Berjejaring dengannya dalam hidupku membuatku berpikir, dosa besar apa yang pernah kulakukan hingga membuatku berada dalam satu ikatan dengannya. Begitu perkataan Ayyasya Fatikha setelah bertemu dengan seorang Raffasya Rahsya Asy-Syauqi.
"Jangan per...
Aku tak bisa membayangkan kelak begitu dekatnya orang yang memuliakan anak yatim bersama dengan Rasulullah layaknya kedekatannya seperti jari telunjuk dengan jari tengah.
SYA ______________________
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MALAM ini menjadi malam yang melelahkan. Dalam kurun satu hari ini aku mengikuti tiga meeting berturut-turut. Ditambah dengan dingin yang menusuk tubuhku membuatku menggigil karena terpaksa menerobos hujan untuk sampai ke depan halte tempat taksi terparkir.
Saat perjalanan menuju rumah, taksi yang kutumpangi terpeleset hingga hampir saja menubruk pembatas jalan karena kondisi jalanan yang licin selepas hujan.
Mendengar ceritaku dari awal rapat hingga pulang, Bibi menyentuh keningku memastikan aku tak demam. Kemudian ia membantuku duduk agar bersandar di atas ranjang. Bibi juga menyodorkan segelas teh hangat yang baru saja ia buat.
Ia tampak khawatir. Panggilan WhatsApp dari Bibi sore tadi saja sampai delapan panggilan tak terjawab karena sinyal ponselku yang ups and downs selepas mendapat pesan dari Bang Hammam. Maka dari itu, aku memutuskan untuk menaiki taksi offline yang biasa terparkir di seberang halte.
"Sya, lain kali hati-hati. Besok-besok Bibi enggak mengizinkan kamu pulang sendiri malam-malam. Kalau Bang Hammam enggak bisa jemput, telpon Bibi atau cari barengan. Jangan sendiri," tutur Bibi dengan halus.
Aku hanya mengangguk seraya menyeruput teh yang hampir tandas. Hujan pun kini kembali mengguyur dibersamai dengan kilat yang terlihat dari balik jendela yang sudah tetutup gonden.
"Bibi enggak mau kehilangan kamu untuk kedua kalinya." Jidatku berkerut dan mencoba memahami maksud Bibi.
"Maksud Bibi?" tanyaku. Aku menunggu cukup lama dan memberikan space Bibi untuk memulai bicaranya.
"Ah enggak. Maksud Bibi, Bibi khawatir kalau kamu lupa jalan pulang, nanti ilang, deh, kaya waktu kamu masih SD pas pulang sekolah lupa rumah," jelas Bibi sambil tertawa kecil. Aku masih belum percaya maksud Bibi tadi, seperti ada yang disembunyikan. Aku menatapnya lekat hingga Bibi menyadarkanku dengan melambaikan tangannya di depan wajahku.
"Sya? Ayyasya?"
"Eh, enggak, Bi." Aku sontak mengedipkan mataku.
"Oh iya, Bi. Waktu Yasya tengok panti kemarin kayaknya makin lebar aja. Emang dibangun lagi, ya?" tanyaku mengalihkan topik.
"Iya. Lagian sih kamu dulu kuliah enggak pernah pulang, jadinya enggak tahu kalau dipanti ada renovasi sama pelebaran. Sekarang jadi luas," tuturnya. Iya, selama empat tahun kuliah hanya di tahun pertama aku pulang. Di tahun selanjutnya aku memutuskan untuk tidak pulang karena kala itu untuk makan saja aku hanya dua kali sehari. Apalagi kuliahku di luar kota. Ongkos pulang-pergi bisa untuk makan berminggu-minggu.