13

60 6 6
                                    

Bagian 13 ||
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

- s i n g g a h -

            "KENAPA dinamainnya otak-otak?"

            Juyeon berdeham pelan, matanya menatap langit malam yang tidak terdapat bintang sama sekali, pun tidak ada awan yang menghalangi. "Mungkin waktu nentuin nama, yang bikin mikir keras sampe ngotak banget?" Lagi, Juyeon menjawab pertanyaan random Jiyeon yang kesekian hari ini.

            Gerobak jajanan yang berjejer di depan taman kota menjadi tempat persinggahan mereka setelah pergi ke beberapa tempat. Kali ini stand otak-otak bakar, sesudah mereka membeli pangsit juga minuman dingin.

            Diam-diam Juyeon mengulum senyum begitu melihat Jiyeon tertawa juga membicarakan sesuatu penuh semangat, ditambah lampu malam jalan menimpa sosoknya. Menjadikan perempuan itu terlihat lebih menarik berkali-kali. Caranya berbicara, caranya tersenyum, serta bagaimana sorotnya menatap penuh semangat.

            Cantik. Cantik banget.

            "Ahh! Pahasss!" Jiyeon menjerit sesaat otak-otak yang baru mereka beli, Jiyeon bawa masuk ke dalam mulut. Matanya memerah seperti akan menangis dengan lidah yang terasa tidak enak. Seperti terbakar.

            Juyeon di tempat kontan memeriksa lidah si perempuan. Mengamati wajah yang ikut memerah, kemudian menghela napas pelan. Memberikan senyum menenangkannya, lantas memberikan tumbler minuman yang tutupnya sudah Juyeon buka. "Pelan-pelan," katanya.

            "Lupa kalo panas," sahut Jiyeon. Menyeka sudut bibir, kemudian mendongak menatap Juyeon. "Lo aja yang abisin nih."

            Kebiasaan. Juyeon memutar kedua bola matanya. Jika Jiyeon sudah tidak menyukai atau membenci sesuatu, perempuan itu akan segera membuang hal tersebut. "Nanti kita makan bareng-bareng kalo udah dingin ya. Biar lo-nya ngga kepanasan lagi. Coba sini gue liat lagi lidah lo," balas Juyeon menatap lidah Jiyeon yang sudah tidak semerah di awal ia lihat.

            "Ngga enak banget mulut gue, Juyeon." Jiyeon mendecap merasa tidak nyaman. Lidahnya seperti bergerigi sekarang.

            "Banyakin minum ya. Nanti sakitnya ilang pelan-pelan. Sini plastik di tangan lo gue yang bawain." Kontan pula meraih tangan Jiyeon untuk digenggam. Membawa menuju sisi lain taman kota yang tidak terlalu ramai oleh para pedagang kaki lima.

            "Gue mau maen itu." Tiba-tiba Jiyeon berkata seperti itu, bersama jari telunjuknya mengarah pada kumpulan gambar yang mengitari pepohonan di taman kota.

            Mata Juyeon yang sudah memerah sejak di akuarium dan suaranya yang semakin serak itu mengangguk mengiyakan. Hari ini ia memang sudah memutuskan untuk membiarkan Jiyeon bermain sepuasnya. Mencoba menarik pikiran buruk yang bisa saja menyusup tanpa aba-aba. Mendistraksi pikiran Jiyeon juga dari perkataan-perkataan buruk teman-temannya di kantin fakultas pagi tadi.

            Anjing, tolol, gue hajar lo pada satu-satu, monyet!

            "Bang, dua ya," ujar Juyeon pada laki-laki yang lebih tua darinya. Duduk di kursi bulat yang tingginya lebih sedikit dari tumit kaki. Menatap lama gambar di hadapan, lalu menatap pada Jiyeon yang sudah menggulung lengan kemeja hingga siku dan meraih kuas. Senyum lebarnya menghiasi wajah si perempuan.

            Untuk beberapa saat Juyeon hanya duduk memerhatikan Jiyeon yang penuh perasaan bahagia mencelupkan kuas pada cat yang berada dalam wadah. Segala tindakan yang sedang Jiyeon lakukan sekarang terasa memukau sekalipun Juyeon sudah sering melihat Jiyeon fokus pada kanvas dan sketchbook-nya.

singgah, eunbo.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang