14.

520 49 6
                                    

Sudah setengah hari setelah aku membuka mata seratus persen. Rasanya tubuhku lebih ringan seperti melayang di langit-langit, tapi ragaku tetap tertahan di kasur tanpa ikat tali apa pun. Terima kasih pada Tuhan, aku benar-benar keluar dari meja operasi secara selamat dan keren: kakiku masih utuh dan jumlahnya masih dua. Walaupun tidak sempurna--karena diganti dengan logam dari prosedur megaprostesis, aku tetap bisa merasakan keberadaannya dengan sadar.

Kamarku belum berubah. Hanya Mas Agung yang sudah diperbolehkan pulang dan kasurnya kosong--sejak semalam dipakai Mas Ilham menginap. Aroma obat dari lalu lalang troli masih bercampur dengan semilir angin yang membawa hujan hari ini. Aku menghirupnya perlahan, menikmati buatan manusia yang diharapkan nantinya bisa menyelamatkanku dari hitungan mundur Tuhan. Meski tajamnya minta ampun dan bikin pusing tak karuan, aku mencoba terbiasa dan bersahabat dengannya.

Senja sebentar lagi datang, tapi Mas Ilham sudah di sini sejak tadi pagi--berarti dia bolos bekerja. Dia tahu aku sudah bangun karena sempat menyambut dan menanyakan keadaanku--walau hanya kuabaikan karena setelahnya aku tidur lagi. Dia mungkin juga tahu aku telah balas menyapanya lima menit lalu. Tapi dia tak menyahut dan masih sibuk membersihkan badanku dengan lap basah yang dicelup berkali-kali dari baskom. Lucunya dia terus-menerus mengusap bagian yang sama. Aku diam saja, meski dingin yang menusuk tulang kini mulai mengganggu.

"Mas mau ke kantin beli kopi, kamu nitip apa, Yo?" Tiba-tiba dia bertanya, itu pun dengan raut sayu dan linglung.

Aku menggeleng. Dia lantas keluar setelah mengacak pelan rambutku dan meminta tolong pada Bu Eko untuk menjagaku. Padahal aku bisa sendiri. Aku pun mendengkus dan bergeming. Antara malas berterima kasih atau masih lelah. Aku tak mau repot-repot memilih.

"Oalah, Le, lagi kayak gini kok ya nggak ditemenin bapak-ibumu."

Itu salah satu alasanku betah tak acuh. Aku lantas memejamkan mata lagi, pura-pura tidur. Bu Eko juga tidak memperpanjang pertanyaannya. Thank God, ibu-ibu itu tahu diri.

Biaya LSS tidaklah murah, hampir delapan juta belum termasuk obat, biaya inap, dan tetek bengeknya. Aku tidak tahu apakah Ibu dan Ayah iuran atau salah satu di antara mereka yang membayarnya--barangkali mau gantian toh setelah ini mesti mengeluarkan uang lagi untuk rehabilitasi dan kemoterapi--karena Mas Ilham dan Bang Naka yang mengurus bagian administrasi. Yang jelas, nominal itu kujadikan pemakluman mengapa mereka tidak ada yang ke sini sekarang.

Aku lebih nyaman menganggapnya demikian dibanding kemungkinan lain.

Mas Ilham pernah bilang, "Nggak usah terlalu dipikirin, nanti kamu stres."

Aku manggut-manggut setuju. Fisik boleh oke, tapi kalau psikis malah sebaliknya ya sama saja bohong. Kan hidup harus balance, seperti kakiku sekarang, lengkap kanan dan kirinya. Lagi pula, aku tidak memiliki waktu sebanyak itu untuk memikirkan hal-hal yang kurang penting. Setelah ini aku masih harus menghadapi Infinity Optima, anak-anak Dairy, dan fans yang menunggu di luar sana.

"Yo!"

Lamunanku buyar. Aku refleks menoleh. Bang Naka datang bersama Mbak Ayu. Kakak kelasku itu memakai setelan kodok pink dan converse putih. Tak ketinggalan pita berenda yang mengikat rambutnya. Dia membawa sekeranjang buah yang ditaruh di atas nakas--yang sudah pasti Mas Ilham-lah yang memakannya karena aku kurang suka. Aku pun tersenyum. Kikuk. Meski tahu sejoli ini ada something, rasanya masih aneh melihat mereka jalan cuma berdua.

"Udah enakan?" tanya Bang Naka. Dia duduk di kasurku, sementara Mbak Ayu duduk di kursi kecil sebelahnya.

"Lumayan, Bang."

"Udah makan, belum?"

"Masih jam segini. Paling sejam lagi."

"Em, kata dokter gimana, Di?" Suara Mbak Ayu lirih sekali.

Nirmala AudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang