BAB 19

2 2 0
                                    

Suara desingan peluru bercampur suara teriakan menggema di telinga gue dari arah luar. Dengan segera gue mengambil tembak dan berjalan keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi. Ternyata di luar gue melihat anak buah Yosi menembaki BC. Gue membuka pintu, kemudian menembakkan peluru dari pistol AK-47 yang gue bawa kepada para musuh. "Arrghh!!" Bukori yang entah dari mana berteriak saat tertembak di lengan. Darahnya mengucur deras. Dor, dor dor, tiba-tiba Jasmine sudah berada di samping gue, menembaki musuh dengan senapan M16 dengan brutal, sehingga satu per satu musuh tumbang di depan mata.
Dor, peluru dihujankan lagi ke arah gue dan Jasmine, Peluru itu melesat menembus kaca di samping kiri Jasmine hingga kaca hancur dan Hampir saja peluru itu mengenai Jasmine jika gue nggak merapatkan tubuhnya ke tubuh gue dengan cepat. Gue dan Jasmine terus menerus diberondong peluru. gue berusaha melindungi Jasmine yang mengerang kesakitan karena kakinya sempat tertembak. Dengan satu tangan memeluk Jasmine, gue menembaki mereka secara brutal. Setelah dirasa aman, gue membawa Jasmine ke Rumah sakit untuk diobati.
Siku Gue menumpu pada kaca mobil, kepalan tangan menopang pipi kanan sembari mendengarkan apa yang di bicarakan Jasmine. Dia terus meracau tentang dokter tampan yang mengobatinya dan cowok cowok lainnya yang seperti pangeran berkuda di hatinya. Bibirnya seperti nggak ada lelahnya bergerak melontarkan kata-kata yang sukses membuat gue cemburu.
Dua telunjuk Jasmine menyentuh lembut bibir gue, mengapit bagian bawah dan atas dengan ekspresi gemas sepertinya. Seperkian detik kemudian, gerakannya yang lembut berubah menjadi usapan bernapsu, "Mau coba ini, boleh nggak?"
Gue tergeragap, menutupi keterkejutan dengan tertawa kecil. "Kamu mabok Sayang?" tanya gue seraya mengusap pipinya lembut.
Cup, Jasmine tanpa aba-aba melumat bibir gue, meski belum propesional, namun gue akui itu udah membuat gue kalang kabut. Gue terbawa suasana, menekan punggung Jasmine agar lebih merapat ke tubuh gue, mendekap erat tanpa celah. Tangan kanan gue bergerak mengusap lembut punggungnya, terkadang menekan tengkuk Jasmine agar ciumannya semakin dalam. Sementara tangan yang kiri gue gunakan untuk menahan pinggang Jasmine, menjaga posisinya agar nggak berubah, sesekali gue meremas gemas. Seketika gue mendesis saat Jasmine mengigit leher gue dan menghisap kuat di sana. Menghirup aroma tubuh Jasmine secara rakus, memasrahkan diri untuk segala perlakuan yang Jasmine lakukan.
"Tell me what you did to me?" Dengan suara lembut Jasmine berbisik. "As if your body language, speaks to me."
Gue perlahan mengangkat dagu Jasmine, mengecup singkat keningnya lalu mengelus sebelah pipinya. "Aku cinta kamu. Jadi aku nggak bisa menyentuh kamu, karena itu akan membuatmu terluka." ucap gue ketika kewarasan gue kembali menyapa.
Jasmine mengerjap, sudut matanya melirik ke arah supir yang sedang fokus menyetir serta Bukori yang tertidur di kursi samping supir.
Sesampainya di rumah, Jasmine langsung masuk ke kamar yang gue ekori, Napas Jasmine terengah-engah, kemudian meraih fas bunga dinakas dan mengangkatnya tinggi-tinggi, lantas membanting benda itu hingga hancur. Kepingan-kepingan kaca berhamburan ke segala arah.
"Min!" Bukori yang baru datang berteriak emosi seraya mencekal pergelangan tangan Jasmine. "Nggak bisa lo bersikap tenang sedikit?"
Jasmine mengempaskan tangannya hingga terlepas dari genggaman Bukori, Mundur selangkah, wajah sayunya semakin memerah menahan emosi.
"Lo nggak tau apa yang gue rasain! Haidar, aku mau pergi, aku nggak mau tinggal sama orang yang nggak bisa tau situasi." ujarnya seraya menunjuk wajah Bukori dengan telunjuknya.
"Sil, maaf kalau kata Bang Bukori kurang berkenan dihatimu! Maaf ya momennya nggak tepat." Gue menyentuh kedua bahu Jasmine dengan lembut. "Tapi maksud Bang Bukori baik, biar kamu nggak terlalu stres."
Jasmine menatap tajam gue yang berdiri di depannya, lantas melempar tatapan penuh kebencian pada Bukori. Hanya beberapa detik, karena detik selanjutnya dia berlari masuk ke kamar mandi.
Perlahan, gue melangkah menyusuri kamar, memeriksa setiap sudut kamar sembari memegang pistol di tangan. Mata gue menyapu awas menelisik ke segala arah, mengantisipasi kalau-kalau ada bahaya yang mengincar nyawa Jasmine.
"Bang Haidar, apakah baru ada penyerangan?" tanya key menepuk pundak gue yang sedang memperhatikan sekeliling halaman dari balkon kamar.
Tanpa menoleh, gue menjawab cepat, "Iya Bang."
Jasmine keluar dari kamar mandi, kemudian langsung berjalan ke arah lemari dan membukanya, gue menepuk pundak Jasmine sehingga dia berbalik dan menodongkan pistol yang baru diambilnya di pundak gue.
"Kalau kamu ngelarang aku mati, kamu yang mati." desis Jasmine. Bergerak satu langkah ke kanan dan pergi meninggalkan gue.
Gue mengejarnya yang berjalan menuruni anak tangga, begitu pula Key.
"Apa yang akan kamu perbuat?" tanya gue seraya mencekal pergelangan Jasmine yang akan membuka kenop pintu keluar.
"Mati karena gila, mati karena penyerangan atau bundir sama aja. dari pada lama-lama mending aku bundir. ucapnya yang terdengar dingin. "Ngapain sih kamu kayak gini? lepas! jangan cegah aku!" triak Jasmine dengan air mata yang membanjir.
"I will protect you, until I die," bisik gue seraya memeluknya dalam dekapan.
Jasmine mendorong tubuh gue, Napasnya terengah-engah.
"Kalau kamu nggak mau aku mati bundir, ayo kita ML!" ucapnya setelah menetralkan napas sembari merapikan rambutnya yang berantakan.
"Berapa kali harus kubilang, tolong bersabar sampai kita menikah.
Jasmine berdecak. "Kita sama-sama sudah dewasa, om, aku juga mau merasakan nikmatnya duniawi, bukan hanya siksaan."
"Sayang, Jangan bertindak gegabah saat kamu emosi, aku udah bilang kan, aku cinta kamu, dan aku nggak mau ngerusak kamu."
Jasmine menaikkan kedua alis, lantas bergerak ke tangga tepat di depan Key yang baru menuruni anak tangga terahir, "Ayo kita ML!" ajaknya yang membuat Key terlihat terkejut.
"Are you okay, Baby?" Key menyentuh pundak Jasmine setelah menguasai keadaan.
Gadis itu hanya menggeleng lemah. Matanya sembab, hidungnya memerah.
"Semua akan baik-baik saja Sayang." ucap Key seraya mengusap lembut pundak Jasmine.
Jasmine menyusut cairan bening di matanya. Menghela napas kasar, lantas mendongak menatap Key, Pria itu tersenyum dan mengangguk, meyakinkan Jasmine.
"Kamu istirahat ya!" ucap Key yang diangguki.
"Tapi aku mau sendiri." ucapnya seraya menaiki anak tangga.
Gue menepuk pundak Key yang akan mengekori Jasmine.
"Biarin dia sendiri Bang! dia butuh tenang."
Key menyilangkan kedua lengan di depan dada. Matanya tajam menatap gue, "Kalau dia nekat?"
"Ada CCTV, kita kesana kalau ada apa apa, tapi jika kamu nekat kesana bisa fatal dampaknya."
Key memicingkan mata, "Seperti apa?"
Gue menyugar rambut dengan tangan, lantas menghela napas kasar. "Emosinya nggak terkendali. coba saja jika mau! Kemudian lihat apa yang terjadi."
"Apa Bang Haidar cinta Jasmine? kenapa Bang Haidar nggak posesif." tanya Key dengan ekspresi datar."
"Aku takut, jika terlalu posesif karena cemburu, Jasmine akan pergi. Dia pernah bilang, dia nggak suka dikekang. Asal masih batas wajar, aku mencoba biasa Bang."
Key tersenyum, menepuk pundak gue kemudian pergi ke arah dapur.
***
Gue menahan napas, mengawasi Jasmine yang sedang berdiri sendirian di balkon lantai dua. Jemari lentik gadis itu mengapit sebatang rokok, berulang kali menghisap lalu mengembuskan asapnya dengan kasar, terlihat frustrasi. Gue memberanikan diri mendekat, menepuk pundaknya dan mengelusnya perlahan. Mungkin merasa terganggu, Jasmine menoleh ke belakang. Tersenyum sinis penuh luka. Gue mengusap wajah kasar, kehilangan kata-kata. Jasmine mengisap rokok dalam-dalam, lantas mengembuskan asapnya tepat di depan wajah gue.
"Rasanya aku ingin mati." Jasmine tertawa lantang, membuang rokok di lantai dan menginjaknya kasar.
"Sayang, tolong jangan menyerah!" ucap gue seraya menyimpan ke dua tangan dipipinya.
Dengan sekali hentak, Jasmine mencengkeram kerah kemeja gue, memutar posisi hingga gue terhimpit di pagar pembatas balkon.
"Aku nggak sanggup. kalau kamu nggak mau ML. Mati bersama bukan id buruk." Jasmine mendorong gue hingga sebagian tubuh gue condong melewati pembatas balkon.
"Jasmine." gue berusaha menenangkan Jasmine.
"Mari kita mati." ucap Jasmine yang diiringi tawa seraya dorongannya yang semakin kuat.
Gue mengunci pergerakan Jasmine, kemudian mendorong tubuhnya hingga ke tembok. Menghela napas, menatap Jasmine. Wajah cantik itu memiliki tatapan sendu, terkesan dingin, serta perpaduan raut kecewa dan terluka. Ah, kasihan Jasmine.
"Sayang, kuatkan hatimu!" ucap gue yang sudah nggak tau harus berkata apa.
Jasmine terkekeh sejenak, untuk kemudian kembali memasang wajah dinginnya. Perlahan gue menyentuh kedua bahu Jasmine hendak menariknya ke dalam pelukan, namun Jasmine menepis kedua tangan gue.
"Tau apa kamu tentang perasaanku?" tanyanya, kali ini setetes air mata meluncur disela pertanyaannya.
Dengan pelan, gue menarik tubuh Jasmine ke dalam pelukan, "Aku memang nggak tau apa yang kamu rasakan, kamu pikirkan, tapi aku janji akan selalu disisimu dalam apapun kondisimu, menggenggam tanganmu agar kamu terus bangkit dalam mengarungi jalanan yang terjal ini. hingga tuhan berkehendak nanti."
"Kamu mau meringankan bebanku?" tanya Jasmine dengan suara lirih.
"Pasti."
Jasmine tersenyum, dipeluknya tubuh gue erat seraya berbisik, "Maaf udah bawa kamu keduniaku! duniaku terlalu keras, kamu pergilah! nanti aku akan mengatakan jika kamu sudah bukan timku, jadi biar Yosi dan Riezal nggak mengusikmu."
Gue mengurai pelukan dan berkata dengan mantap, "Aku lebih memilih hidup sengsara di dunia yang penting bisa membuka tabir hitam yang menyelimuti sang putih, setidaknya aku nggak malu nanti waktu mati sama Tuhan, karena aku bawa bekal, meskipun sedikit."
Di sini, di tempat ini, saat ini juga, gue berjanji sama diri gue sendiri, gue akan tetap membersamainya Demi mendapatkan arti kehidupan yang sesungguhnya

Kunci LabirinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang