PP III - 14. Dokter Klinik Sekolah

822 7 0
                                    

14. Dokter Klinik Sekolah

- One Shot -

Sekolah gue tak pernah sepi dari segala kegiatan siswa-siswi nya. Mulai dari ekstrakurikuler olahraga maupun bimbingan belajar, hampir setiap hari mulai dari Senin sampai Sabtu sekolah gue selalu saja terisi oleh anak murid beserta guru ataupun pembimbing dari luar yang beraktivitas disana.

Gue sendiri bukanlah anak yang termasuk dalam golongan tersebut. Walau demikian, nama gue sudah dikenal oleh anak-anak seluruh angkatan dan juga guru-guru. Tentu hal ini disebabkan karena kenakalan dan keisengan gue yang membuat nama gue tenar seantero sekolah.

Nama gue Avi, usia 17 tahun sebagai anak kelas 11 jurusan IPS. Tindak tanduk iseng atau kenakalan gue pun sebenarnya masih berada dalam batas wajar. Paling hanya seperti makan atau berisik di dalam kelas, sering bolos pelajaran, ataupun berkelahi antar siswa satu sekolah maupun antara sekolah lainnya. Alasan dibalik ini perbuatan gue ini tak lain dan tak bukan adalah karena kurangnya kasih sayang yang diberikan oleh kedua orang tua gue. Sebagai anak tunggal, orang tua gue terlalu sibuk bekerja sehingga seperti menelantarkan gue di rumah. Jadilah gue mencoba mencari atensi lain melalui keisengan yang gue lakukan di sekolah ini.

Sama seperti hari-hari biasanya, di hari Sabtu ini jadwal sekolah gue memang pulang cukup cepat. Seorang sahabat gue, Lutfi, ia sedang mengikuti ekstrakulikuler mereka masing-masing. Oleh karenanya gue yang menganggur ini akan mencari kegiatan sendiri. Salah satunya dengan bermain futsal di lapangan belakang, bergabung dengan tim futsal sekolah dimana Lutfi berada disana.

Dari jam satu siang sampai kurang lebih jam dua siang gue ikut bergabung dalam bermain serta latihan pada tim futsal sekolah. Meski coach juga beberapa teman futsal yang gue kenal selalu menyuruh gue untuk bergabung ke dalam tim nya, namun tetap gue menolak karena tak ada gunanya juga bagi gue. Gue lebih memilih jalan yang lain dalam mencari perhatian.

Saat menit-menit terakhir sesi latihan, tak sengaja gue terjatuh karena tackle dari salah seorang teman gue. Berhubung lapangan ini beralaskan semen, jadinya luka yang gue alami cukup parah. Bisa dibilang ½ badan gue cukup luka saat itu, mulai dari wajah, tangan, hingga kaki.

"Woii Vi, lo gapapa?" Kata Lutfi yang berlari menghampiri gue.

"Ga papa pala lo peang? Dadas gini." Kata gue sambil merintih menahan sakit. Bahkan seragam pramuka gue sampai sobek di bagian kanan.

Dibantunya gue ke pinggir lapangan, dari sekian banyaknya orang disana tak ada satupun yang membawa obat merah. Setelah duduk sebentar, tak lama Lutfi dan coach futsal ini pun datang menghampiri gue.

"Gimana lo sekarang, udah mendingan?" Cekikik Lutfi sedang gue hanya melotot ke arahnya.

"Aduh Avi-Avi, kamu ini. Udah sana ke klinik sekolah aja, dokter Putra harusnya masih ada kok. Minta diobatin baru kamu balik ya." Lanjut guru olahraga sekolah yang merangkap coach futsal.

"Iya pak." Jawab gue datar. Kemudian coach menjelaskan bahwa mereka semua hendak pergi ke sekolah lain untuk melakukan pertandingan persahabatan. Benar-benar ditinggalnya gue sendirian setelah salah seorang anak futsalnya habis mencelakai gue.

"Ga usah cengeng, brandal sekolah kok cengeng. Jalan sendiri ya? Atau minta siapa kek yang lo temuin nanti di jalan, hahaha." Goda Lutfi kembali sambil memukul bekas luka gue di tangan.

"Wish me luck."

"I wish you lose!" Teriak gue.

Gue masih duduk terdiam di lapangan melihat Lutfi dan gerombolannya yang pergi menghilang. Aneh sekali pikir gue, untuk ukuran hari Sabtu dimana seharusnya lapangan sedang ramai, namun kali ini sangat sepi dan bisa dibilang tak ada orang kecuali gue sendiri sekarang. Gue pun mulai berjalan sedikit tertatih, mencoba membalikan kekuatan gue sebentar menuju ke kamar mandi.

Para Pejantan IIITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang