16

61 4 0
                                    

Bagian 16 ||
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
- s i n g g a h -

"ABIS nangisin apa lo? Si Anjing yang udah ogah temenan sama lo?" sarkas Hyunjung. "Apa udah ngga dapet pelanggan lagi?" Kekehan menyebalkan milik Hyunjung terdengar.

Jiyeon tidak bisa tidak melempar lirikan sebal ke arah kakak tingkatnya itu. Setiap kata pun kalimat yang keluar dari mulut Hyunjung selalu saja terkesan menyakitkan, hingga terkadang Jiyeon kebingungan dalam membalas dengan jawaban beraninya. Termangu akan keterkejutan.

"Bisa ngga kita ngomong kayak kakak adek normal pada umumnya?" Jiyeon menyuarakan kejengkelan yang sudah ia simpan sedari lama. "Tiap kali lo ngomong ke gue, kalo ngga enak didenger pasti ngerendahin. Gue bukan temen lo kalo lo lupa, tapi adek lo."

Hyunjung menatap geli, terkekeh pula. "Najis banget ngakuin lo jadi adek gue." Kepalanya menggeleng-geleng tidak percaya. Kim Jiyeon sudah terlalu berani sehingga menyatakan kesialan tersebut. "Keberadaan lo aja lebih rendah dari gue. Ngapain amat gue capek-capek ngakuin lo, kita ngga sebanding." Tatapan merendahkan itu Hyunjung berikan.

"Ngga sebanding?" Jiyeon mengerjapkan mata pelan ketika mengutip dua kata tersebut. "Kenapa gue jadi ngga sebanding, padahal lo sama gue kakak adek? Ayah kita sama."

Hyunjung berdecak tidak suka. "Lo anak selingkuhan bokap gue, Kim Jiyeon! Ngaca!" Hyunjung tidak pernah suka untuk membahas hal ini. Terlalu jijik pula untuk mengiyakan kebenaran yang Hyunjung harap hanyalah kebohongan. "Hidup keluarga gue jadi ancur gara-gara kehadiran lo dan nyokap lo itu yang morotin bokap gue! Lo berdua itu benalu! Syukur-syukur nyokap lo udah mati, tinggal lo doang nyisa satu."

... udah mati

Tinggal lo doang ....

Jiyeon menunduk dalam-dalam, menahan rasa pening tiba-tiba mendera kepala. "Ngga ... ngga boleh. Lo ngga boleh nangis, Jiyeon. Lo nangis lagi, tandanya lo payah." Jiyeon berulang kali merapal kalimat demikian ke diri sendiri. Keputusannya salah besar dalam menelepon Hyunjung yang lagi-lagi ia menaruh harap besar akan ditenangkan. Berharap bahwa Hyunjung berbaik hati untuk menghibur atau sekadar menemani dirinya yang butuh seseorang.

"Gak heran banget lo dapet rumor jelek gitu, kelakuan nyokap lo aja lebih parah. Emang, buah gak pernah jatuh jauh dari pohonnya tuh nyata beneran."

Jiyeon tersenyum gamang. Terlalu menyakitkan. Lantas, salah dirinya, kah?

"Maaf ya, Kak."

Hyunjung menoleh, menatap Jiyeon yang menunduk memainkan kedua ibu jari, lantas mendongak menatap lurus ke arahnya. Bisa Hyunjung lihat secara benar jika kedua mata itu membengkak dan kehilangan sinarnya. Tidak ada raut menantang sama sekali di sana, semuanya berganti menjadi satu kesimpulan kata; sendu penuh kemalangan.

"Maaf, maaf kalo kehadiran gue buat lo gak nyaman." Jiyeon menerima. "Maaf kalo kehadiran gue jadi benalu buat keluarga lo dan jadi aib buat keluarga lo itu. Maaf keluarga lo jadi hancur karena hadirnya gue. Maaf karena gue lahir. Tapi, Kak ....," Jiyeon menahan napas sebentar, menarik napas banyak-banyak sebab sesak kembali menyeruak dan tertahan di tenggorokan.

Bisa Jiyeon lihat pula Hyunjung belum kembali membuka suara. Hanya diam seakan menahan amarah dalam kepalan tinju serta rahang mengeras. Sejujurnya, ia sudah tidak sanggup. Semuanya ingin Jiyeon ledakan sekarang. Seluruh emosi, perasaan, dan hal yang selalu ditahan dalam dirinya. Jiyeon ingin marah. Jiyeon ingin melampiaskan segala hal yang menurutnya ia tidak seharusnya menerima perlakukan tidak baik tersebut.

singgah, eunbo.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang