Setelah Vei menyelesaikan makan siangnya, barulah Melvin tiba dengan Akira di gendongannya. Wanita itu tersenyum, menyambut putrinya yang memasang wajah tertekuk. Kenapa ini?
"Akira nangis tadi karena kelamaan dijemput. Habisnya Bang Gana baru bilang setelah 10 menit waktunya Akira dijemput, ya gue langsung buru-buru dong. Beneran tinggal Akira sendirian, beruntung masih ada satu penjaganya yang nemenin." Jelas Melvin sambil duduk di samping kakak perempuannya itu.
"Hih anjir nyebelin banget! Lo tegur kek sekali-kali itu si Gana. Sering kan kayak gini? Katanya mau jemput Akira, giliran udah mau pulang aja mendadak kagak bisa. Emang dia rapat tiap waktu apa?" Ujar Yala dengan sebal. Habisnya dia dari awal tuh emang udah nggak suka sama suami sahabatnya itu.
Menyebalkan dan songong.
"Alesan doang itumah, pasti lagi keluar sama cewek barunya. Ya gak sih?" Setelah itu, kepala Haru di tabok oleh Melvin. "Mulut lo ya anjir."
Vei hanya diam mendengar penuturan Haru barusan. Entahlah. Dia tidak tau. Lagipula, kalau memang Gana berniat kencan dengan wanita lain tidak masalah. Itu kan urusan pribadi dia, dan Vei tidak punya alasan sama sekali untuk mengatur kehidupan pribadi Gana.
Tembok tinggi masih membatasi mereka, bahkan setelah Akira lahir dan sampai saat ini.
"Lo udah hidup bareng Bang Gana 4 tahun loh, kak. Setelah apa yang kalian lakuin dan lalui, nggak muncul sedikitpun perasaan? Atau nyoba saling mencintai satu sama lain? Gue tau kalian nikah karena terpaksa, tapi nggak gini juga kan? Kasian Akira kalau tau orangtuanya nggak saling mencintai, dan tau kalau dia datang karena paksaan-"
"Akira datang bukan karena paksaan, Vin." Sela Vei cepat, menatap adiknya itu dalam. "Akira lahir karena Tuhan yang memberikannya ke gue dan Gana, yah, walaupun kita ngelakuinnya juga karena suruhan orangtua yang kebelet pengen punya cucu. Tapi seenggaknya, perasaan gue ke Akira kayak perasaan seorang ibu ke anak pada umumnya. Gana juga. Kita bertahan demi Akira."
Melvin menghela nafas panjang, mengibaskan tangannya. Kakaknya batu. Susah dibilangin.
"Susah ya, yang masih kejebak sama masa lalu." Celetuk Dimas tiba-tiba, yang membuat Vei melotot kearah pria itu. Apaan tiba-tiba bawa masa lalu?
"Itu tuh, salah satu alesan lo nggak mau buka hati buat siapapun itu. Masa lalu lo. Lo belum bisa damai sama masa lalu lo, kan? Vei, udah dong. Johan udah tenang disana, kalau lo kayak gini terus kasian juga Johannya." Ucap Yala sambil menatap Vei dengan tatapan memohon.
Ya, Vei mencintai masa lalunya. Vei mencintai masa lalunya melebihi apapun, dia masih mencintai seseorang yang telah berbahagia diatas sana. Salah satu alasan mengapa ia sulit untuk membuka hatinya untuk orang lain.
Dan Gana, dia tidak pernah tau mengenai masa lalu Vei. Wanita itu menutupnya rapat-rapat, terlalu sakit jika harus membahasnya lagi.
"Ayo masuk, waktu istirahat udah habis." Vei berdiri sambil menggendong Akira. Membuat yang lainnya mau tak mau berdiri, "kak mending Akira gue aja deh yang bawa, gue tau lo sibuk. Habis ini gue nggak ngapa-ngapain kok." Ucap Melvin menawarkan.
Vei menggeleng, "nggak usah, gue bisa kok. Lo balik aja. Tolong bilangin ke Shifa suruh anter mobil gue kesini, gue berangkat naik taksi soalnya tadi." Melvin mengangguk paham, memberikan beberapa kecupan singkat di wajah keponakannya kemudian mencium pipi kakaknya.
"Dadah Akira! Nanti om main kerumah ya!" Serunya riang sambil melambaikan tangan, membuat Melvin menjadi pusat perhatian untuk beberapa saat. Vei menggelengkan kepalanya melihat kelakuan sang adik, kemudian ia melangkah masuk.
"Vei, mending lo sama Melvin aja deh." Celetuk Dimas tiba-tiba.
Yala menginjak kaki pria itu kuat-kuat, "orang gila gak usah di dengerin." Haru tertawa, sementara Dimas meringis karena tenaga Yala bukan main. Vei hanya tersenyum tipis, sampai ia merasa saku jasnya bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
ʳᵘᵐᵃʰ ˢⁱⁿᵍᵍᵃʰ
Fanfiction"ᵏⁱᵗᵃ ʰᵃⁿʸᵃˡᵃʰ ʳᵘᵐᵃʰ ˢⁱⁿᵍᵍᵃʰ ᵘⁿᵗᵘᵏ ˢᵉᵐᵉⁿᵗᵃʳᵃ ʷᵃᵏᵗᵘ" [ˢᵉᵛᵉⁿᵗᵉᵉⁿ ˡᵒᵏᵃˡ ᶠᵃⁿᶠⁱᶜᵗⁱᵒⁿ] ᶠᵗ. ʸᵒᵒⁿ ʲᵉᵒⁿᵍʰᵃⁿ & ʲᵒˢʰᵘᵃ ʰᵒⁿᵍ ©ᵛᵃⁿⁱᵉˡᵃᵗᵗᵉ