Malam itu gue dan Jasmine pergi ke pinggir pantai untuk melepas penat. Tapi ketika kami di jalan, hp gue berdering, gue mengangkat telephone itu seraya tetap menyetir. Ada salah satu pejabat yang meminta bantuan, dia katanya disantet, tenuh apalah yang intinya gue dan Jasmine diminta membantunya. Karena sudah fatal. Mau nggak mau gue dan Jasmine pergi menemuinya. Benar saja, keadaan orang itu sangat parah, badannya nggak bisa gerak, hanya terbaring di tempat tidur dengan tubuh gosong seperti terbakar.
Jasmine kemudian meminta gue fokus menatap mata orang itu. Sekejap gue langsung mendapat gambaran kalau orang itu dililit ular api, gue terus tatap orang itu sambil membaca wirit, dan gue melihat bahwa semasa sehatnya dia bersekutu dengan siluman ular untuk mendapat jabatan. Gue mengambil hp, gue mengetikkan apa yang gue lihat, dan mengirimkannya ke Jasmine karena nggak sopan kalau gue membicarakannya secara langsung dan blak-blakan.
Jasmine tersenyum, kemudian menepuk pundak gue sambil berbisik. "Jadi kita harus ngajiin dia, bukan cuman itu, kita harus pergi ke alam mereka untuk meminta jiwanya dikembalikan. Kasihan dia. gantung kayak gini."
Gue menggenggam tangan Jasmine, "tapi sil, ini berat."
Lagi lagi Jasmine tersenyum. "Kita punya Allah om."
Gue mengangguk. membenarkan perkataan Jasmine. Jasmine kemudian menyampaikan apa saja yang perlu disiapkan, sementara gue hanya berdiri disampingnya. selama menunggu yang sedang disiapkan, Jasmine mengajak gue mengobrol di taman.
"Ini nggak gampang, butuh nyawa sebagai taruhan."
Gue menyandarkan kepala di pundaknya, tangan gue menggengam tangannya. "Ada Allah, ada kamu, cukup buat aku seberat apa pun, toh niatan kita baik."
Jasmine tersenyum, tangannya dilepas dari genggaman gue, kemudian dia memeluk gue, pelukan yang hangat. "Makasih, makasih sudah mau berjuang."
Setelah semua sudah disiapkan, Jasmine meminta gue tidur disamping orang yang menjadi target, sementara Jasmine melantunkan ayat-ayat alquran. Sedangkan keluarga dari target menyiram target juga gue dengan blenderan air bidara. Dari bawah naik ke atas, dari atas turun ke bawah, begitu terus berulang ulang, hingga tiba tiba gue berada ditempat yang sangat menyilaukan, setelah berhasil menyeimbangkan badan, netra gue berusaha beradap tasi, menangkap apa saja yang harus dilihat.
Di ujung tempat itu ada seekor ular yang sangat besar, dikepalanya memakai mahkota yang terbuat dari api. Gue perlahan berjalan mendekat, sementara ular itu menyeringai, menunjukkan taring-taring tajamnya.
"Bebaskan fulan bin fulan!" triak gue yang nggak direspon.
"Salam om." Suara Jasmine terdengar jelas dipendengaran.
"Assalamualaikum, tolong bebaskan saudara saya fulan bin fulan!"
Ular itu tertawa, tawa yang membahana, "tidak bisa, dia sudah melakukan perjanjian, dia akan menjadi pengapdiku. Tapi sebelum dia mati, dia harus mengorbankan anak turunnya sejumlah 2 pria dan 2 wanita. Bukan hanya itu, dia harus mencarikan penggantinya untuk merawatku, sebelum itu dilaksanakan, dia akan tetap kugantung disana"
Ular itu menunjuk sisi di belakang gue, sontak gue menoleh, gue melihat target tergantung dengan kepala di bawah dan kaki di atas.
"Raganya akan tetap seperti itu selamanya." Ular itu kembali tertawa.
"Tolong lepaskan! Dia memang salah telah bersekutu denganmu, ibaratnya dia menyuruh kamu kerja, dan sekarang waktunya dia membayar upah. Tapi saya mohon, bebaskan!"
Ular itu geram, "Kamu tidak tau aku? rasakan ini!" Ular itu menyebet gue dengan ekornya hingga gue terjatuh, kemudian dia melilit tubuh gue hingga tubuh gue terasa hampir remuk.
"Baca takbir om! Terus pukul ular itu dengan telapak kananmu!"
Suara Jasmine terdengar lagi, gue mencoba untuk tenang kemudian mengikuti instruksi Jasmine, sontak ular itu patah jadi dua. Tapi dengan cepat tubuh ular itu menyatu lagi, kemudian kembali menyerang gue.
" bacaBakbir om, Terus taruh kedua tanganmu didepan dengan posisi telapak menghadap kearahnya."
Gue lakukan instruksi. Ular digulung api yang sangat besar. Wusss, ular itu menghilang tanpa jejak. Berbarengan dengan gue yang sudah menghilang kesadarannya. Sadar-sadar gue sudah di rumah sakit, dengan infus ditangan kiri.
"Sudah sadar om?" tanya Jasmine yang duduk di samping kanan gue.
Gue berdehem, tangan gue mengapai tangannya. "Kok aku disini?"
Jasmine mengusap tangan gue yang menggenggam tangannya.
"Kamu muntah-muntah dalam pingsanmu, muntah darah."
Gue menggeleng gak percaya. "Masak?"
"Tanya aja sama orang-orang!"
Gue menghelah napas panjang, ya, nggak ada yang nggak mungkin kalau Allah berkehendak. "Terus gimana orang itu?"
Jasmine tersenyum. tangannya terulur menyentuh kedua pipi gue. "Kamu berhasil, kamu udah bisa bebasin dia, dan dia meninggal dengan sewajarnya sesuai harapan keluarga."
Gue bernapas lega dan mengucap hamdalah.
"Aku bangga sama kamu om!" bisiknya yang membuat gue bahagia, rasanya senang sekali ada yang mengakui gue, mengakui kehadiran gue.
Sore harinya, keluarga dari pejabat itu menjenguk gue, mereka mengucap terimakasih dan maaf berkali-kali, bahkan mereka menawarkan uang yang cukup besar sebagai imbalan. Tapi Jasmine menyarankan kalau sebaiknya uangnya diberi anak panti saja. Gue juga setuju dengan ide Jasmine, jadilah setelah gue sembuh, kami pergi ke panti.
Setiba di panti kami disambut anak-anak panti, terutama Jasmine, mereka mengerubungi Jasmine, memeluk Jasmine. Mereka juga terlihat bahagia.
"Kak, kok baru kesini?" tanya mereka yang ditanggapi Jasmine dengan senyuman.
"Baru sempat sayang, baru ada rejeki."
Mereka tersenyum, mengangguk memaklumi.
"Ini siapa?" Seorang anak menunjuk gue, pandangannya menatap gue takut.
Jasmine berdiri disamping gue. dia menggenggam tangan gue, "ini kak Haidar, teman kak Jasmine, yuk kenalan!"
Mereka satu persatu menyalami gue. Setelahnya gue mengambil makanan, membagikannya lalu kita makan bersama, sungguh kegiatan yang begitu menyenangkan. Rasanya ingin sekali menemani mereka sepanjang hayat, tapi mungkin semua sesuai porsi, gue ditugaskan di lapangan, agar gue bisa memberi mereka kehidupan yang layak. Hmmm, itu hanya analisa aja. ketika mau pulang Jasmine meminta mereka untuk baris, lalu satu persatu menyalami gue dan Jasmine yang tentunya membagikan amplop.
"Aku seneng deh, Sil. Baru pertama nih kamu ajak aku, makasih ya!"
Jasmine tersenyum, ditepuknya pundak gue beberapa kali. "Next time kita kesana lagi ya om." ucap Jasmine semangat.
"Pasti Sil. Aku juga seneng kok."
Tiba-tiba mobil yang gue bawa mati, nggak tau apa penyebabnya. gue turun untuk mengecek, tapi ya semua baik-baik saja. Jasmine ikut turun, menghampiri gue yang berkutat dengan mesin mobil.
"Apanya yang rusak om?" tanya Jasmine seraya menepuk pundak gue yang sedang berkutat dengan mesin mobil.
"Nggak tau, kayaknya ini nggak ada yang rusak." jawab gue seraya menutup kap mobil.
Jasmine menelephone pejabat yang meminjami mobil, nggak lama dia datang bersama anak buahnya. Setelah diperbaiki sedikit, akhirnya bisa. Ya, mungkin dasarnya gue yang nggak tau mesin.
Saat gue pulang kerja sif malam, gue langsung pergi ke Bandung menghampiri pujaan hati. Tapi sebelum itu gue mandi dulu di SPBU, dandan sedikit biar nggak kelihatan kucel. Di Bandung, gue melihat Jasmine yang sudah rapi dengan batiknya.
"Udah mau kuliah Sil?" tanya gue yang direspon Jasmine anggukan.
"Mau ikut aku kelas?" tanyanya tersenyum manis.
"Tapi nggak apa-apa?" Gue balik bertanya yang langsung diangguki Jasmine sebagai jawaban.
Jasmine menyuruh gue memarkir motor, lalu gue menggandeng Jasmine menuju kelas. Meski Jasmine sudah bersama gue tapi dia masih memakai tongkatnya.
"Ada aku, ngapain sih pakai tongkat?" Gue mengambil tongkat ditangan Jasmine, melipatnya lalu memasukkannya di dalam tas Jasmine.
Di dalam kelas semua berjalan lancar, mencatat materi dari dosen, menyimak presentasi kelompok, sampai terdengar pintu kelas diketuk dengan barbar.
Kelas dibuka, memunculkan sosok Difa yang kemudian bertriak "anjing! Kamu emang pelakor. Perebut suami orang." Difa menunjuk Jasmine.
Sumpah gue malu banget. Sementara Jasmine. mukanya berubah menjadi merah, mungkin menahan malu. Difa makin menjadi jadi, menciptakan pandangan aneh dari teman teman juga dosen Jasmine. Gue berdiri, gue berjalan didepan kelas kemudian berkata, "Ini salah faham, Jasmine bukan seperti yang dituduhkan, saya dan dia sudah resmi bercerai." Gue menunjuk Difa yang masih mencak-mencak kayak orang kesetanan.
"Udah, selesaikan secara pribadi!" lerai dosen Jasmine, "dan kamu Jasmine." Dosen itu menunjuk Jasmine. "Kamu saya sarankan untuk tidak menngikuti matkul dulu sampai kondusif."
Air mata Jasmine luruh, ditambah pandangan jijik dari teman temannya, dia kemudian memanjangkan tongkatnya dan berjalan keluar kelas. Gue mengikutinya, sementara Difa triak-triak kayak tarsan. gue menampar Difa, karena gue benar-benar kalut. Gue sudah nggak perduli apa yang akan terjadi. terserah, gue udah pasrah. Difa pergi, menangis seolah yang paling tersakiti. Sementara gue tetap mengejar Jasmine.
"Sil, tunggu bentar Sil."
Jasmine berhenti dan membalikkan badan menghadap gue. "Udah hancur om, hancur semua. Aku nggak kuat, terus harus gimana lagi ini?" triaknya dengan air mata yang mengalir deras.
Gue juga menangis, gue sama sepertinya, sedih, bingung, nggak tau harus apa. Jasmine melepas cincin di tangannya, kemudian menyerahkan ke gue.
"Aku salah Sil, yang membuat masalah emang aku, tapi nggak gini caranya. Jangan tinggalin aku! Kamu yang aku punya sekarang, Sil."
Jasmine tetap memaksa gue mengambil cincinnya, lalu dia berjalan menuju asramanya. Gue menarik napas panjang, mengikutinya dalam kondisi seperti ini pasti nggak akan mengubah apa pun. Gue paham, dia butuh ruang untuk memperbaiki kesedihannya. Gue memutuskan pulang, tapi sebelumnya gue chat dia untuk meminta maaf, meski gue tau, mungkin itu nggak ada gunanya.
Di rumah gue membuka hp, Jasmine membalas memang dia salah, salah kalau dia pernah bilang akan dampingi gue, suami orang. Dia juga bilang kalau dia terlalu percaya diri bisa lewati semua. Tapi semua malah terjadi seperti ini, membuatnya menyerah karena ditekan lelah. Dia meminta maaf dan bilang gue lebih baik tinggalin dia, air mata gue lolos nggak bisa gue bendung, hati gue rasanya sakit. Gue gak menyalahkan Jasmine, gue tau, kenapa dia memilih jalan ini, gue memaklumi. tapi susah menerima kenyataan bahwa gue harus melepas dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kunci Labirin
Fiksi PenggemarDi mana ada hitam, sang putih jadi pemenang. Menjadi jahat atau baik adalah pilihan setiap insan. Bukan hanya sekedar ucapan, akhlak yang harus diutamakan. Membenci seperlunya, mencinta seadanya. Skuy readers❣️ Baca *SEKUEL* Story Of My Life season...