Aroma sate ayam keliling menggagalkan rencana serba-estetik yang sudah kusiapkan di rooftop kos. Perutku auto berbunyi dan otak terbayang-bayang nikmatnya sambal kacang plus kecap manis yang diberi sedikit perasan jeruk nipis. Sial, air liurku berkumpul. Aku pun melongok ke bawah, ternyata bapaknya nangkring di depan rumah Bu Endang--tidak heran baunya bisa seistimewa ini. Sekilas Mbak Ayu terlihat berbincang dengan Bang Naka lalu aku kembali ke tumpukan pot bunga Mas Ilham, menemani kesendirian mereka mumpung bintang sedang berpesta di atas sana.
Sekotak susu stroberi dan sepiring sandwich honey mustard sudah tertata di atas meja lipat. Aku sengaja membawanya dari bawah karena di sini hanya ada bangku bambu panjang yang cukup klasik--reyot juga--tapi amat dibanggakan oleh Mas Nanang karena vibe jadulnya. Kemudian aku menyalakan lilin aromaterapi--wangi lavender--yang tinggal separuh gelas. Lagu Banda Neira pun kuputar melalui Spotify untuk mengisi kekosongan. Pilihan pertama, Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti.
Di malam tak beratap, aku berharap hujan tidak datang. Meski kehadirannya bisa membersihkan ceceran sampah dan bebatuan di jalan, sel-sel jahat di tubuhku tidak ikut serta, jadi sia-sia kalau ketenangan sekarang digagalkan juga. Bisa-bisa prasangkaku pada Tuhan malah makin kuat, bahwa Dia sengaja mempermainkan hati bocah enam belas tahun yang setiap detiknya dibayangi pengurangan umur. Yah, memang aku tidak terbiasa gloomy dan nyeni semacam ini. Tapi kata Mas Ilham, sekali-sekali aku perlu melepas topeng 'baik-baik saja' dan menjadi diri sendiri.
Aku bersandar, menatap bintang yang melompat ke sana-sini dengan riang. Aku tidak bisa menghitungnya, tak peduli seberapa besar niatku untuk itu. Salah satu di antara mereka ada yang diam dan bersinar paling terang. Aku segera mengabadikannya dalam postingan Instastory dan menambah caption, "Don't miss it. Wake up bae and look at the sky with me this night."
Dulu Bela pernah bilang, dia ingin menjadi bintang tercantik jika terlahir kembali. Dia mau kedatangannya selalu dinanti dan menggembirakan banyak orang--tipikal cewek kue sekali. Waktu itu aku hanya tersenyum dan mengiakan. Karena sampai sekarang pun, aku lebih memilih menjadi angin yang bebas ke mana-mana dan menyejukkan semua orang.
Buat apa indah dan menarik, kalau hanya bisa dipandang dari jauh dan terjebak di langit selamanya?
Tiba-tiba aku mendengar bunyi gesekan pintu. Mas Nanang pelakunya. Dia langsung nyengir sambil menunjukkan layar ponsel dan berkata, "Gue lihat status lo." Lelaki itu lantas duduk tanpa permisi dan mencomot rotiku dengan santai.
"Padahal udah ada tulisan 'di-booking adek ganteng' segede gaban," ucapku berlagak kesal.
"Lo sendiri yang nyuruh."
Aku berdecak dan memutar bola mata malas. "Bukan buat lo."
"Kan gue fans Dairy juga, Yo. Jangan diskriminasi gitu, lah."
"Iya, terserah Mas aja."
Aku mematikan musik dan membiarkan suara jangkrik mengganti suasana. Mas Nanang masih diam dan sesekali memperhatikanku yang tak bergerak seinci pun. Tapi, lama-lama risi.
"Gue udah denger kabar dari Mas Ilham."
Sudah kuduga arahnya ke sana. Pernyataan itu juga tidak mengejutkan. Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Harus bereaksi apa lagi? Aku sedang belajar berdamai sampai repot-repot menyiapkan ritual ini. Tidak lucu kalau rintihan mellow yang meraung-raung ala mbak-mbak FTV menghancurkan segalanya.
Tapi syukurlah, Mas Nanang tetaplah Mas Nanang yang 90% random dan 10%-nya sangat random. Sambil mengunyah dia malah berkata, "Entar kalau operasi lo dibius total nggak, Yo? Katanya efek anestesi bisa bikin ngelantur. Gue penasaran lo ngebayangin apaan. Barangkali ngomongin kenapa dinosaurus mati muda sebelum ketemu para buaya darat, atau apa kek gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nirmala Audi
Teen FictionDivonis osteosarkoma merupakan mimpi buruk terbesar bagi drummer seperti Audi. Amputasi menjadi salah satu harapannya untuk tetap bertahan hidup, tetapi sama saja mematikan dunianya. Terlebih ia sudah terbiasa menikmati keuntungan viral di TikTok de...