𝓢𝓮𝓽𝓮𝓵𝓪𝓱 𝓴𝓮𝓱𝓲𝓵𝓪𝓷𝓰𝓪𝓷𝓶𝓾, 𝓪𝓴𝓾 𝓳𝓾𝓰𝓪 𝓴𝓮𝓱𝓲𝓵𝓪𝓷𝓰𝓪𝓷 𝓭𝓲𝓻𝓲𝓴𝓾 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓭𝓾𝓵𝓾.
❦ ❦ ❦
Jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Nyaris enam jam, kedua tangan Chika digantung pada tiang besi.
Rambut panjangnya acak-acakan, tubuhnya basah kuyup oleh keringatnya sendiri. Bola mata indahnya meredup, bak daya lampu lima watt. Kepalanya puyeng, seperti globe yang diputar berulang-ulang.
Gadis itu sempat berpikir, jika ruangan ini akan menjadi tempat barunya. Sebuah ruangan yang jauh lebih busuk dari sebelumnya. Lembap, penuh kecoak terbang, serta dilengkapi dinding beraroma koran bekas.
Di pojok ruangan hanya tersedia kerangka ranjang bekas dilengkapi borgol. Tak ada bantal, tak ada selimut.
Pintu berderit, entah kengerian apa lagi yang akan menimpanya. Namun, di satu sisi Chika berharap, pintu itu terbuka sehingga memberikannya kebebasan.
Bos para algojo datang dan menyatakan hal sama seperti sebelumnya.
“Dimana barang itu?”
Namun, karena menjawab tidak tahu, gadis itu pun cekik, dicambuk, diinjak hingga digantung terbalik. Di tempat itu juga Chika dicabuli ratusan kali secara bergilir.
Tak cukup sampai di sana, dia bahkan dipaksa meneguk kemih dan menelan kotoran sendiri. Chika juga ditelanjangi lalu lehernya diikat menggunakan rantai, serta diwajibkan untuk merangkak layaknya anjing peliharaan.
Wajahnya memerah. Ratapan kepedihan tumpah ruah, deras membasahi pipi. Bukan hanya air mata yang terkuras, tetapi terdengar pula raungan keras dari mulutnya. Maki malam tangis Chika kian kencang, mengiris-iris hati siapapun yang mendengarnya.
❦ ❦ ❦
Kediaman Daniel Setiawan dilingkaran police line. Hanya polisi dan petugas forensik yang diizinkan memasuki TKP pembunuhan.
Orang-orang yang tidak berseragam terpaksa memuaskan rasa penasaran mereka di luar pagar, sembari memaparkan cerita versi mereka sendiri.
Ashel tiba di tempat itu lebih dulu ketimbang Aldo. Polwan cantik dengan potongan rambut bondol itu masih sempat memeriksa jasad korban, sebelum dimasukkan ke ambulan oleh petugas inafis berseragam oranye.
Ada luka robek yang melintang di leher korban, mirip tusukan yang disebabkan oleh benda tumpul. Begitulah yang Ashel tulis di buku catatan kecil yang diukir dengan tulisan latin.
Juga darah yang menggenang di lantai membasahi tubuh bagian atas Oniel, tetapi kini sudah mengering. Serta terdapat luka lebam di wajah korban, tepat di bawah tulang rahang.
Ashel lantas bertanya, “Senjata apa yang dipakai pelaku?”
Salah seorang dokter forensik menjawab, “Pensil 2B.”
“Pensil?” Ashel bergidik bulu romanya meremang, membayangkan bagaimana alat tulis bisa digunakan untuk mencabut nyawa seseorang. Dia menelan ludah dan tanpa sadar malah menyeringai.
“Itu mayat Daniel?” Aldo bertanya sesaat setelah turun dari mobil dinasnya. Ajun Komisaris Polisi itu berdiri di samping Ashel seraya memperhatikan ambulans yang baru saja berlalu.
Ashel mengangguk. “Lehernya di robek menggunakan pensil.”
Mendengar itu Aldo malah tak berekspresi apa-apa. Setelah dua mereka memasuki hunian gaya minimalis milik keluarga Daniel. Rumah itu memilki dua lantai, dua ruang tamu, tiga kamar tidur dan dua kamar mandi.
Ruangan-ruangan itu diisi oleh perabotan seadanya dengan dinding-dinding yang menjadi sekat antara ruang satu dan ruangan yang lainnya dipenuhi oleh coretan tangan bocah SD.
Tubuh Daniel Setiawan atau yang kerap disapa Oniel ditemukan di kamarnya. Bau amis seperti aroma ikan menguar di udara, begitu mereka memasuki kamar tersebut.
Di satu sisi ruangan sebelah kiri terdapat jendela dua bingkai yang terbuka. Aldo berjongkok memperhatikan cipratan darah jendela, dinding, kursi dan meja di samping ranjang kayu.
Di kolong meja terdapat genangan darah yang memarahi lantai. Sedangkan kotak tempat menyimpan pensil yang digunakan pelaku sudah diamankan oleh petugas forensik sebagai barang bukti.
“Siapa yang menemukan tubuh korban?” Aldo ujug-ujug bertanya.
Ashel menjawab, “Putri korban yang saat itu datang ke kamar ayahnya untuk meminta uang saku, sementara istri Daniel pergi ke pasar waktu kejadian berlangsung.”
Aldo mengangguk lalu menghampiri permukaan meja yang diambil oleh kursi kerja. Polisi itu menempel jari-jemarinya dan mendapati serbuk putih bercampur abu di sela-sela jarinya.
“Kokain!” Aldo menyimpulkan setelah membaui dan mencicipi bubuk putih tersebut secara langsung.
Ashel yang penasaran spontan memperagakan apa yang dilakukan kapten sekaligus kekasihnya tersebut, lalu mencacat analisis mereka ke dalam memo kecil.
Polwan cantik itu juga memperhatikan yang memeriksa bagian jendela, menengok ke bagian itu, mencermati setiap sudut jendela dan menghapal posisi perabotan yang mereka lalui.
Meskipun Ashel tahu, petugas forensik sudah mencacat bahkan memotret setiap detail di TKP. Namun, dia tetap bersabar menemani Aldo melakukan memelihara ulang. Bahkan sering kaki atasannya itu menemukan detail-detail yang terlewat oleh petugas forensik.
“Gimana menurut, Shel?” Gaya Aldo ketika bertanya selayaknya guru yang sedang mengetes muridnya.
Seperti yang telah disebutkan, Ashel memang terbilang hijau di Sat Reserse Narkotika. Sebelum dipindahtugaskan dia lebih banyak berkutat di balik meja. Seperti, mengetik laporan para penyidik, mencacat jalannya interogasi, merapikan berkas-berkas di ruang arsip dan tugas-tugas administratif lainnya.
Menghadapi pengedar narkoba di lapangan dan memeriksa kokain di Tempat Kejadian Perkara menjadi hal pertama barunya.
❦ ❦ ❦
Di markas Serigala Putih, Aran melewatkan harinya dengan angkat beban, push up dan sit up hingga battle rope. Tubuhnya yang bertelanjang dada penuh keringat tidak akan ia biarkan lemak jahat menggerayanginya.
Sekitar satu jam kemudian, ia menuju kulkas mini dan mengambil sebotol air jeruk, lalu duduk di kursi dan menyalakan komputer sambil mengakses berkas-berkas lama yang sangat rahasia.
Di layar, terpampang sebuah foto dan dokumentasi perjalanan seorang pemuda kemeja loreng yang penuh ambisi dan memiliki sorot mata tajam.
Beberapa menit setelah mengutak-atik komputernya, Aran melangkah ke arah balkon kamar yang berbatasan langsung dengan samudra. Setelah melakukan pemanasan, laki-laki itu lantas membelakangi laut lalu melompat ke dalam air dengan gerakan salto.
Setelahnya, laki-laki itu segera bergabung melakukan ritual sarapan pagi bersama keluarga inti panggabean. Berbaring dengan itu Anin yang baru selesai keramas lalu duduk di sampingnya.
Hal itu tentu menimbulkan kerugian di mata Christian yang memang tidak menyukai keduanya. “Widih, masih pagi udah adu gabruk aja.”
Difiknah seperti itu Anin tidak peduli, begitu pun Aran yang malah dengan santai mengunyah salad buah yang biasa menjadi menu sarapannya. Lagipula mereka memang tidak melakukan apa-apa.
“Kalo diajakin ngomong itu liat orangnya!”
Zean selaku ketua organisasi yang baru langsung menyela ucapan sang adik. “Jaga bicara kamu Chris, ini meja makan. Ohiya Ran, saya mau kamu mengawasi pengiriman malam ini, pastikan semua aman.”
Aran mengangguk patuh. “Baik Tuan!”
Bersambung....
Di bab 4 Chika Aran bakal ketemu!
KAMU SEDANG MEMBACA
Holy Blood (Chikara)
Mystery / Thriller🔞21++ Perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan alias kriminalisasi.