4. Insiden lab

41 14 76
                                    

HAPPY READING ! 

Pia melepas sepatu Haikal dari kedua kakinya dan menyodorkannya ke arah Haikal dengan kakinya yang masih cekeran. Sepatunya sendiri masih Haikal pegang di atas motornya. 

"Makasih udah nganterin sama pinjemin sepatunya," ujar Pia tersenyum tipis. Membuat Haikal yang melihatnya jadi kesengsem sendiri walaupun dirinya masih berusaha sok tenang. 

"Sama-sama Pia cantik. Kalau dipinjemin hati mau enggak dirawat?" tanya Haikal sudah mulai melontarkan gombalan membuat Pia jadi berdecak sebal. Senyumnya sudah pudar. 

"Sehari aja deh, Kal. Enggak usah ngegombal," ujar Pia dengan kesal, sementara Haikal tertawa puas. Dirinya menyodorkan sepatu milik Pia dan mengambil sepatunya sendiri. Turun dari motornya dan memakai sepatunya di sana. 

"Gue pulang dulu, ya," ujar Haikal setelah memakai sepatunya dan naik ke atas motor dan memakai helm. 

Pia menyodorkan helmnya, "Bawa aja," ujar Haikal menolak sodoran dari Pia. Lagipula tidak akan ada yang memakai helm itu selain Pia. Haikal melajukan motornya sendiri dan sebelum jauh dia melambaikan tangan ke Pia dengan senyum yang ada dibalik helmnya. 

***

Jepit rambut kecil di sebelah kanan kepala Pia menghiasi rambutnya hari ini. Pia menunggu gula yang ada di wajan anti lengket itu menjadi karamel sembari memegang sebuah termometer dan temannya sedang mengaduk gulanya perlahan. 

"Anak teknologi pangan gini banget, mau manasin gula aja pake diitung berapa suhunya sampe mencair," ujar temannya sembari terus mengaduk gula pasir itu dengan helaan napas di setiap detiknya. 

"Pilih manasin gula atau disuruh ambil glukosa?" tanya Pia menyindir temannya. Kejadian waktu mengambil glukosa memang menjadi perbincangan satu angkatan. Karakteristik glukosa yang lengket membuat yang tidak terbiasa akan sangat kesulitan dan waktu itu satu wadah glukosa jatuh ke lantai dan sangat sulit dibersihkan. 

"Manasin gula aja, deh." Temannya merinding seketika ketika ingat kejadian itu. Rambutnya yang lumayan panjang bahkan ikut kena waktu itu. Padahal rambutnya sudah dia ikat dengan rapi. 

"Punya kita udah hampir selesai ini," ujar Pia sembari membaca termometernya dan menatap gula yang sudah mulai mencair di atas pan. 

Pia langsung mematikan kompornya begitu gulanya sudah rata berwarna cokelat semua, artinya gula yang ada di atas wajan anti lengket sudah terkaramelisasi dengan merata. Pia mengeluarkan bolpoin dari saku jas labnya dan mencatat suhu karamelisasinya di modul miliknya sendiri yang sudah lecek. 

"Kak, kita sudah," ujar Pia ketika asisten praktikum ada di dekat mereka. Segera saja asisten praktikum ini meminta mereka untuk membereskan dan mencuci semuanya. Pia dengan hati-hati membersihkan termometernya dan memasukkannya ke dalam wadah tabung panjang berwarna putih bening. Diletakkannya di atas meja pantry dan menyusul temannya yang sedang membersihkan gula yang sudah menempel di pan tersebut. 

Kebanyakan dari mereka juga sudah selesai dan membersihkan peralatan yang mereka tadi gunakan. Termometer seseorang patah dan rasa panik menyerangnya dengan wajah menahan kepanikan termometer miliknya dimasukkan ke dalam wadahnya semula dan orang itu mendekati pantry milik kelompok Pia. Diam-diam tanpa ada orang yang memperhatikan, orang itu menukarnya dan segera kembali ke pantry miliknya sendiri. 

"Kalau sudah selesai, kembalikan termometernya ke meja depan, ke Kak Sa," ujar asisten praktikum ini mengomando dan menunjuk temannya yang sedang duduk di meja depan. 

Satu persatu dari mereka mengembalikan termometer yang ada. Pia ikut mengantri dan memberikan termometernya dengan senyum sopan. Baru hendak pergi setelah memberikan termometer tersebut. 

"Nama kamu siapa?" tanya Kak Sa membuat Pia merasa ada yang tidak beres. 

"Pia Andewi, kak." Pia menatap ke arah asisten praktikum itu dengan tatapan takut. Tidak biasanya dirinya ditanya seperti itu. 

"Oke, saya catat. Kamu matahin termometer ini, kembalikan barangnya di lab ini maksimal seminggu lagi, ya." Kak Sa mencatat namanya membuat Pia yang mendengar bahwa dirinya dituduh langsung memprotes tidak terima. 

"Saya enggak matahin, kak." Pia membela dirinya. Dirinya tahu persis bahwa termometer tadi tidak patah sama sekali saat dirinya memasukkannya ke dalam wadah bening tersebut. 

Asisten itu menatap Pia kemudian membuka wadah termometer itu dan mengeluarkannya, "Nih, patah. Bahkan dilihat dari luar tadi aja udah kelihatan." Benar saja, ujung termometer itu sudah terbelah menjadi dua. Pia tidak bisa berkata-kata lidahnya kelu. 

"Tapi, tadi enggak patah," ujar Pia dengan nada lirih. Semua yang ada di sana hanya diam memperhatikan, tidak ada yang membela ataupun menyela. Tidak ingin ikut campur masalah itu. 

"Ya, masa termometernya membelah diri sendiri? Emang amoeba?" ujar asisten praktikum itu dengan galak. 

"Iya, kak. Saya ganti nanti, maaf sudah merusak barang dari kampus." Pia menunduk dan pergi ke pantry nya. Teman kelompoknya yang tadi langsung menepuk bahu Pia memberikan semangat. 

"Kok bisa patah, sih Pi?" tanya beberapa orang ketika mereka keluar dari lab secara bersamaan. Pia masih mengucapkan kata yang sama dimana dirinya tidak mematahkan termometer tersebut. 

"Zezya, lo ya yang matahin," ujar temannya yang lain mengolok teman yang tadi sekelompok dengan Pia. Orang yang merasa dipanggil namanya langsung memprotes bahwa dia tidak menyentuh termometer itu dari awal sampai akhir. 

Perasaannya sudah tidak beraturan, tidak bisa marah ataupun menangis. Dia hanya ingin pulang ke kosnya dan tidur. Pia merasa dijebak, dia bahkan masih ingat bahwa termometer itu sudah dia masukkan ke dalam wadah tanpa lecet sedikitpun. 

Mereka kembali ke lab kimia, karena praktikum mereka kali ini memang ada dua pembahasan yaitu dengan karamelisasi dan tepung pati. Saat mereka masuk, semua langsung membahas tentang insiden Pia yang mematahkan termometer di lab kuliner. 

Haikal yang sedang menunggu pati yang ada di wadah itu mengeras langsung menaikkan alisnya ketika dirinya mendengar nama Pia disebut. "Kenapa?" tanya Haikal begitu memastikan tepung patinya belum kunjung mengeras. 

"Ayang lo matahin termometer enggak mau ngaku," ujar temannya membuat Haikal menaikkan alisnya. 

"Bukan Pia kali yang matahin," ujar Haikal kemudian menyunggingkan senyum meremehkan. Dia sangat yakin kalau Pia akan mengaku kalau dirinya membuat kesalahan dan tidak akan melakukan hal seperti itu. Lagi pula cewek yang dia sayangi itu tidak seceroboh itu. 

"Ya, menurut lo siapa emang yang matahin?" tanya temannya yang bergosip dengan nada sinis, merasa Haikal begitu bodoh karena terus membela Pia. 

"Ya, siapa, kek. Gue juga enggak tau. Tapi, yang pasti bukan Pia," ujar Haikal kemudian mencari Pia di kelompoknya. Dengan wajah yang sudah tidak bersemangat dan senyumnya yang dipaksakan. Haikal ingin menghampirinya tapi, pekerjaannya saat ini tidak bisa dia tinggalkan. Alhasil dirinya hanya menatap Pia dari jauh saja. Dia akan menghibur Pia nanti setelah semua pekerjaannya selesai. 

***

Lanjut?



Kampus BakPiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang