Iyak baru sadar kalau sedari tadi jadi perempuan yang nggak konsisten. Hal itu dibuktikan dengan dua hal. Pertama, dia nggak konsisten dengan penggunaan aku-saya saat ngobrol dengan Wirya. Kedua, setelah bersikap defensif dengan kepala dipenuhi pikiran negatif eh nyatanya sekarang dia justru menjadi orang yang paling lahap makan nasi tempong dengan view lautan di depannya.
Hm. Iyak sadar kok dengan hal itu. Sadar pakai banget. Dia juga bertanya-tanya, kenapa sih dia jadi perempuan kok labil?
Tapi ya, tapi. Apakah dia salah jika memilih untuk melupakan semua itu dan menikmati semua 'kegratisan' ini setelah berjibaku dengan skripsi, skripsi, dan skripsi?
Kalau kata temannya Soe Hok Gie dalam buku Zaman Peralihan: Bagi manusia-manusia seperti kita antara kesengsaraan dan kenikmatan hanya soal satu langkah.
Bisa saja tadi dia mengambil langkah dengan menolak ajakan Wirya. Tapi ternyata langkah lain yang dia ambil dengan menyetujui ajakan laki-laki itu dan berakhir di sini.
"Pelan-pelan saja, Oriana. Nasinya nggak ke mana-mana."
Iyak menoleh ke samping. Pada Wirya yang sedang makan nasi tempong dengan sendok dan garpu di kedua tangannya. Kemudian dia beralih pada kedua tangannya sendiri. Yang satu memegang pinggiran piring. Satunya lagi tengah menjumput tempe goreng yang tinggal separuh.
"Ini namanya menikmati, Om." Iyak menjawab. Tangannya melanjutkan kembali tugasnya untuk mengantarkan tempe goreng pada gigitan Iyak yang sempat tertunda.
Wirya tersenyum kecil. Sambil mengunyah, dia melihat ke depan. Pada hamparan laut dengan ombak yang nggak sebesar laut yang mereka kunjungi beberapa waktu lalu. Wirya baru pertama kali kemari. Dia juga baru tau kalau di kota ini banyak sekali destinasi wisatanya, terutama laut.
"Ngomong-ngomong ya, Om," Iyak menelan lebih dulu nasinya. "Om Wirya ke sini memang liburankah? Atau ada tujuan lain?
Untuk sejenak nggak ada sahutan dari Wirya. Laki-laki itu masih terus menatap pada hamparan laut. Sendok dan garpu juga tidak bersuara. Iyak melirik hati-hati ke samping.
Waduh.
"Om," Iyak mencicit. "Kalau pertanyaanku lancang maaf ya. Nggak usah dijawab nggak apa-apa kok."
Ketika Iyak merasa Wirya akan melihatnya, Iyak buru-buru fokus pada makanannya lagi. Buru-buru dia menyuapkan kembali nasi ke mulutnya.
Terdengar hela nafas dari samping. "Pelan-pelan, Oriana. Nanti kamu kesedak loh."
Iyak mengangguk tiga kali dengan cepat.
"Bisa dibilang begitu."
Kontan saja Iyak mengernyit. Bingung kenapa Wirya tiba-tiba mengatakan hal tersebut. Takut-takut Iyak kembali melirik ke samping. Pada Wirya yang ternyata kembali melihat ke depan.
Entah kenapa Iyak merasa kalau mereka ini sedang melakukan suatu hal yang disebut dengan 'saling menghindar'.
"Bisa dibilang saya liburan di sini."
Oh.
"Waktu teman saya ke rumah saya bulan lalu, dia merekomendasikan kota ini ke saya. Saya awalnya ragu karena dulu sekali saya pernah ke mari. Tapi cuma di satu tempat saja karena saya harus segera pulang untuk urusan yang lain. Saya sempat ragu. Tapi setelah saya searching apa saja yang ada di sini dan juga teman saya bilang kalau saya nggak akan menyesal saat kemari. Ya... oke."
Iyak masih mengunyah nasinya. Matanya tetap fokus pada Wirya yang tanpa ia sadari menatap balik dirinya. Kemudian dia menelan dengan pelan nasi itu sampai berhasil melewati kerongkongan dan meluncur dengan apik menuju pencernaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boba Coffee
Romance"Om kenapa sih ngikutin saya terus?" "Saya nggak ngikutin kamu, Oriana." "Terus?" "Kebetulan aja saya lagi ada di sekitar sini." "Halah, alasan!" Wirya menghela nafas lelah.