8.

354 54 19
                                    

Bau obat-obatan tercium sampai taman rumah sakit. Entah otakku yang terdoktrin hingga terngiang-ngiang atau memang jarak lalu-lalang troli dengan tempat ini tidaklah jauh. Hampir setengah jam aku membatu di kursi, menelan mentah diagnosis yang sudah cukup ditangisi. Mau bagaimanapun, sekarang aku punya teman baru di tulang kering sisi lutut kiri. Teman yang kuharap berhenti menyakiti dan lekas pergi dari sini.

Mas Ilham pamit menghubungi Bang Naka saat aku mengatakan mau menikmati kenyataan sendirian. Plus memberinya sedikit waktu, barangkali dia butuh tempat penampungan masalah tak terduga--siapa yang mengira bakal se-asdfghjkl ini, kan. Toh, seperti biasa kuncen kosan itu perlu tahu huru-hara anak buahnya, walaupun sebenarnya aku belum ingin menjadi pusat perhatian, apalagi wujud tangis dan kasihan.

Lagi pula, kata dokter aku masih beruntung. Meski agak terlambat karena sudah masuk stadium dua, kanker sialan ini belum jalan ke mana-mana--traveling ke organ lain alias mengalami metastasis. Dia mengatakan untuk saat ini bisa dilakukan prosedur pembedahan tanpa amputasi dulu, namanya limb salvage surgery. Tulang yang terkena tumor akan diganti dengan cangkok tulang atau tulang buatan. Jangan tanya selebihnya karena aku sudah ngilu sendiri. Aku yakin tadi Mas Ilham pun tutup kuping. Mana dokter juga mengatakan 'setelahnya dilanjutkan dengan kemoterapi sebanyak tiga siklus', seolah menegaskan penderitaan itu belum berakhir. Dan untuk penutup, dia melengkapi semuanya dengan, "Kalau setelah tiga bulan dievaluasi terjadi relaps perlu dilakukan amputasi."

Awalnya aku memang meraung-raung dan merasa Tuhan sedang ajojing saat memberiku musibah ini. Tapi, lama-lama merasa percuma kalau tetap menangis dan mendramatisasi keadaan. Aku juga lapar. Karena nyatanya menguras air mata sama lelahnya dengan kerja bakti membersihkan selokan Bu Endang. I need an ice cream, choco ice cream.

"Mau, Yo?"

Aku spontan mendongak. Bang Naka masih mengenakan jaket ojek online kebanggaannya. Dia mendekat, menyodorkan kresek hitam yang belum ku-cek apa isinya. Aku tersenyum, lalu melongok mencari keberadaan Mas Ilham. Ternyata dia masih tersangkut di tiang depan lobi rumah sakit, seperti tengah mengusap pipi. Masa masih menangis lagi?

Aku lantas beralih ke hadiah Bang Naka dan langsung kegirangan. "Tau aja, Bang, apa yang gue mau."

Bang Naka tersenyum kikuk dan menggaruk tengkuk. Dia lalu duduk di sebelahku. Rautnya agak berantakan--biasanya juga begitu sih--dan menatapku tanpa kedip. Aku sontak menelan ludah karena risi. Kukeluarkan saja es krim merek ternama yang harganya setara seporsi ayam geprek, lalu memakannya pelan-pelan.

Tapi, lama-lama tatapan Bang Naka ini menggelikan. Aku merinding.

"Gue cuma makan es krim, Bang. Belum mau mati. Santai aja."

"Mulut lo, Yo!"

Aku terkikik. Tak lama dari itu, Mas Ilham sudah kembali dengan wajah basah dan lebih segar. Sekarang mereka duduk di kanan kiriku. Aku seperti diapit ayah dan ibu. Agak ngeri.

"Orang rumah perlu tau, Yo," kata Mas Ilham, tidak mau berbasa-basi.

"Iya, Mas."

"Jangan iya-iya doang. Dari kemarin lo susah banget dibilangin. Kali ini nggak ada alasan lain, Yo. Kalau ketahuan lo nggak telepon mereka, gue bakal turun tangan sendiri." Bang Naka mulai nyolot. Alis tebalnya naik turun menyeramkan.

"Nggak perlu, Bang. Gue bisa ngomong sendiri, kok."

Aku pun beranjak, yang langsung ditahan oleh Mas Ilham. "Mau ke mana?" tanyanya.

"Ke kafe, nyusul anak-anak Dairy."

"Ngapain?"

"Ada pertemuan sama Infinity Optima, Bang."

Nirmala AudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang