9.

368 54 39
                                    

Ternyata kanker sialan ini ada hikmahnya. Dia bisa membawa ayah dan ibuku terbang ke Jakarta dalam hitungan jam saja. Ayah bahkan membatalkan meeting klien di Malang, sedangkan Ibu menunda quality control di Surabaya--di cabang terbaru butiknya--hanya karena satu pesan singkat 'aku sakit osteosarkoma' dan lampiran hasil pemeriksaan yang kukirim melalui WhatsApp. Selisih waktu kedatangan mereka pun tidak jauh, cukup impresif karena biasanya 'nanti-nanti saja'. Mereka juga datang sendiri, tanpa anggota keluargaku yang 'baru'. Mungkin masih canggung atau takut aku mengamuk. Entahlah. Yang jelas, sekarang mereka terdiam di sofa dan mengabaikan teh hangat buatan Mbak Uci.

Ayah memegangi kepalanya. Kok jadi dia yang pusing? Sementara Ibu masih menangis. Aku sudah menduga adegan sinetron ini lambat laun akan kutonton. Bedanya, mereka tidak saling menyalahkan, seperti yang ada di otakku. Semula aku mengira Ibu akan berkacak pinggang, berteriak bahwa penyakitku merupakan dampak foya-foya Ayah, sekaligus 'kutukan' karena mendiang nenek meninggal karena penyakit serupa. Atau Ayahlah yang mencak-mencak menyalahkan Ibu, karena tidak becus membesarkanku, sampai sel-sel aneh ini bisa tumbuh dan mengancam nyawa anak yang mereka lepas sendirian di kota orang. Tapi nyatanya mereka justru menunduk, bergantian membaca ketikan dokter yang mengiris kulit.

Mereka masih tidak percaya? Merasa dipermainkan takdir Tuhan? Apalagi aku, yang sedang menikmati serunya komentar netizen dan on the way famous dadakan. Semuanya terlalu cepat, padahal aku tidak sanggup berlari lagi.

"Pulang sama Ibu, Di. Kita berobat di Surabaya."

"Enggak, sama Ayah aja."

Mulai. Aku tertawa, merasa dejavu. Dua tahun lalu, saat aku baru lulus SMP, perebutan ini pernah terjadi. Tidak sama persis, tapi auranya tidak jauh berbeda. Malah kini somehow lebih mendebarkan dan menguji adrenalin.

Alasan terbesarku memilih merantau--mencari beasiswa di SMA dan diterima setelah jungkir balik tak karuan--adalah karena tidak mau ikut salah satu di antara mereka. Aku tidak mau tinggal bersama Ayah dan ibu tiriku, yang baru saja melahirkan putri pertama mereka. Kalau tidak salah, namanya Alunan. Cantik, menggemaskan, dan hampir membuatku meluncur untuk menengoknya saat masih di PICU. Tapi, tentu tidak terjadi. Aku ada acara waktu itu--ngeles saja padahal memang ogah. Aku juga tidak mau ikut Ibu dan ayah tiriku, yang memiliki anak bawaan--beliau duda--seumuran Mas Nanang. Katanya, kami bisa cepat akrab karena dari dulu aku ingin memiliki 'abang', tapi kulihat-lihat dari media sosialnya--stalking sedikit tidak masalah--orangnya terlihat aktif dan banyak teman di sana-sini. Aku bakal awkward setengah mampus kalau nongkrong atau masuk circle-nya.

Lagi pula kalau aku di sini, Ayah dan Ibu bisa bergantian menjengukku tanpa sungkan pada 'mantan' dan pasangan baru mereka. Sayangnya, yang datang hanya duit transferan dan pesan-pesan singkat dari WhatsApp. Ini saja baru kunjungan mereka yang ketiga kalinya.

"Aku bukannya nggak mau pulang, tapi nggak bisa."

"Kenapa, Nak?" Suara Ibu bergetar.

"Udah dikontrak Infinity Optima, nggak bisa batalin gitu aja. Dendanya lumayan dan kasihan teman-teman juga."

"Audi!" Ayah tiba-tiba berdiri dan menunjukku. "Udah tau sakit kenapa kamu ambil keputusan ini? Tanpa konsultasi sama Ayah dan Ibu pula."

"Papa lupa? Papa sendiri yang bilang 'iya' dan 'nitip anak' ke Mami Lesti. Penandatangan kontrak kami kemarin di bawah pengawasan orang tua, kok."

Oke, Ayah makin terlihat menyeramkan saat menjambak rambut dan menendangi meja. Aku menelan ludah, cuma berharap mbak-mas di kos tidak jantungan.

"Ayah di posisi nggak tau kalau kamu sakit, makanya langsung setuju dan nggak mempermasalahkan. Tapi kalau begini, mana bisa dilanjutin gitu aja, Di?"

Nirmala AudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang