5.

454 74 56
                                    

Semalaman aku demam tinggi. Entah efek kepentok pinggiran pintu atau nyeri kaki yang kerap menggila saat jam tidur tiba. Panas Jakarta seakan tidak ada apa-apanya dibanding sengatan di area paha ke betis. Dingin malam juga masih kalah jauh dengan hawa keringatku sekarang. Aku terus menggigil, mencari selimut motif bunga yang Ibu belikan. Tapi, Mas Ilham menyingkirkannya sambil berkata, "Pakai yang tipis saja."

Sampai sekarang lelaki itu masih di kamarku. Katanya, ia bergantian dengan Bang Naka yang sudah berangkat narik gojek. Tadi Bu Endang sempat mampir dan memberikan bubur ayam. Mungkin beli dari abang-abang yang lewat. Terlalu mendadak kalau mesti buat sendiri, kan? Tapi tidak tahu pasti. Aku hanya disuguhi hidangan tanpa penjelasan lengkap.

"Setelah makan, kita ke rumah sakit, ya?"

Terhitung sudah tiga kali Mas Ilham bertanya, padahal aku sudah berkata 'baik-baik saja' ratusan kali, lebay. Tapi, sungguh. Parasetamol, plester penurun panas, salep, dan air es untuk mengompres kaki sudah cukup. Cedera sebelumnya juga disarankan seperti ini dan bisa mendingan sendiri--walaupun kini kambuh, jadi untuk apa menghabiskan uang lagi? Iya, kan?

Aku menelan ludah.

"Atau mau Mas bilang ke ibumu?"

"Lho, kok bawa-bawa Ibu?"

Mas Ilham mendekati kasurku dan duduk di dekat lemari. "Yang gampang-gampang aja. Gimana?"

Aku diam saja. Bukan malas menjawab, tapi sibuk berpikir.

"Oke, kalau gitu."

Sial! Tidak sabaran sekali. Aku segera menahan tangan Mas Ilham sebelum merogoh kantong celana--mengambil ponsel--dan mencari kontak Ibu. Dia sungguh punya, makanya aku panik. Bisa repot kalau orang rumah tahu. Bisa-bisa aku diminta pulang kampung dan disuruh memilih mau ikut Ayah atau Ibu, seperti adegan dramatis di televisi.

"Jangan, Mas," pintaku frustrasi. Suaraku tiba-tiba serak. "Nggak perlu."

Mas Ilham menarik tanganku dan menggenggamnya. "Kenapa, sih? Kamu takut kenapa? Kan bisa aja nggak kenapa-kenapa, Yo."

"Iya sih, Mas. Tapi--"

"Kalaupun ada masalah, lebih baik tahu dari sekarang biar bisa cepat ditangani. Kamu nggak capek apa nahan sakit mulu?"

"Kemarin udah nyoba googling, tapi--"

"Dek ...."

Jarang-jarang panggilan itu keluar dan terngiang di telinga. Kalau sudah seperti ini, pembicaraan akan berubah serius. Aku pun menghela napas panjang dan menunduk. Bagaimanapun juga, Mas Ilham adalah kakak tertua yang kusegani di sini.

"Website di Google itu isinya cuma pengetahuan umum. Kondisi medis kayak gini nggak bisa manut itu aja. Kalau baca itu kamu udah ke-trigger macam-macam, rawan self-diagnosis. Nggak baik. Biar dokter yang pastiin."

"Oke deh, Mas," ucapku akhirnya. Lagi pula, lelah sungguhan rasanya. Pertama, aku malas berdebat panjang. Kedua, takut Mas Ilham mengadu ke Ibu. Ketiga, terlampau penasaran sebenarnya kakiku ini kenapa.

_____

Bau obat rumah sakit sebenarnya tidak buruk, tapi lama-lama menusuk hidung dan membuat pusing. Aku berusaha menahannya dengan menaikkan masker mulut. Kata Mas Ilham, kalau aku bisa jadi anak baik selama di sini, dia akan membelikan stik drum baru. Aku masih punya dua set, tapi lumayan untuk cadangan lain karena kerap patah saat perform.

Pemeriksaan pertama sudah selesai. Dokter menanyakan keluhanku akhir-akhir ini. Aku jujur saja kalau sudah pernah cedera sebelumnya, tapi entah kapan. Sudah lama sekali. Nyeri yang kurasa juga pikirku efek dari sana, cuma datangnya memang hilang-timbul seperti hotspot Wi-Fi Mas Nanang. Memang saat malam sakitnya jauh lebih tak karuan, sampai-sampai ingin kuputus saja syarafnya--andai bisa lepas pasang dengan gampang. Tapi semua kembali normal (mereda) ketika pagi datang.

Nirmala AudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang