1. Pulang praktikum

53 20 74
                                    

HAPPY READING!

Bola matanya terus bergerak ke kanan dan ke kiri, menatap ponselnya yang menunjukkan timer dan ke arah tabung reaksi yang sedang dia celupkan ke dalam baskom es. Perempuan yang memakai kaos hitam yang ditutupi oleh jas lab putih miliknya tampak tenang sesekali dirinya mengubah posisi kakinya agar tidak keram.

"Berapa persen punya lo, Pi ?" tanya temannya baru datang saat larutan milik perempuan itu sudah berendam selama lima menitan.

"Dua persen." Perempuan yang dipanggil Pi itu menjawab sembari tetap fokus menatap tabung reaksi yang dirinya pegang.

"Sip, lo nemenin gue, sih ini. Punya gue empat persen." Temannya langsung berdiri di sebelah Pia dan mencelupkan tabung reaksi itu bersamaan dengan dirinya menekan tombol timernya.

Pia tidak menanggapinya lagi, dirinya sesekali menggoyangkan tabung reaksinya, mengecek apakah larutan yang di dalam tabung reaksi itu sudah padat atau belum.

"Oh, iya Pi. Lo biasanya pulang naik apa?" tanya temannya itu sembari memainkan es batu yang ada di dalamnya dengan jarinya, mengurangi rasa bosannya.

"Motor gue," ujar seseorang tiba-tiba muncul membuat Pia dan orang yang melontarkan pertanyaan itu menoleh dengan cepat.

Laki-laki itu datang dan meminta temannya itu bergeser agar dirinya bisa berdiri di sebelah Pia dan dirinya melakukan hal yang sama, mencelupkan tabung reaksi ke dalam air es dan menghidupkan timer.

"Kenapa lo tanya-tanya? Mau nebeng?"  Laki-laki itu menatap dengan tidak suka. Pia menyenggol lengan laki-laki yang tampak galak tersebut, memelototinya.

"Kapan gue nebeng motor lo? Gila, ya?" Pia menatap ke arah laki-laki menyebalkan itu dan mengangkat tabung reaksinya serta mematikan timernya bersamaan.

"Rak, gue balik dulu, ya." Pia pamit dengan laki-laki yang pertama menghampirinya. Mendengar hanya Raka yang di ajak bicara oleh Pia, laki-laki satunya mendumel dan mencembikkan bibirnya kesal.

"Harus banget lo yang dipamitin sama Pia?" Haikal kemudian menatap tabung reaksinya dengan sebal, Raka yang diajak bicara diam saja kalau dirinya membuka mulutnya, mungkin baskom es itu sudah dilemparkan ke kepalanya.

***

Perempuan itu sudah melipat jas lab miliknya dan memasukannya ke dalam tas, memikulnya dan keluar dari lab menuju ke lift terdekat.

Liftnya sudah turun dan terbuka, perempuan itu masuk ke dalam dengan tenang kemudian menekan lantai yang ingin dia tuju.

"Pia. Pia sayang tungguin gue!" teriakan khas yang setiap hari Pia dengar membuat perempuan itu melotot dan buru-buru menekan tombol untuk menutup pintu lift tersebut, sialnya Pia kalah cepat.

"Enggak denger, ya tadi? Aduh capek gue lari-lari." Laki-laki itu masuk ke dalam dan ngos-ngosan sendiri. Pia melirik ke arah laki-laki itu dengan sudut matanya tidak membalas ucapan Haikal sama sekali.

Pia memainkan ponselnya, membuka aplikasi chatting dan menggulirkannya, sama sekali tidak ada chat yang dia balas, atau lebih tepatnya tidak ada yang mengechatnya, dirinya sudah membalas semua tadi saat praktikum bagiannya sudah selesai.

"Pi, pulang bareng, yuk?" Haikal membuka obrolan lagi bersamaan dengan pintu lift yang terbuka.

Perempuan itu langsung keluar dari sana tanpa menunggu Haikal ataupun menjawab tawarannya. Merasa ditinggalkan laki-laki itu mengikutinya, menyamakan jalannya menjadi di sebelah Pia.

"Ayo, Pi. Gue anter enggak pake lecet, aman, nyaman, bisa lo peluk juga," ujar Haikal terus nyerocos sementara Pia sudah jengah sedaritadi.

Kampus memang sudah sepi dan gelap, apalagi mereka baru saja selesai praktikum, jarum jam juga sudah menunjuk di angka tujuh bahkan Pia belum makan malam. Perempuan itu menatap ponselnya, menimang sejenak kemudian ada sesuatu yang membuatnya menerima ajakan Haikal, laki-laki yang selalu membuat dirinya jengkel.

"Sekali ini aja," ujar Pia kemudian berjalan ke arah parkiran motor. Haikal yang mendengar persetujuan perempuan itu malah mematung tidak percaya.

Pia membalikkan tubuhnya dan menatap Haikal yang masih berada di posisi yang sama dengan wajah yang terkejut tidak menyangka.

"Ayo, jadi enggak?" tanya Pia lagi dengan nada ketus membuat kesadaran Haikal kembali dan segera menghampiri Pia yang sudah berjalan di depannya tadi.

"Pia sayang beneran mau ikut?" tanya Haikal kembali memastikan, pasalnya baru ini dari semua ajakannya. Perempuan itu akhirnya menyetujuinya.

Di parkiran motor hanya tersisa beberapa motor dan salah satunya adalah motor Haikal. Laki-laki itu langsung mencari kunci motornya di kantong celananya dan mulai menghidupkan nya.

Haikal menyodorkan sebuah helm untuk Pia dengan wajah yang sudah sumringah karena berhasil membuat Pia menyetujui ajakannya, "Makasih." Pia berbicara sembari mengambil helm berwarna merah yang tampak baru.

Pia menaikkan alisnya, kemudian menginjak injakan motor dan naik ke atas motor, duduk di bangku bagian belakang dan meletakan tasnya di tengah-tengah mereka duduk guna untuk membatasi areanya.

"Lo beli helm baru, ya?" tanya Pia merasa tidak nyaman dengan helm yang digunakan, dirinya tidak terbiasa dengan helm baru selain helm miliknya.

"Udah lama, cuma lo aja yang baru pake," ujar Haikal kemudian mengegas motornya untuk keluar dari area parkiran.

Pia menaikkan alisnya, "Hah?"

"Lo baru setuju pulang bareng gue hari ini, tanggal dua puluh april. Gue beli helm itu khusus buat lo, makanya sering-sering pulang bareng gue biar helmnya kepake terus." Haikal melirik ke arah spion, hendak menatap wajah cantik dari Pia.

Pia memutar bola matanya ke atas dengan malas, dirinya sudah mendengar ratusan gombal setiap harinya dan kata-kata Haikal yang sekarang sangat membuatnya merinding.

"Sekarang gue nyesel balik sama lo," ujar Pia membuat laki-laki itu merubah wajahnya dengan panik.

"Gue salah apa, Pi? Kok lo nyesel, sih," ujar Haikal dengan nada sok dibuat sedih.

"Lo mau makan enggak? Gue pengen makan sate soalnya," ujar Pia tidak menjawab pertanyaan Haikal yang retoris.

Haikal langsung mengangguk, kapan lagi dirinya bisa makan bersama dengan Pia, sang pujaan hati apalagi perdana Pia yang mengajaknya, kesempatan yang tidak boleh dilewatkan.

"Ke sate deket jembatan aja," ujar Pia memberikan arahan dan dijawab Haikal dengan anggukan kepala pertanda setuju.

Jalanan di kota besar ini memang selalu ramai, Pia mengamati sekitar langit yang menggelap, bulan sabit dan lampu jalanan yang menyorot terang.

Pia menatap ke arah spion, melihat laki-laki yang mengantarkannya. Kalau boleh jujur, laki-laki itu masuk ke dalam kategori ganteng walaupun wajahnya tengil dan gombalannya kadang garing.

"Kenapa Pi? Gue ganteng, ya? Lihat aja terus Pi, biar naksir," ujar Haikal membuat Pia jadi menggulirkan bola matanya dengan kesal. Dirinya menarik kata-katanya yang menyebutkan laki-laki itu ganteng.

Pia tarik! Serius, Pia menyesal tadi sudah punya pikiran seperti itu.

***

Lanjut?

Kampus BakPiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang