Lewat tengah malam seperti janjinya, Aran menunggu Chika di kelab malam yang sama seperti sebelumnya. Namun, nyaris tiga jam laki-laki itu menunggu, perempuan yang ia maksud tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Aran mengetuk pinggiran meja bar sambil sesekali menilik arloji mahal di pergelangan tangan kirinya, tetapi tak ada perubahan. Muda mudi yang berajojing di lantai dansa masih orang-orang yang sama. Sekalipun banyak yang keluar masuk itu bukanlah orang ia cari.
Laki-laki itu menguap lebar lalu menghadap bartender guna menayangkan sesuatu. “Maaf, Mas. Mas tau alamat cewek yang minggu lalu ngobrol sama saya di sini?”
Si peracik minuman spontan menyempitkan mata. “Siapa, Chika?”
“Betul.”
“Waduh, saya kurang tahu tuh, Pak. Tapi mungkin, manajer kami bisa membantu.”
Aran menggeleng, dia masukkan ponselnya ke saku celana sambil berlalu pergi.
Sedangkan di lobi hotel Chika baru saja keluar penginapan, setelah cipika-cipiki dengan Daddy Sugar-nya yang baru berganti beberapa jam sebelumnya.
“Cepat, ikutin perempuan itu!”
“Baik, Boss!” Sopir Aran mengangguk dan segera tancap gas membuntuti kendaraan didepannya.
Setengah jam kemudian, taksi yang membawa Chika berstagnasi di pelataran parkir. Perempuan itu membuka pintu penumpang sembari memainkan ponselnya.
“Kesalahan fatal sudah membuat saya menunggu terlalu lama.” Taksir melaju menampilkan sosok Aran yang berdiri di belakangan.
Chika tersenyum sini melirik pria dengan setelan kemeja putih yang ia temui tujuh hari sebelumnya. “Udah ku bilang kan, aku alergi sama cowok miskin.”
Aran berhenti tepat di depan Chika sembari memasukkan kedua tangan di kantung celananya.
“Gimana kalo kita bikin kesepakatan?”
“Maksudnya?”
Aran membuka telapak tangan Chika lalu menyerahkan kunci mobil listriknya. “Kalo dalam satu bulan saya nggak bisa bikin kamu jatuh hati, kendaraan ini jadi milik kamu.”
“Sorry, Om. Aku gak tertarik. Lagian, kalo aku mau, aku bisa beli sepuluh mobil yang kayak gini.”
Chika melemparkan kunci mobilnya ke mulut Aran dan berlalu pergi menaiki undakan teras apartemen mewahnya.
“Chika, tunggu! Kalo kamu mau, saya akan mengabulkan apapun kamu yang inginkan.”
Menangkap ucapan itu langkah Chika langsung terpaku di anak tangga ketiga. Setengah tersentak spontan ia membalikkan punggungnya. “Apapun yang aku mau? Om, yakin?”
Aran dengan sigap menaik turunkan kepalanya. “Seratus persen yakin. Yaaa, asalkan nggak minta surga dan segala isinya.”
Chika kembali mendekati Aran dan menjabat tangannya. “Okay, Deal!”
❦ ❦ ❦
“Dari mana kamu, berangkat tengah malam, subuh baru pulang!” Anin menghadang langkah Aran di depan kamar, layaknya seorang istri yang menunggu suaminya balik kerja.
“Kepo! Saya kemana itu bukan urusan kamu. Awas saya mau mandi!” Aran memasuki bilik mandi, tetapi Anin malah mengikuti langkahnya.
“Ih ikut!”
“Jangan-jangan aneh, ya!” Kontan Aran menendang pantat Anin yang coba memasak masuk.
“Aduuuh, galak bener sih calon suami, padahal aku kan dah pernah remas anunya.”
Gemericik air shower berjatuhan di lantai keramik. Anin bangkit dan memilih duduk di tepian ranjang. Tak lama Aran melangkah keluar kamar mandi dengan pakaian ganti, sleeveless t-shirt abu-abu dan celana jogger pants senada dengan atasannya.
Setelah mendetoks tubuhnya dengan air kepala. Laki-laki itu lanjut jogging mengelilingi dermaga tempatnya dermaga tempat tinggalnya yang berada di pesisir utara Jakarta.
❦ ❦ ❦
Sementara di kafetaria Chika tengah makan malam bersamanya sahabatnya.
“Chik, sssttt arah jam sembilan. Liat tuh adek-adek rambut kuning dari liatin lu mulu dari pertama kita masuk, so kiyuuut.”
“Biarin ah, bukan selera gue juga.” Chika menjawab ucapan Marsha tanpa menoleh.
“Dari sekian cowok yang suka goyangin elu tiap malam. Masa, gaada satupun yang cocok, heran. Emang selera lu yang kayak gimana, huh? Mas-mas berseragam loreng yang suka chat Halo Dek?”
“Ngomongin soal halo dek gue jadi keingat seseorang,” seru Chika sembari kembali menyuapkan nasi uduk ke dalam mulutnya.
“Siapa tuch, bapaklu atau mantan pacarlu?” Kedua alis Marsha menyatu membentuk sebuah tanda tanya.
“Kepo ah.” Chika langsung mementung kepala Marsha dengan sendoknya. “Lagian gue gak mau cerita sama lo!”
“Lah, kenapa. Kita kan, bestai?”
“Kalo gue cerita sama lo yang ada lo cerita sama teman lo. Dan teman lo yang selebgram-selebgram itu malah cepu ke seluruh Indonesia.”
Marsha mengigit bibir bawahnya. “Aw, kayaknya itu pengalaman pribadi lu, deh.”
“Misi Kak, boleh gabung?” Niat Chika mengetuk kembali kening Marsya digagalkan laki-laki asing tadi yang ujug-ujug menempati bangku kosong di sebelah mereka.
Lo liat kan Chik
dibalik jaketnya dia masih make kemeja putih
celananya juga abu-abu
mayan dapat berondong tajir.Ketik Marsha di kolom WhatsApp sambil mengulum senyumnya.
Ya ampun lo perhatiin deh
Dia beneran kancing lengannya cuma flexing jam rolex doang
Kayaknya semua cewek michat bisa dia bo sama dia
daripada pamer jam sultan mending duit ortunya dipake buat benerin muka dua bolong-bolong gitu, kayak habis dimakan tanah aja.Balas Chika panjang kali lebar.
Eh lu gak boleh body swimming.
BODY SHAMING TOLOL!
Sahabatnya itu terbahak-bahak menyadari capslock Chika jebol di akhir pesan.
“Sore Kak, Boleh kenalan nggak, a-aku Bim-mo.” Remaja tanggung itu mengulurkan tangannya.
Chika menutup ponselnya dan melirik ke sumber suara. “Malem Dek, siapa tadi, Bimo, ya?”
Remaja laki-laki itu mengangguk. “I-iya.”
“Maaf ya, Dek Bimo. Kakak ke sini mau cari makan, bukan cari kenalan.”
Marsha kembali ngakak sampai memukul-mukul pundak Chika. Sedangkan Bimo langsung meninggalkan tempat itu sembari meneriaki Chika nama-nama hewan kebun binatang.
“Yaampun Chik, lo masih aja jutek perkara cinta. Lagian gue heran, siapa sih cowok yang bisa nakutin seorang Chika Rasika yang nyaris sempurna ini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Holy Blood (Chikara)
Mysterie / Thriller🔞21++ Perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan alias kriminalisasi.