12. Alasan mencintai

23 6 39
                                    

HAPPY READING! 

Sesosok laki-laki di sana tampak tertunduk lesu di dalam kamarnya yang dingin dan gelap. Laki-laki itu sudah mengurung dirinya sendiri dalam kegelapan selama tiga hari dengan ponselnya yang dia genggam terus-menerus. Dia berusaha untuk menelepon seseorang walaupun setiap kali panggilannya ditolak terus-terusan. 

"Pia, angkat," ujarnya dengan lirih sembari tidak hentinya dia menekan tombol telepon di sana. laki-laki itu menunggu nada tersambung yang sangat lama harapannya sudah hampir pupus. Matanya membulat seketika saat suara yang berbeda dari sebelumnya menyapa pendengarannya. 

"Cukup, ya Den. Gue muak lo telepon terus. Berhenti nelepon gue, gue enggak bakal sebodoh itu lagi. Gue tutup." Penelepon di seberang sana berbicara dengan nada kasar dan tampak emosi berbeda dengan Pia yang dulu. Pia yang mempunyai suara lembut dan tampak sabar. Brandon kehilangannya. 

"Pia dengerin gue sebentar, lima menit aja." Brandon berteriak dengan nada lirih membuat Pia mengurungkan niatnya untuk menekan tombol merah di sana. 

"Oke," ujarnya dengan nada rendah diiringi dengan helaan napas yang bisa Brandon dengar. 

"Gue memang taruhan buat dapetin lo. Tapi, gue malah suka sama lo. Gue juga enggak menang di taruhan itu karena taruhannya cuma dapetin lo doang tanpa ada rasa suka. Pi, gue suka sama lo," ujar laki-laki itu terisak, Pia mendengar suara isakan tersebut dan agak terkejut sebenarnya, seorang laki-laki menangis hanya karena taruhan. 

"Waktu gue ketahuan kalau lo jadi bahan taruhan. Gue malah minta sama lo buat balikin semua yang gue kasih dengan harapan lo enggak bisa balikin semua itu ke gue dan lo bakal selamanya sama gue, Pia tolong balikan sama gue," ujar Brandon dengan nada putus asa. Pia hanya diam tidak ada yang bersuara setelahnya. 

Setelah sekian lama akhirnya Pia menjawab, "Udah lima menit. Gue tutup." setelah itu sudah tidak ada suara lagi dari sana. Telepon benar-benar berakhir di sana. Brandon bahkan sudah berusaha sampai akhir tetapi Pia sama sekali tidak bergeming. 

*** 

Pia melamun pikirannya jadi terlempar ke masa itu membuat Kiranna menepuk pundak Pia dengan cukup keras agar jiwa Pia kembali sadar ke masa kini. Pia yang ditepuk pundaknya jadi kaget sendiri apalagi melihat wajah Kiranna yang tampak garang. 

"Kalau lo bayangin Haikal di dalem kepala lo ngelamun sampai puas gue ga masalah. Tapi, kalau lo bayangin si gila itu gue bakal pukul kepala lo nanti bukan pundak lo lagi," ujar Kiranna dengan galaknya. Temannya dari SMA ini memang sangat mengerti dirinya bahkan isi pikirannya. 

"Iya, deh iya. Gue enggak ngelamun tentang dia lagi," ujar Pia membuat Kirannna mengacungkan jempolnya dan mengucapkan kata "bagus." di sana dengan bangga. 

"Ki gue mau tanya sesuatu deh. Gue inget banget lo selalu maksa gue buat jadian sama Haikal. Bantuin Haikal biar bisa ngomong sama gue walaupun cowok gue emang gila juga sih, Lo ada alasan enggak ?" tanya Pia dengan random rasanya mengakui bahwa Haikal adalah cowoknya itu bukan hal yang memalukan ataupun salah. 

"Ngeri banget sekarang manggilnya cowok gue. Pia, gue tau siapa yang pantes buat lo dan yang enggak pantes. Walaupun kadang gue juga takut kalau Haikal bakal ngapa-ngapain lo sih. secara dia memang agak ga waras kayak kata lo itu. Oh, gue punya satu cerita seru waktu masih PDKT sama lo dia gedor rumah gue cuma buat nanyain lo suka makanan apa, untung nyokap sama bokap gue ke luar kota kalau enggak dikira ada perampok kalik," ujar Kiranna kemudian tertawa ketika membayangkan Haikal yang mendobrak pintu rumahnya tengah malam. 

"Gila. Nanti gue marahin itu anak." Pia melotot mendengar cerita Kiranna yang tidak dia tahu selama ini. Kiranna tertawa kemudian meminta untuk Pia tidak memarahi cowok itu. 

"Kalau lo, kenapa akhirnya lo nerima dia ?" tanya Kiranna berbalik tanya membuat Pia jadi agak salah tingkah. 

"Sebenernya banyak, tapi gue enggak bisa ngomong alasannya, enggak bisa gue gambarin pakai kata-kata." Pia menjawab dengan jujur membuat Kiranna berpikir lebih lama. 

"Gue ganti pertanyaannya. Hal apa yang ada di Haikal yang lo suka ?" tanya Kiranna membuat Pia tersenyum senang. 

"Kalau ini gue bisa jawab. Pertama, Haikal itu orangnya manis walaupun sukanya gombal garing tapi sebenernya dia itu berusaha buat bikin gue selalu senyum dia ga bakal biarin gue ngerasa sendirian dan sedih. Dia selalu ngasih apapun yang terbaik buat gue walaupun gue nanggepinnya dengan emosi. Walaupun kelihatannya sederhana tapi, gue merasa segala sesuatu itu dimulai dari hal kecil yang makin lama bakal makin besar." Pia menjawab dengan mata yang berbinar. Kiranna tersenyum senang, dirinya tahu bahwa temannya ini jatuh cinta dengan Haikal. 

"Baguslah. Gue enggak perlu khawatir hal yang selama ini ganggu pikiran gue. Ayo, makan." Kiranna mengambil sendoknya kemudian menyantap makannya sendiri. Pia mengikutinya dan makan makanannya dalam diam. 

*** 

Dentuman keras antara jaring besi dengan tubuh seseorang memenuhi sebuah ruangan kosong tersebut. Wajah orang itu sudah babak belur tubuhnya sudah merasakan perih yang meradang. Laki-laki yang sudah terjatuh ke lantai itu akhirnya berdiri kembali masih berusaha untuk tetap sadar meskipun dirinya sudah mempunyai luka yang cukup banyak. 

"Gue enggak bakal kalah !" Laki-laki yang sudah babak belur ini berteriak berusaha untuk menggertak lawannya yang tidak sepadan. Lawannya menyeringai kemudian memerintahkan anak buahnya untuk kembali menyerang. 

Pria yang babak belur itu adalah Haikal, ya Haikal yang sedang dikeroyok oleh lima orang berbadan gempal membuat dirinya benar-benar tidak berkutik dirinya tidak bisa membalas perlakuan tidak etis itu. 

"Ini peringatan kedua, Haikal. Jauhin Pia atau lo nanti bakal lebih parah dari ini," ujar laki-laki itu setelah Haikal sudah terkapar di tanah dengan kesadaran yang sudah hampir hilang sepenuhnya. 

"Enggak bakal. Gue bakal tetep jagain Pia dari orang kayak lo," ujarnya dengan napas terengah-engah dan nada yang terputus-putus. Laki-laki yang dia ajak bicara tambah kesal dengan tidak berperikemanusiaan dirinya menginjak area punggung Haikal sampai laki-laki itu tidak sadarkan diri. 

"Cabut." Pria itu, Brandon pergi dari tempat ini bersama dengan anak buahnya. Dirinya berdesis tidak suka dengan perkataan Haikal yang terakhir. Biasanya semua laki-laki yang mendekati Pia bisa dia basmi hanya dengan peringatan pertama. Oh, bukan hanya Haikal yang pertama Brandon lupa dirinya masih ingat ada satu orang yang bahkan sampai dirinya menghembuskan napas terakhir dia masih bilang akan bersama Pia selamanya. Brandon tidak suka hanya dia yang boleh bersama dengan Pia bukan pria lain. 

*** 

Lanjut ?

Kampus BakPiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang