwa menundukkan kepalanya. Dia benar-benar kecewa kepada putrinya. Putrinya telah berubah menjadi kaum rendahan karena telah berpihak kepada Tunggul Ametung. Oleh sebab itu, Mpu Parwa mengucap sumpah. Sebuah karma ia tanamkan di hati dan pikiran Dedes.
"Ya Dewa! Aku mengirimkan hukum karma yang berat kepada putriku! Dedes telah mengkhianati kaum Brahmana! Dia harus menerima karma yang setimpal."
Dang Hyang Lohgawe terkejut mendengar permohonan Mpu Parwa. Bukan hanya Brahmana Agung yang terkejut, Brahmana yang berkumpul di padepokan juga terkejut. Orang tua mana yang mengirimkan karma kepada putrinya?
Petir menyambar di Pakuwon Tumapel. Mengagetkan para utusan Kediri yang mencoba masuk ke dalam Pakuwon Tumapel. Tetapi, hal tersebut tidak menyurutkan semangat para utusan Kediri untuk menerobos masuk ke dalam.
Suasana di sekitar Pakuwon Tumapel semakin tidak terkendali. Sekarang, tidak hanya para utusan Kediri yang mencoba menerobos masuk. Rakyat Tumapel juga ikut mencoba menerobos, mereka ingin melengserkan Ametung dari jabatannya. Menurut para rakyat, Ametung membuat harga upeti naik dengan ekstrim, dan hal itu membuat rakyat tidak menyukai Akuwu Tumapel mereka.
BERSAMBUNG
Catatan Penulis
¹ Tabib : Orang yang bisa mengobati orang sakit dengan tradisional. Tabib jaman dulu biasanya mempunyai kesaktian untuk mendukung proses penyembuhan orang sakit.
² Kulo mangertos : Saya mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keputusan Sang Stri Nareswari [TAMAT]
Historical FictionDedes tak pernah bahagia saat hidup bersama Arok. Arok hanya memanfaatkan nya sebagai tumpuan agar menggulingkan Tunggul Ametung. Dan lagi, Arok lebih sering menghabiskan waktu bersama selirnya yang bernama Umang. Terlampau kecewa, Dedes berpikir u...