@pemesmfs
/Cot/ gw udah cek akun TikTok yg dikirim sender ini n coveran doi beneran kece! kalian gk bakal nyesel lihatnya. yg What It Is gk kalah ber-damage!
[screenshot]Bohong kalau aku tidak salah tingkah saat membaca itu. Sejak tweet lanjutan ini muncul, aku punya obsesi baru yang lebih barbar dari milik Markus. Setiap sepuluh menit sekali, atau mungkin kurang dari itu, aku selalu mengecek jumlah likes, retweet, dan komentar yang muncul. Kalau bosan mengerjakan PR pelajaran Ekonomi dari Bu Nyoman, aku menyempatkan membaca balasan di sana satu per satu. Walaupun kadang isinya tempelan link Shopee, ada banyak pujian yang belum pernah kudengar.
Katanya, permainan stik-ku sangat candu. Mereka suka setiap kali aku memutarnya di langit sebelum memukul cymbal. Ada juga yang menyukai caraku mengikuti rhythm, dengan manggut-manggut menikmati injakan pada bass drum. Itu otomatis. Aku tidak tahu kenapa mesti begitu. Apalagi kalau pakai headphone, tubuhku bisa bergerak sendiri. Paling kacau lagi, ada yang terang-terangan bilang naksir lesung pipiku, yang sebenarnya tidak kentara amat saat direkam dari jauh. Kadang aku tidak sadar melakukannya--tersenyum tipis hingga muncul cekungan kecil di kanan bawah bibir. Sedikit yang benar-benar mengkritisi caraku memainkan para tom-tom, padahal di video ini aku sangat bereksperimen.
Berkat itu juga, pengikut TikTok-ku bertambah drastis. Dalam sehari bisa ada ribuan nama baru. Tidak sedikit yang mengunjungi video lamaku dan meninggalkan jejak. Jelas banyak spam likes yang memungkinkan postingan selanjutnya sulit fyp--direkomendasikan ke akun orang lain, tapi tidak apa-apa. Markus bilang, mumpung momennya lagi bagus ya bawa happy aja.
"Oh, shit!"
Enak-enak berbaring di kasur sambil scroll Twitter, ponselku bergetar dan jatuh mengenai hidung. Sial memang. Ibuku menelepon. Tumben sekali. Biasanya jam segini beliau masih di butik. Aku segera mengangkatnya sebelum diomeli karena telat ini-itu.
"Lagi apa? Udah makan?"
Pertanyaan template yang tidak kreatif sama sekali. Aku bahkan bisa menebaknya sebelum Ibu bertanya. "Udah, lagi nugas."
Oh.
"Oh ...."
Kan, tidak heran lagi. Setelah itu lalu hening beberapa detik. Ibu tidak bertanya dan aku juga tidak berniat mencari bahan percakapan. Kami tidak pernah berbasa-basi. Lagi pula, tidak ada yang bisa diceritakan (selain kejadian viral dadakan di TikTok dan Twitter). Hari-hari di sekolahku nothing special dan rutinitas Ibu juga itu-itu saja.
"Oiya, Ibu transfer uang ke rekeningmu. Udah dicek?"
Aku refleks mengangguk, padahal tidak ada yang melihatnya. "Udah, tadi kupake bayar kos sama beli vinyl."
"Lagi?"
Sedikit terdengar helaan napas. Ibu pasti mendengkus atau barangkali menepuk jidat juga sekarang. Aku bisa membayangkannya. Dulu waktu aku kecil, beliau seringkali begitu lalu berkacak pinggang dan mengoceh panjang lebar. Bodo amatlah kalau dimarahi sekalipun.
"Besok minta ayahmu kalau mau beli lagi, jadi uang dari Ibu bisa buat jajan lain."
"Iya."
"Kalau ada apa-apa kabarin Ibu."
"Iya."
"Oiya, libur semester nanti pulang ke rumah Ibu aja, ke rumah Ayah kapan-kapan."
"Iya."
"Ya udah, Ibu mau lanjut jahit. Kamu jaga diri di situ."
"Iya, Bu."
Selesai. Panggilan itu berakhir tanpa menanyakan kabar seperti biasa. Mungkin teori Ibu: ketika bisa menjawab telepon berarti aku baik-baik saja. Iya, tanganku memang tidak bermasalah. Kakiku yang demikian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nirmala Audi
Teen FictionDivonis osteosarkoma merupakan mimpi buruk terbesar bagi drummer seperti Audi. Amputasi menjadi salah satu harapannya untuk tetap bertahan hidup, tetapi sama saja mematikan dunianya. Terlebih ia sudah terbiasa menikmati keuntungan viral di TikTok de...