Bagian ke 10

96 10 2
                                    

Sorak sorai para penonton memenuhi gendang telinga Angkasa. Dengan tenang ia menghampiri Hara yang melambai kearahnya.

Angkasa tersenyum, berusaha mengenyahkan rasa tidak nyaman pada dadanya yang dari tadi mengganggu. "Lumayan juga ya, ternyata duitnya kalo menang, buat beli bala-bala sekarung haha." Hara tersenyum kecil mendengar penuturan Angkasa. Tangannya ia angkat, mengapit leher Angkasa dan menyeretnya pergi ke warung di dekat sana.

Angkasa menggeliat tak nyaman saat ia menyadari di warung itu ada banyak asap rokok yang mengudara, juga beberapa botol minuman yang terlihat asing di mata remaja jangkung itu.

"Weeeyyy broo, hebat banget lu bisa ngalahin si Udin! Traktir dongg, masa nggak." Angkasa tersenyum canggung mendengar seruan Anfi, salah satu teman Hara.

Angkasa menaruh bokongnya pada kursi panjang kosong di sana, mulai mengangguk-anggukkan kepala yang terasa mulai pusing kelelahan. "Boleh deh, gue traktir ya, malam ini." Suasana yang asalnya senyap mulai berisik dengan sorakan dan siulan sekumpulan pemuda yang mungkin, sedang mencoba melupakan masalah yang membuat benang kusut di kepala.

"HOREE DI TRAKTIR EUYY!" Anfi tanpa sadar memeluk tubuh Angkasa erat, membuat sang empu terbatuk kaget.

"Ekh ... eh ke—kejepit woi!" Nafasnya semakin terasa sesak kala aroma rokok dari tubuh Anfi menusuk hidungnya. Sambil terbatuk, tangan Angkasa berusaha melepas pelukan sok akrab itu.

"Eh maaf hehe, minum nih Sa. Minum yang banyak."  Angkasa menyambar gelas yang di sodorkan Anfi, tanpa berpikir ia meneguk rakus isi dari gelas itu.

Lelaki itu terdiam, saat merasa kepalanya semakin berputar dengan pandangan yang memburam. Kepalanya ia gelengkan kuat. Berharap bisa mengenyahkan sakit yang mendera kepalanya, walau ternyata itu tidak berhasil.

"Ahelah, mabok lu Sa? Padahal baru setengah gelas." Anfi berucap santai, badan kurusnya ia sandarkan ke penyangga kursi.

Hara yang mendengar ujaran Anfi sontak terlonjak. Mengalihkan pandangannya pada Angkasa yang terlihat sudah tidak karuan.

"Lo kasih dia minum Fi?"

"Weh, emang kenapa? Kirain emang udah biasa minum. Tampangnya peminum bangett, ehhh tampangnya doang ternyata."

"Anjing!"

****

Kejora menggigit kukunya panik, tangannya yang bebas terus bergerak di atas gawai. Mencoba menghubungi sang kembaran.

Dini hari sudah tercapai, tapi tidak dengan ketenangan yang seolah mengolok-oloknya. Gadis berambut pendek itu mencuri pandang pada Surya yang duduk tegak di sofa dekatnya.

Tanpa di lihat dengan jelas pun, Kejora tahu kalau Surya sedang menahan gejolak amarah sejak tahu bahwa Angkasa belum terlihat batang hidungnya sejak berjam-jam yang lalu.

"Yah, ayah tidur duluan aja. Tadi Aksa angkat telepon, katanya lagi di jalan. Bentar lagi sampe kok." Kejora berujar was-was. Tubuhnya ia dekatkan pada jendela dan membuka sedikit celah gorden untuk melihat keluar.

"Kamu aja. Ayah mau nunggu Aksa dulu. Ke kamar gih, besok sekolah."

Di tengah pembicaraan canggung itu, ketukan pintu terdengar ribut. Kejora dengan cepat berlari, menggapai kenop pintu hanya untuk melihat sosok saudara kembarnya yang terkulai lemas.

Bau asing bercampur rokok menguar dari baju yang di kenakan Angkasa, dengan tatapan mata yang terlihat tidak fokus.

"Sa!" Kejora mengernyit, tangannya menampar pipi Angkasa berulang kali, berharap ia dapat tersadar.

"Eh, ini siapa kok jelek? Syahrini, ya?" Netra Angkasa mengerjap, mencoba memfokuskan pandangan pada gadis di depannya.

Lelaki itu terkekeh, sebelum ia di tarik paksa untuk berdiri. Tangannya terangkat, berusaha melepaskan cengkraman kuat sang ayah pada kerahnya. "USEPP! ISTIGHFAR KAMU JANGAN MUKUL ANAK SEMBARANGAN! ATAU ANAK ITU JADI JIBRIL YANG MENCABUT NYAWA KAMU!!" Surya tersentak, dengan marah ia menyeret Angkasa masuk, sedetik kemudian tubuh Angkasa ambruk, saat Surya melepaskan cengkeramannya dengan kasar.

"Tidur, Kejora! CEPAT BALIK KE KAMAR KAMU SEKARANG!" Tatapan Kejora berubah sendu, sebelum setitik air mata mengalir dari sudut matanya.

"Ayah udah! Aksa sakit ayah, biarin dia istirahat dulu!" Dengan gemetar, Kejora menggenggam lengan sang ayah, walau kemudian sentakan keras ia dapatkan.

"Jangan membantah Kejora! Atau saya kurung saudara kamu ini di gudang!" Surya menajamkan netranya. Selama ini, ia selalu menepati apa yang ia bicarakan. Menurutnya. Bahkan jika ia harus mengurung anaknya sendiri, ia tidak keberatan. Karena ia tahu Angkasa salah, dan hukuman seperti ini harus di lakukan agar anaknya itu sadar.


TBC

16 April 2024

Yoww gaess pakabar

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kejora di Angkasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang