Harus

698 90 2
                                    

Cerita ini adalah imajinasi yang dibuat penulis berdasarkan tokoh dan cerita dalam sejarah. Bahasa yang digunakan juga telah disesuaikan agar lebih mudah untuk dibaca.

###

Tidur Dedes tak nyenyak. Dia selalu terbangun di tengah malam, bukan sekali dua kali. Satu malam, dia bisa terbangun berkali-kali. Hal ini di karenakan Dedes yang selalu bermimpi buruk.

Saat mimpi buruk itu muncul, tubuh Dedes rasanya terkoyak oleh keris. Napasnya selalu tersengal-sengal. Setiap terbangun, tubuh Dedes gemetaran dan mulutnya melantur tidak jelas. Penghuni Pakuwon Tumapel tidak ada yang tahu keadaan Dedes. Sebab, Dedes selalu mengurung diri di bilik utama.

Sekarang, Dedes kembali terbangun. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, malam ini tubuh Dedes rasanya terbakar. Panas itu menjalar dari bagian jantung dan menyebar ke seluruh tubuhnya. Dedes mencoba bangkit dari tidurnya dan mencoba menghampiri sosok Ametung yang sudah terlelap tiga hari ini.

Dengan gemetar, Dedes melangkah perlahan dan mendekati tubuh Ametung. Tangannya menyentuh bibir, mulutnya bergerak menggigit jari-jarinya. Dedes menyebut nama Ametung, tetapi tidak ada suara yang terdengar. Tenggorokannya kering, panas tubuhnya telah mencapai puncak kepala. Tubuh Dedes ambruk di samping tubuh Ametung.

###

Dedes membuka kelopak matanya perlahan. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dedes berada di ruangan yang tak asing, bilik utama di Pakuwon Tumapel. Tetapi, bilik utama Pakuwon Tumapel di penuhi darah merah kehitaman. Hawa di bilik utama sangat panas, beberapa kali Dedes mengusap dahinya yang basah karena keringat.

Karena ketakutan, Dedes berjalan pelan, mencoba mencari Tunggul Ametung. Suaminya itu tidak ada di tempat tidurnya.

"Kakanda!" teriak Dedes.

Tidak ada respon, bilik utama senyap. Dedes menelan ludahnya, kakinya gemetaran. Sakit dirasakan Dedes tepat di jantungnya. Seluruh tubuh Dedes seperti di panggang diatas bara api. Panas.

Lagi-lagi, tubuh Dedes ambruk. Dia dehidrasi, Dedes berharap jika yang terjadi saat ini adalah mimpi. Paramesywari Tumapel itu mendongakkan kepalanya saat mendengar suara batuk. Suara batuk disertai rintihan kesakitan.

Istri Akuwu Tumapel itu melihat sosok laki-laki di sudut ruangan. Bersimpuh sembari memegang mulutnya. Keluar darah kental dari mulut laki-laki itu. Laki-laki itu mendongakkan kepalanya, berharap agar darah yang keluar dari mulutnya berhenti mengalir.

Betapa terkejutnya Dedes saat mengetahui sosok laki-laki itu. Sosok itu adalah Tunggul Ametung. Tubuhnya ringkih, seperti tulang yang di balut kulit tipis. Dedes bangkit dengan sekuat tenaga, dan menghampiri Ametung. Dia dekap suaminya itu dan air matanya mengalir.

"Kakanda ... apa yang terjadi?"

Ametung tidak menjawab, sorot matanya kosong. Tangis Dedes semakin menjadi-jadi. Beberapa kali ia tepuk pipi Ametung, tapi tidak ada respon. Tanpa aba-aba, darah kental kehitaman kembali keluar dari mulut Ametung. Darah itu mengenai pakaian dan tubuh Dedes.

Rasanya, banyak sekali keris yang menggores tubuh Dedes. Perih ia rasakan, sebab melihat keadaan Tunggul Ametung. Dekapan Dedes untuk Ametung semakin erat. Paramesywari Tumapel itu merasakan sensasi yang berbeda saat memeluk Ametung. Tidak lagi keras dan nyaman, melainkan ringkih dan hampa.

Sosok lain muncul dan memegang pundak Dedes. Sosok itu memutar arah dan menatap Dedes lamat-lamat. Dedes terkejut saat melihat sosok itu mirip dengan Ametung yang gagah dan tampan.

"Ibunda ... jikalau ibunda tidak ingin ayahanda tersiksa seperti ini, ibunda harus membuat keputusan yang benar."

"Apa kau ... putraku dengan Tunggul Ametung?" tanya Dedes dengan suara serak.

Bukannya menjawab, sosok itu malah  mengatakan, "Ibunda harus membuat keputusan jika ingin mengetahuinya."

Mereka berdua menghilang. Tersisa Dedes yang saat ini ditelan oleh kebingungan. Ia menghela napas, dipandanginya tempat Ametung bersimpuh tadi. Mata Dedes melotot, tangan kanannya menutup mulutnya yang menganga.

Kali ini dia melihat Arok yang merintih kesakitan. Berbeda dengan Ametung yang kurus kering dan ringkih. Tubuh Arok tetap gagah dan perkasa, hanya saja wajah semerah darah. Napasnya tersengal-sengal. Tangannya sibuk memegangi jantung yang rasanya ingin melepaskan diri dari tempatnya. Tubuhnya jatuh dan tidak berdaya.

Dedes semakin terkejut saat melihat dirinya berada di kubangan darah. Bilik utama Pakuwon Tumapel, di penuhi dengan darah merah kehitaman. Mual Dedes rasakan, tetapi Dedes memberanikan diri mendekati Arok. Semakin mendekat, kubangan darah yang ada menjadi semakin panas. Dedes mengabaikan itu, dia ingin melihat tanggapan Arok.

Sang Paramesywari itu menatap sosok Arok yang menahan sakit. Semakin ditatap, semakin sakit jantung Dedes. Ribuan keris seperti menancap di seluruh tubuh Dedes. Perih ia rasakan. Darah Dedes mengalir semakin cepat. Tinggal beberapa langkah lagi, tapi tubuh Dedes ditahan sepasang tangan mungil yang ringkih. Dedes menatap orang yang menahannya.

"Kakanda Ametung? Kenapa kakanda berada di sini? Dimana pemuda tadi? Bukankah kakanda telah menghilang tadi?"

Ametung tersenyum, dia mengusap pelan tangan Dedes. "Kesayanganku, apapun keputusanmu nanti. Aku berharap, kamu bahagia," ujar Ametung.

"Jelaskan apa maksud dari semua ini Kakanda!" teriak Dedes.

Lagi-lagi Ametung hanya tersenyum, Ametung menghilang dan digantikan seorang wanita cantik. Wanita itu menghampiri Arok dan memeluknya. Ajaib, Arok tak lagi merintih kesakitan, wajah Arok juga tak lagi semerah darah. Arok nampak lebih tenang.

"U-umang?"

"Kamu harus membuat keputusan dengan mantap Dedes. Jangan ragu."

"Untuk apa? Toh, pada akhirnya Arok memilihmu dan Arok membunuh Tunggul Ametung walau aku melindunginya. Kau berharap aku membunuh Arok yang kau cintai? Jikalau nantinya aku membuat keputusan seperti itu, apa kau akan marah?"

Umang terdiam, tidak menjawab. Dia merangkul Arok, membantunya berdiri dan menghilang.

Tiba-tiba, sebuah tombak menancap tepat di jantung Dedes. Darah keluar perlahan dari jantungnya. Mulutnya mengeluarkan darah di detik itu juga. Tubuh Dedes tergolek tidak berdaya. Mpu Parwa, muncul tanpa aba-aba dan menarik paksa tombak yang menembus jantung Dedes.

"A-ayahanda ... a-apa maksud dari s-semua ini?"

"Karena kau telah mengkhianati kaum Brahmana Dedes! Memalukan! Dewa pasti murka dengan pengkhianatan ini! Itulah sebabnya hukum karma berlaku secepat ini! Seharusnya kau membuat keputusan dengan cepat!"

Otak Dedes seperti berhenti bekerja. Rasanya hendak meledak. Semua orang mendesaknya. Semua orang ingin dirinya membuat keputusan tanpa tahu apa yang Dedes rasakan.

"Ayahanda tak tahu apa yang aku rasakan! Sakit. Rasanya sakit! Jikalau begini, lebih baik aku tak perlu mengulang kehidupan! Untuk apa mengulang kehidupan dan membalas dendam, jika pada akhirnya dendam itu memakan diriku sendiri! Untuk apa Dewa memberiku kesempatan ini! Haaa ... rasanya mau mati! Ini semua hanya mimpi kan?!"

Dedes berteriak tidak karuan. Mpu Parwa menatap Dedes dengan ekspresi datar. Tangannya bergerak menampar pipi putrinya itu. Pipi Dedes memerah, darah dari jantungnya yang terkoyak mengalir semakin deras. Mpu Parwa mencengkram bahu Dedes.

"Jangan buat kecewa orang-orang yang mengharapkan keputusanmu! Buatlah keputusan dengan benar!"

BERSAMBUNG

Keputusan Sang Stri Nareswari [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang