15. Panggilan sayang

10 3 4
                                    

HAPPY READING! 

Entah sudah jam berapa ini. Pia menatap langit-langit kamarnya dengan enggan dia mengusapkan wajah dengan tangannya untuk menyadarkan dia di kenyataan. Dia harus bangun karena pacarnya, Haikal menjanjikan untuk mengajaknya pergi hari ini. Dulu, dia tidak akan beranjak dari kasur untuk beberapa lama, menikmati kasur yang nyaman karena setiap kuliah dia tidak bisa tidur dengan nyaman, namun kali ini berbeda dia harus segera bersiap sebelum pacarnya datang. 

Pia keluar kamar membawa ember dan peralatan mandinya serta pakaian yang akan dia pakai nanti. Dengan kesadaran yang sudah terpenuhi karena usaha Pia mengusap wajahnya berkali-kali Pia menyadari bahwa ada kamar yang awalnya kosong sekarang sudah terisi oleh anak baru. Pia akan berkenalan dengannya nanti, tunggu Bang Naka atau Mbak Uci atau yang lainnya mengajaknya untuk mengunjungi anak baru saja nanti. 

Teleponnya berdering saat Pia masuk ke dalam kamarnya kembali setelah merasakan segarnya air dingin yang tadi bersentuhan dengan kulitnya. Dengan handuk tersampir di pundak dia meraih ponselnya dan melihat nama sang penelepon, Haikal. Pia segera mengangkatnya. 

"Halo, Ikal?" Ponselnya sudah ditempelkan di telinga menunggu sang penelepon bersuara. 

"Aku kira Piak belum bangun ternyata udah cantik aja," ujar sang penelepon kemudian cengengesan, terdengar bunyi kikikan dari laki-laki tersebut. 

Pia menaikkan alisnya sembari duduk di kursi kamarnya mengambil handuk yang ada di pundaknya dan meletakkannya di atas pahanya sendiri. "Masih pagi, gombal. Apa hubungannya bangun tidur sama cantik coba?" 

Haikal cekikikan di seberang sana, "Ikal yakin kalau Piyak udah cantik. Suaranya juga udah fresh banget pasti udah bangun tidur. Pia bear face aja cakep apalagi kalau udah mandi tambah cakep. Pia diapa-apain juga cakep," Haikal ngelantur, semakin lama mereka pacaran bukannya semakin waras malah gombalan selalu dilontarkan oleh Haikal setiap saat, setiap ada kesempatan.

"Udah deh. Jam sembilan baru berangkat, kan? Piyak mau siap-siap dulu. Kamu juga siap-siap aja deh daripada gombal melulu," ujar Pia kemudian meletakkan ponselnya di atas meja mengambil peralatan make up nya dan mulai melakukannya tanpa terlewat satupun. Mereka resmi berpacaran sudah agak lama dan akhirnya mempunyai panggilan sayang awalnya Pia sangat menentang hak tersebut, tapi lama-lama hatinya juga pengen juga buat manggil Haikal dengan sebutan yang gemas kalau dia tidak mempunyai panggilan khusus apa bedanya mereka saat masih menjadi teman? Pia jadi teringat saat pacarnya itu menentukan nama panggilan sayang untuknya. 

"Kalau aku panggil kamu Pisang gimana? Lucu, kan Pia sayang." Haikal yang memulai, mencetuskan nama aneh yang membuat Pia menaikkan alisnya sebelah. 

"Gak. emang minion." Pia memprotes mendengar hal tersebut Haikal berpikir ulang. 

"Andewi?" tanya Haikal kemudian menggelengkan kepalanya sebelum Pia melontarkan suara. 

"Sayangku cintaku?" Haikal mencetuskan ide lagi dan dengan cepat Pia menolak dengan keras sembari menyilangkan tangannya ke depan dengan muka yang sangat kesal. 

Haikal sudah kehabisan ide, "Terus apa dong, Piyaakkk," Haikal dengan nada merajuk dengan wajah cemberut. Mereka berdua bertatapan dan Haikal langsung tersenyum merekah seolah menemukan bongkahan emas di wajah Pia. 

"Kenapa enggak kepikiran sih! Piyak aja, kan gemesin," kata Haikal sembari menangkupkan kedua tangannya ke pipi Pia dan mengunyel-unyelnya. Pia yang merasa kesakitan dan tidak suka langsung memukul lengan Haikal meminta untuk dilepaskan. 

"Sakit tau Ikal!" Pia cemberut sembari memegang wajahnya sehingga bibirnya tidak mengucapkan nama Haikal dengan jelas. 

Haikal terkekeh, " Piyak sama Ikal lucu juga. Aku cium ya kamu Pi, gemesin banget kalau manggil Ikal." Haikal menangkupkan kedua tangannya di tangan Pia yang masih memegang kedua pipinya yang kesakitan. 

"Ih, ga jelas. Udah lah. Mau ke kelas." Pia beranjak dari sana, melepaskan tangan Haikal yang tadi memegang kedua tangannya dan berdiri kemudian berjalan dengan langkah kaki yang besar dan cepat. Pia salah tingkah. 

Kembali ke kos-kosan Pia. Perempuan itu sudah menyelesaikan make upnya sembari tadi sedikit memutar ingatannya ke masa lampau rambutnya sudah dia sisir dan dibiarkan tergerai dengan bando berwarna peach sebagai hiasan rambutnya yang cantik. Haikal menunggu di dalam kos, di daerah dapur karena dia hanya menemukan kursi di sana. Haikal enggan mengganggu Pia yang sedang berdandan di kamar jadi dia hanya mengirimkan pesan saat dia sudah sampai di kos-kosannya dan meminta pacarnya itu tidak perlu terburu-buru untuk berdandan. 

Pia keluar dari kamar dan menggantung handuk yang tadi dia gantung di sandaran kursinya kemudian memakai sepatunya dan menenteng tas berwarna biru tua di pundak kanannya, mengunci pintunya dan beranjak untuk ke tempat Haikal berada. Di sana tampak Haikal yang sedang berbincang dengan Bu Endang, pemilik kos-kosannya yang sudah seperti ibunya sendiri. 

"Kalau di kamar nanti ganggu,  bu. Juga enggak enak, kan pagi-pagi masuk ke kamar anak gadis." Suara Haikal terdengar membuat Pia jadi tidak enak untuk muncul dan mengganggu percakapan mereka berdua. 

Bu Endang tampak menganggukan kepalanya kemudian tersenyum senang. Suara langkah kaki Pia membuat percakapan mereka terhenti, padahal Pia sudah berjalan sepelan mungkin untuk tidak mengganggu obrolan mereka sayangnya sepatu yang dia pakai kali ini dengan nakalnya berderit kecil. 

"Nah, ini Pianya, Bu.Kalau gitu Haikal pamit mau ajak Pia pergi," ujar Haikal kemudian menyodorkan tangannya untuk berpamitan, Bu Endang mengangguk dan membiarkan tangannya ditempelkan di dahi Haikal. 

Pia melakukan hal yang serupa setelah dia sampai di sebelah Haikal dan mereka pergi dari sana. Mereka berjalan ke parkiran tempat dimana motor Haikal berada. Pia melepaskan bandonya dan memakai helm miliknya. "Piyak, ini enggak gombal. Percaya enggak?" Haikal yang sudah memakai helm full face miliknya menatap Pia yang sedang mengatur tombol untuk menjaga helmnya. 

"Apa?" 

"Piyak cantik. Ikal enggak bohong. Piyak harus percaya." Nadanya sungguh-sungguh membuat tanpa diminta pipi Pia memerah. Untungnya, helmnya sudah dia kenakan dan kacanya sudah turut menutupi wajahnya yang salah tingkah. Padahal kata-kata Haikal selalu seperti itu melakukan gombalan yang walaupun perkataannya sama-sama berkata bahwa Pia cantik tapi, Pia tidak pernah tidak salah tingkah. 

"Iya, makasih, ya. Ikal juga ganteng pakai kaos item sama kacamata." Pia tersenyum kemudian mengajak Haikal segera bergegas untuk menutupi rasa malunya saat mengungkapkan isi hatinya tanpa Pia sadari, wajah laki-laki yang tertutup helm full face juga sama, memerah karena terkejut dipuji oleh pacarnya tersebut. 

"Ikal, kita mau kemana?" tanya Pia memecah keheningkan saat motornya sudah keluar dari pintu kos-kosan. 

"Kalau menurut kamu kita bakal kemana? Tebak, kalau bener nanti Haikal kasih cinta Haikal." Haikal menjawab dengan melihat wajah pacarnya dari kaca spion di motornya. 

"Ke tempat sarapan?" tanya Pia dengan ragu. Haikal tampak menunjukkan wajah berpikir, walaupun Pia tidak bisa melihatnya. 

"Ada benernya, tapi enggak spesifik. Ga masalah, Pia bakal tetep dapet cintanya Ikal sepenuhnya." Mendengar ucapan Haikal Pia memukul helm yang digunakan Haikal dengan kesal, merasa digombali lagi oleh pacarnya tersebut. 

***

Lanjut? 


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kampus BakPiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang