Cerita ini adalah imajinasi yang dibuat penulis berdasarkan tokoh dan cerita dalam sejarah. Bahasa yang digunakan juga telah disesuaikan agar lebih mudah untuk dibaca.
###
Sinar mentari masuk ke dalam bilik dan menyinari wajah Umang. Perempuan itu terusik, tangannya berusaha menutupi matanya. Suara kokokan ayam ikut mengganggu tidurnya. Ia memutuskan untuk bangkit dari tidurnya.
"Aduh!" teriak Umang. Kepalanya pening, pandangannya mengabur dan berputar-putar. Umang kembali duduk di atas tempat tidur yang di tempati olehnya.
Umang terdiam selama beberapa menit di posisi itu. Pening di kepalanya telah lenyap, pandangannya kembali jelas. Ia memindai sekeliling, Umang heran karena tidak melihat pemuda sekarat yang ia tolong.
"Apa aku pingsan? Yah, memang jika menggunakan kekuatan Cahya berlebihan bisa menghabiskan energi. Hmmm, jika pemuda itu sudah tidak ada di sini, berarti dia sudah sadar. Aku akan segera pergi dari padepokan ini."
Umang berdiri dan berjalan menuju pintu keluar. Tangannya terangkat untuk mendorong pintu bilik. Sebelum benar-benar terdorong, seseorang mengetuk pintu bilik. Umang membuka pintu bilik dengan perlahan.
Umang terkejut melihat sosok pemuda sekarat yang ia tolong. Jarinya menunjuk sosok Arok.
"Pemuda yang sekarat!"
"Heiii, aku sudah sadar. Jangan panggil aku dengan panggilan seperti itu. Panggil aku Arok," ujar Arok sembari tersenyum.
Umang mengangguk mafhum. Perempuan itu sedikit terpesona dengan wajah Arok yang tidak lagi pucat. Wajah pemuda itu bercahaya, seperti ada partikel-partikel menyilaukan yang mengelilingi wajah Arok, tentu saja jika dilihat dari sudut pandang Umang.
"Baiklah, aku sudah memberi tahu namaku. Sekarang, siapa namamu?" tanya Arok.
"Namaku ... Umang," balas Umang singkat.
Setelah mengetahui nama dari penolongnya, Arok mengajak Umang untuk mencari udara segar. Arok ingin menarik perhatian perempuan penolongnya itu. Kalau Arok boleh jujur, jantung berdebar-debar di dekat Umang. Berbeda ketika berdekatan dengan Dedes. Ketika bersama Paramesywari Tumapel itu, Arok hanya merasakan nafsu akan kekuasaan dan pangkat. Anehnya, setelah bertemu dengan Umang, murid kepercayaan Dang Hyang Lohgawe itu tidak lagi memikirkan kekuasaan dan pangkat.
"Selama ini, kau tinggal di mana?" tanya Arok untuk memecahkan suasana canggung yang menyelimuti mereka. Arok sudah tahu sebenarnya.
"Ah ... aku tinggal di pinggiran wilayah Daha. Bersama ayah dan kakak-kakakku."
Langkah Umang terhenti, raut wajahnya berubah menjadi panik. Dia menyadari sesuatu, dia sudah berada di padepokan ini selama dua hari. Dia meninggalkan kakaknya sendirian di penginapan.
"Gawat! Aku meninggalkan kakakku di penginapan! Bagaimana jika dia panik dan mencari diriku?" ujar Umang dengan panik.
"Aku akan mengantarmu."
"Eh, tidak perlu Arok. Kau baru saja sembuh, aku bisa pergi sendiri."
"Tidak apa, aku temani."
"Baiklah."
Umang dan Arok pergi setelah matahari berada di atas kepala. Mereka saling mengenal dan berbincang akrab di sepanjang jalan. Cukup lama perjalanan dari padepokan menuju pusat kota, satu jam lebih waktu yang dibutuhkan.
Tiba di penginapan, Umang segera masuk dan mencari kakaknya. Rupanya, kakaknya sudah kembali ke Daha. Kinasih menitipkan pesan kepada pemilik penginapan, kakak Umang itu berjaga-jaga jikalau Umang kembali ke penginapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keputusan Sang Stri Nareswari [TAMAT]
Historical FictionDedes tak pernah bahagia saat hidup bersama Arok. Arok hanya memanfaatkan nya sebagai tumpuan agar menggulingkan Tunggul Ametung. Dan lagi, Arok lebih sering menghabiskan waktu bersama selirnya yang bernama Umang. Terlampau kecewa, Dedes berpikir u...