"Lo makin viral, Di!"
Suara cymbal menggema saat Markus--biasa kupanggil Cimeng--masuk ke ruang musik tanpa mengetuk pintu. Dia tergopoh-gopoh memberikan ponselnya, padahal aku punya sendiri, sedang di-charge di meja sebelah keyboard. Bahan yang dipamerkan masih sama, video drum cover dari Reminder-nya The Weeknd yang kuunggah tiga hari lalu. Sekarang jumlah likes-nya mencapai 300an ribu dan kolom komentar diisi berbagai macam bahasa yang aku sendiri tidak mengerti. Agak ngeri.
"Gila, lo udah bisa buka endorse-an, nih! Hire gue jadi manajer lo, ya."
Ngaco! Aku geleng-geleng. Markus suka berlebihan. Sejauh ini, hanya video itu yang berhasil bombastis. Sisanya? Ada yang merangkak di ratusan share, ada juga yang flop and stuck jauh di bawahnya. Bahkan, aku pernah mengarsip cover-an yang cuma dapat 17 likes. Sayang sebenarnya, tapi kadang aku malu sendiri. Jadi, boro-boro buka jasa promosi semacam itu. Engagement akunku saja masih belum stabil. Aku juga belum pernah membuat rate card. Memikirkannya saja tidak pernah. Justru yang ada di otakku bagaimana caranya mempertahankan algoritma TikTok itu.
"Jumlah followers lo udah bisa buat live streaming dari lama. Nggak mau nyoba? Kan lumayan barangkali ada yang nge-gift, Di."
Lelaki yang rambutnya selalu keriting padahal sudah diberi pomade itu masih saja mengoceh. Dia sungguh terobsesi dengan hal-hal manajerial dan bercita-cita menjadi CEO muda superganteng seperti yang ada di buku pacarnya--katanya begitu biar langgeng dan jadi boyfriend material. Kami bertemu tahun lalu di kelas IPS 1, andalan SMA sini karena langganan berprestasi.
"Ribet," jawabku sambil memasukkan stik ke tas.
"Nggak dong, kan main drum doang. Tinggal cover-cover gitu. Nggak gampang kena copyright kayak di Instagram, kok."
Aku mendengkus. "Mau live kapan? Gue cuma bisa main drum di sekolah. Pas istirahat sama pulangnya. Itu pun nggak bisa lama. Paling sejam udah disuruh balik."
"Kalau gitu, sewa studio musik aja."
"Lo yang bayar?"
"Lo, lah."
Ck.
Dikira aku punya uang sebanyak itu? Bayar kos ke Bu Endang saja masih telat mulu. Kadang jatah transferan terpakai buat latihan di luar, manggung di kafe atau mal, rekaman pribadi Dairy Band, dan lain-lain. Printilan itu tidak pernah orang tuaku ketahui. Karena kalau iya, bisa-bisa muncul petuah lagi seperti waktu SMP dulu. Katanya: hobi itu seharusnya enggak ngabisin duit. Alhasil, diam lebih baik. Toh, aku merantau ke Jakarta sendirian, jauh dari perhatian ayah di Malang dan ibu di Surabaya--mereka bercerai dua tahun lalu. Tanpa cerita apa pun, mereka tidak akan tahu apa-apa.
"Ayolah, Di. Kapan lagi bisa terkenal kayak … er siapa itu? Drummer favoritmu."
"Travis."
Travis Barker, drummer Blink 182, sebuah band pop punk. Rambutnya gaya mohawk, suka bertelanjang dada, dan punya tato di mana-mana. Aku memang sangat menyukai lelaki itu, gara-gara ketagihan lagu-lagu yang kerap diputar ayah dulu. Aku juga berkeinginan memiliki tato nyentrik di leher dan betis, bertuliskan namanya, Travis, dan namaku, Audio. Cara mainnya pun selalu membuatku antusias bermusik. Tapi, bukan berarti aku ingin famous sepertinya. Iya, ada terbersit sedikit, hanya saja menuruti Markus bukan salah satu opsi yang tepat, in my opinion.
"Tuh, lihat. Ada yang komen request lo cover lagu The Weeknd yang lain, sekalian live juga pas malem." Markus mengadang langkahku yang hampir sampai ambang pintu. "Lo udah punya julukan sekarang. Si muka senyum. Gokil, Di!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nirmala Audi
Teen FictionDivonis osteosarkoma merupakan mimpi buruk terbesar bagi drummer seperti Audi. Amputasi menjadi salah satu harapannya untuk tetap bertahan hidup, tetapi sama saja mematikan dunianya. Terlebih ia sudah terbiasa menikmati keuntungan viral di TikTok de...