BAB 7

3 3 0
                                    

Terdoktrin setiap inci diri, tak kuasa putuskan sesuatu. Hanya mengadu dalam kalbu, berharap hari berwarna biru. Pergi ke utara singa menyapa, pergi keselatan tornado menerpa, ke arah barat gulita menghadang, ke arah timur ombak menerjang. Lalu gue hanya bisa terduduk, menunggu perintah harus seperti apa dalam mengambil sikap dalam setiap langkah.
Jasmine meminta gue untuk tinggalkan dia dan kembali ke Defi yang lagi-lagi mengancam akan mengahiri hidup. Gagal sakiti Jasmine dia beralih mengancam akan menyakiti dirinya. Bukan hanya itu, dia gak segan menyakiti Ari. Gue sayang Ari, tapi gue cinta Jasmine, Ari harta gue tapi Jasmine kebahagiaan gue. Jasmine berkata Ari dan Defi butuh gue, tapi gue butuh Jasmine. Sumpah gue lelah, ingin gue dekap Jasmine bersama Ari, tapi bagaimana? Keadaan belum mengizinkan. Gue pergi ke rumah sakit tempat Ari dirawat. Disana gue mengelus kepala Ari yang sedang tertidur pulas. Ditangannya tertancap infus dan dihidungnya ada oksigen terpasang. Air mata gue luruh, nggak tega melihat Ari yang menjadi korban. Tapi jika gue menerima Defi, maka hati gue yang harus menderita. Saat Ari bangun gue tanya ke dia, apa yang sakit? Ingin apa?
Aaku mau sama Ayah, aku mau sama Bunda Jasmine," jawab Ari dengan suara lirih, matanya berputar melihat sekeliling, seperti sedang mencari sesuatu dengan ekspresi ketakutan.
"Kamu cuman sama Ayah Nak! Udah nggak usah takut ya!" Gue mengusap kepala Ari dan menghujaninya dengan ciuman.
"Yah, aku mau sama Ayah."
Dalam hati gue mau, tapi gue bisa apa. Gue nggak bisa apa-apa. Karena Ari bukan anak kandung gue, jadinya gue nggak bisa mengambil hak asuhnya. Saat Ari sudah tidur lagi, gue keluar untuk merokok. Hp gue berdering, ternyata Key menelephone.
"Bang Haidar, Jasmine anfal. Dia di RS dimana anak Bang Haidar dirawat. dia Di ruang pafiliun nomor 1. Sekarang Wahyu dan Alvro yang jaga, aku lagi ngurusi stok darahnya Jasmine yang kurang banyak."
Gue terkejut. "Aku pingin lihat Jasmine Bang. Tapi anakku gak ada yang jaga, ibuku Bangih pulang ambil ganti. Ini gimana ya?" tanya gue meminta solusi.
"Udah biar Alvro yang jaga Ari, Bang Haidar lihat Jasmine dulu aja kalau Alvro udah kesitu."
Nggak lama Alvro datang, gue segera menuju ruangan Jasmine di rawat, Jasmine terlihat pucat dan memprihatinkan. Gue menghambur memeluk Jasmine, menciumi wajahnya dan berbisik.
" Cepat sembuh Sil, ayo semangat. Misil pasti bisa, Misilnya Sun pasti bisa."
Suara takbir bergema di penjuru dunia, Ari pun sudah diizinkan pulang. Tapi tidak dengan Jasmine, dia tetap dengan posisinya semula, membuat hati gue sedih dan pasrah dengan ketetapan yang diberi sang penguasa segalanya. Di moment fitri yang seharusnya Jasmine bisa merayakan bersama keluarga, sahabat, dan teman-temannya dengan bahagia, justru Jasmine masih berbaring tanpa daya, gue begitu sedih, hati gue rasanya hancur melihat kondisinya, tapi gue bisa apa selain berdoa.
Setelah melaksanakan sholat idul fitri di masjid, bersalaman dengan para tetangga, gue berniat langsung meluncur ke rumah sakit, tentunya untuk menemani Jasmine di sana.
"Mau ke mana?" tanya Defi menyelidik, menghadang jalan.
"Mau ke rumah sakit," jawab gue singkat, tanpa menoleh dan tetap berjalan menuju motor lantas menyalakannya.
Defi mendengus, "dia aja yang kamu prioritaskan, capek aku hadapin kamu."
Gue mematikan motor. "Terus mau kamu apa?" tanya gue serius.
"udah, aku mau kita pisah aja!" ucap Defi.
"Ya udah kalau gitu,kan kamu yang buat ribet." ucap gue enteng.
"Mana uangnya buat ngurus surat ke pengadilan."
Gue mengambil dompet di saku celana lalu memberikan beberapa lembar uang ratusan pada Defi. Nggak mau berlama-lama, gue kembali menyalakan motor dan melaju ke tempat yang menjadi tujuan utama gue.
Di perjalanan hati gue meerasa nggak enak, berharap nggak terjadi apa-apa pada Jasmine. Setengah berlari gue menuju ruangan Jasmine di rawat, gue menggenggam kenok lalu membukanya. Mata gue menangkap ada seorang pria berdiri di samping berangkar Jasmine berbaring, di tangannya tergenggam alat suntik, dan dia sepertinya akan menyuntik Jasmine melalui selang infus. Saat gue membuka pintu, serentak cairan di tangannya yang hendak di suntikkan ke tubuh Jasmine itu tumpah ke lantai, dan orang itu dengan cepat kabur melalui pintu balkon yang terhubung dengan taman rumah sakit di bawahnya. Gue curiga siapa orang itu dan obat apa yang akan di suntikkan pada perempuan yang masih memejamkan mata di hadapan gue ini. Gue lantas mengambil selembar tisu, mengusap cairan itu dan membawa ke ruang laboratorium. Nggak lama hasilnya pun keluar, petugas lab mengatakan kalau stampel yang gue berikan itu ialah cairan berbahaya yang bisa membuat korbannya mati kalau sampai masuk ke dalam tubuh.
Astaga, gue bener-bener syok, gue segera memberi tau Key agar Key memberi pengamanan untuk Jasmine. Bukan hanya itu, gue minta Key juga agar Jasmine diberikan penanganan terbaik supaya  Jasmine bisa segera pulih kembali. Satu minggu kemudian Jasmine sadar. Meski harus banyak-banyak istirahat dan nggak bisa aktifitas dulu sampai beberapa waktu.

Kunci LabirinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang