Side Story: a Letter to Heaven

177 23 0
                                    

—lanjutan chapter [一; Are You Happy Now?]

Yukimiya kembali masuk ke dalam kamarnya setelah menyambut wanita yang baru datang tadi. Ia kemudian merapikan kardus-kardus yang tersisa. Surat dengan amplop putih yang tadi menyita perhatiannya pun Ia masukkan pula ke dalam kotak hitam tempatnya semula.

Yukimiya duduk di kursi meja belajarnya, membuka laci, harap-harap menemukan sebuah kertas serta amplop yang masih Ia simpan untuk berbagai keperluan.

Ketemu. Ia mengambil dua buah kertas dan sebuah amplop, serta mengambil sebuah pulpen yang selalu ia bawa.

Dengan serius, ia mulai merangkai kata, merangkai kalimat, dan menyatukannya menjadi paragraf.

Surat terakhir untuk [Name]. Itulah yang Yukimiya pikirkan ketika menuliskan huruf-huruf di kertas itu. Ia menulis, mencurahkan kata terima kasih dan maaf untuk [Name], gadis yang dulu dan mungkin selalu berada di dalam hati kecilnya.

Pulpen menari di permukaan kertas, menghasilkan coretan hitam di atas putihnya kertas.

Yukimiya Kenyu, lelaki jangkung berkacamata itu ... menangis.

.
.
.

—Kepada, Hakasa [Name], yang sudah berada di tempat yang tenang dan damai—

Untukmu nan jauh di sana, ribuan kata terima kasih tak akan cukup untuk mengungkap rasa terima kasihku padamu, yang selalu turut andil di dalam kehidupanku.

Ribuan maaf tidak cukup pula untuk menebus kesalahan-kesalahanku padamu.

Jika kau mendengarku berbicara seperti ini secara langsung, mungkin kau akan menyebutku hiperbola atau semacamnya. Namun, itulah kenyataannya.

Dulu, lima tahun yang lalu, di dinginnya bulan Desember, di sebuah ranjang putih rumah sakit, kutemukan dirimu terbaring dan tersenyum kala aku menggeser kasar pintu kamar rawatmu.

Kudekati dirimu dan memerhatikanmu.

Binar mata yang selalu hadir di kala dirimu senang, kini tak muncul.

Bibir yang tersenyum di keadaan apapun dan di manapun, kini memucat.

Rambut hitam pendek yang selalu aku hidu, kini menempel di bantal rumah sakit.

Serta tangan yang selalu hangat, kini terasa dingin.

Kau yang tegar dalam hal apapun, kini terlihat rapuh.

"Kenapa kau menangis, Kenyu?" Suara lembutmu menyapa diriku, menyadarkanku, bahwa air terus menerus mengalir dari mataku kala itu.

Ingatan atas kau yang saat itu terlihat begitu rapuh dan lemah, adalah ingatan yang sampai saat ini tidak bisa kulupakan.

Kemudian, kau meninggalkanku, meninggalkan kami semua yang menyayangimu.

Aku bahkan belum meraih gelar yang akanku bawa ketika menemuimu lagi.

Tak ada yang bisa kulakukan saat itu, selain melihat ragamu yang sudah kehilangan jiwanya.

"Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan hambanya."

Tapi, kehilanganmu adalah cobaan yang saat itu membuatku berpikir, "aku tidak akan pernah bisa menghadapi ini."

Lalu, surat terakhirmu untukku sampai padaku melalui sahabatmu, Aya.

Aku minta maaf, aku tidak memiliki waktu untuk menemanimu kala itu.

Aku minta maaf, karena tidak bisa menjadi sandaranmu di tahun itu.

Tahun-tahun setelah kepergianmu terasa begitu sulit bagi diriku.

Kenapa? Karena aku masihlah terpuruk. Belum mau menerima kehilanganmu. Menolak percaya atas kepergianmu.

Tapi, [Name], terima kasih.

Terima kasih atas segala hal yang kau lakukan untukku. Terima kasih sudah menjadi orang yang menjaga diriku dengan baik. Ribuan terima kasih untuk ribuan kebaikan, cinta, dan kasih sayangmu untukku.

Aku sudah bisa menerima keberadaan Aya, sebagaimana saranmu padaku, walaupun begitu, tetap saja, kau masih memiliki tempat khusus di dalam hatiku, yang tidak akan terjamah oleh siapapun.

To my dearest, [Name], I love you unconditionally, I love you forever, and I love you in every universe.

–Dari Yukimiya Kenyu, lelaki yang pernah dibahagiakan olehmu.–

Side Story: a Letter to Heaven

Untukmu nan Jauh Di SanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang