Bagian ke 4

144 23 1
                                    

Saat Angkasa sampai di rumah, sudah ada Sarah menunggu. Angkasa yang melihat Sarah sedang memegang peralatan masak segera menghampiri, "Bundaa, Aksa kangen banget sama bundaa!"

Sarah yang mendengar rengekan sang anak hanya terkekeh pelan. Sudah biasa, pikirnya.

Plukk

Angkasa merasakan sesuatu menghantam kepalanya. Sakit, pemuda itu memundurkan langkahnya dan dengan dramatis memegang kapela dengan ekspresi terkejut. "Ra .... Kok lo tega banget sih nimpuk gue, kalo otak gue geser gimana?"

"Emang lo punya otak?" Kejora langsung pergi dari dapur, sepertinya mandi adalah ide yang bagus. Meninggalkan Angkasa yang masih membuat raut muka menyebalkan, karna perkataan Kejora tadi.

****

"Ra, cita-cita lo apa, Ra?" Angkasa menoleh pada Kejora yang sedang duduk di kursi belajarnya.

Setelah makan malam—tanpa Surya tentunya—tadi, Angkasa langsung mengikuti Kejora ke kamarnya. Dengan beribu alasan yang akhirnya di perbolehkan masuk oleh sang pemilik kamar.

Kejora menolehkan kepalanya menatap lawan bicara, sebelum kembali fokus pada tugas sekolah yang sedang di kerjakannya. "Psikolog." Ujar Kejora singkat.

Angkasa yang mendengar ujaran singkat Kejora hanya mengangguk-angguk pelan. "Kenapa lo pengen jadi psikologi?" Angkasa kembali bertanya. Keponya memang seperti bocil.

"Gak tau, pengen aja." Kejora menjawab dengan acuh, Malas mikir.

"Kalo lo? Cita-cita lo apa?"

"Hehe, gak tau." Dengan pongah Angkasa mengangkat bahunya, sebelum bangun dari rebahannya. Berniat menutup jendela yang sudah terbuka sejak ia masuk ke kamar ini, menampilkan cahaya bulan yang ditaburi bintang dengan berbeda ukuran. Tujuan hidup Angkasa itu memang tidak jelas. Baginya, basket dan musik juga hanya dijadikan pengalihan dari rasa sepi yang dialaminya. Kebetulan nya, bakat Angkasa memang hanya di sana saja. Dan mungkin sekarang juga ia tidak bisa dengan bebas bermain bola oranye itu lagi.

"Gajelas banget lo! Tidur sana! Jangan lupa obatnya di minum." Kejora mengatakan itu sembari mendorong pelan Angkasa keluar dari kamar bernuansa coklat muda itu.

"Iyaa saudariku tersayangg, gue inget kok."

****

"Maangg es teh manis na satu ya, sama susu stroberi na satu!" Angkasa meneriakkan pesanannya, tubuhnya mulai menduduki kursi yang sudah di sediakan di sana.

Katakan Angkasa gila, dirinya dengan nekat pergi ke lingkungan warung yang penuh asap rokok itu. Ini bukan apa-apa daripada apa yang ia lihat tadi di jalan—menuju ke sini.

Sebenarnya tadi Angkasa berniat untuk tidak membolos, tapi niat itu langsung pupus saat melihat pemandangan yang sangat tidak mengenakkan untuknya. Akhirnya Angkasa pergi ke sini, warung belakang sekolah tempat para anak-anak badung berkumpul. Tanpa memberitahu Zhifar seperti biasanya.

Lamunannya buyar saat seseorang remaja seumurannya juga mendudukkan pantatnya ke kursi di dekat Angkasa. Tangan pemuda itu menyodorkan sebatang rokok pada Angkasa, dan tanpa basa-basi Angkasa menerima uluran rokok itu.

"Sendiri lo? Mana besti lo?" Hara, itu yang Angkasa baca di atribut sekolahnya.

Angkasa yang mendengar itu hanya mengangkat bahu acuh. Batang rokok itu ia apit diantara jempol dan telunjuk, sebelum mematiknya dengan bensin yang tersedia di meja itu.

"Lo ada masalah ya. Mau cerita gak?" Tanpa menghiraukan balasan acuh Angkasa, Hara kembali melanjutkan obrolannya.

"Yeuuhh jang ci enteh jeng susuna." Tanpa sempat menjawab, atensi Angkasa teralihkan sepenuhnya kepada pesanannya yang baru sampai itu. Dirinya mulai menusuk susu perisa kesukaannya, sedangkan tangannya yang lain tetap sibuk dengan rokok yang sesekali di hisapnya. Remaja itu tak peduli pada nafasnya yang mulai sesak, itu lebih baik dari sakit tak terlihat di hatinya.

"Menurut lo, gimana kalo bokap lo selingkuh?" Angkasa menjawab ujaran Hara yang sudah mulai mendingin. Dan sekarang giliran Hara yang menggedigkan bahu.

"Gak tau, gue gak punya bokap."

Angkasa yang mendengar perkataan enteng lelaki itu hanya mengerjapkan mata beberapa kali.

"Tapi kayaknya pasti sakit hati lah. Mungkin rasanya mirip-mirip kayak lo yang di selingkuhin." Hara kembali melanjutkan perkataannya, ia mulai membayangkan bagaimana kalau ia punya ayah, hmm itu akan buruk. Mungkin.

Obrolan mereka terus berlanjut, Hara tidak habis pikir kepada teman barunya ini, kenapa bisa ada manusia yang bisa minum susu sambil merokok.

Dan sebelum keduanya berpisah, mereka bertukar nomor, Angkasa sedikit tergiur dengan ajakan Hara yang katanya akan membawanya kepada hal yang menyenangkan.

****

Zhifar dan Angkasa itu sudah kenal dari sekolah dasar. Tapi mereka tidak dekat, lalu mereka bertemu kembali di sekolah ini. Dengan segala hal yang tidak di sengaja akhirnya membuat mereka lengket dan peduli satu sama lain. Zhifar pun tidak menyangka bisa berteman dengan manusia se ribet Angkasa.

"Angkasa Bumantara." Suara yang terdengar lembut itu mengalun, membuat resah remaja berparas manis itu.

"Sakit bu, kan kemarin abis pingsan. Hehe." Ujaran milik Zhifar memecah keheningan, ingin sekali ia mengumpati temannya itu, tentu alasan itu bohong. Sebelumnya Angkasa menghubungi akan sekolah, tapi sampai sekarang batang hidungnya tidak kelihatan. Meninggalkan Zhifar dengan rasa khawatir yang memenuhi pikiran.

"Ada surat gak?" Bu Helma, guru yang terbilang tegas itu bertanya kepada remaja yang tadi menjawab alasan kemana Angkasa.

"Nggak ada bu, tapi tadi emang ayahnya nelpon Jipar, katanya Angkasa gak bisa masuk dulu, masih sakit." Zhifar kembali menyahut dengan tangan gemetarnya yang ia sembunyikan. Sungguh, ia sangat takut kalau ia akan ketahuan bohong.

Dan Zhifar dapat bernafas lega saat Bu Helma itu kembali menyebut nama-nama setelah Angkasa. Tubuhnya terkulai di atas kursi, sembari menyebut hamdalah berkali-kali, menunggu namanya di sebutkan.

****

Drrttt

Drrttt

Getaran dari ponsel yang ia simpan di atas meja mengalihkan perhatiannya, Pak Raka, menghela nafas lelah saat membaca pesan yang dikirim oleh salah satu kenalannya. Kenalannya itu mengirim sebuah foto warung, dimana di warung itu terdapat gerombolan siswa-siswa sekolah tempat ia bekerja. Semuanya sudah ia kenal di luar kepala, apalagi Angkasa, remaja tengil yang sudah tidak terhitung berapa kali masuk ruangannya.

Entah bagaimana caranya, anak yang kemarin sesak nafas sampai pingsan itu ada di sana. Mencari gara gara saja. Angkasa itu sangat aneh, ia masih ingat saat dulu Angkasa keluar dari Pramuka yang di binanya, karna tidak suka pada mie. Bukan karna tidak kuat akan ajarannya yang keras.

Pak Raka mulai beranjak dari kursi kerjanya, bergegas pergi ke warung belakang sekolah untuk memberi pelajaran kepada siswa-siswa yang memberinya pekerjaan itu.

Tbc

Terimakasih sudah membaca

13 mei 2023


Akhirnya beres, kalo ada typo kasih tau ya

Kejora di Angkasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang