✦ lembar kedelapan.

1.9K 350 183
                                    

Renjana masih tetap membelenggu asa, [Name] menutup mata sesaat tatkala malam membawa diri selalu teringat akan sosok pemikat yang sayangnya tidak pernah bisa mendapat izin semesta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Renjana masih tetap membelenggu asa, [Name] menutup mata sesaat tatkala malam membawa diri selalu teringat akan sosok pemikat yang sayangnya tidak pernah bisa mendapat izin semesta. Bagaimanapun ia hanya inginkan sang mawar biru kembali masuk dalam pelukan, bolehkah memilih kabur dan nekat merajut ikatan walau harus menentang seluruh norma kehidupan?

Seandainya Tuhan berkenan mengabulkan satu permintaan maka [Name] akan memohon untuk dilahirkan dalam keluarga berbeda, hanya itu, dan jelas cukup itu saja tidak ada yang lainnya.

Ia sangat mendamba Michael begitu pula sebaliknya, tetapi mengapa cinta harus berada di waktu yang salah hingga menumbuhkan sesak pada setiap jalan pilihannya?

Jemari lentiknya terkepal erat guna menahan emosi yang berkecamuk dalam hati, wajah berpaling enggan menatap sosok lain kini terduduk di hadapan mengulas senyum manis namun terlihat jelas penuh manipulasi. Kelopak sayu terasa berat untuk sekadar mengerjap pelan, namun sentuhan di pipi kanannya membuat [Name] sontak melirik tajam pada si bedebah yang ternyata menjadi dalang utama perpisahan.

"Aku senang karena akhirnya bisa memilikimu, [Name]."

Sentuhan lembut pada pipi perlahan menyusur turun, ibu jari mengusap labium sang wanita walau detik berikutnya ditepis kasar; tetapi ia tetap tersenyum.

"Tidakkah kau menyadari, jika sejak lama aku sangat mencintaimu lebih dari Kakakmu?"

"Aku tidak peduli."

"Kau harus peduli. Karena, aku bisa lebih memuaskanmu di atas ranjang. Oh--- lebih tepatnya mungkin disegala tempat; termasuk bawah meja sekalian jika kau mau."

"Enyahlah!"

Tubuh bergegas bangkit dan berniat meninggalkan pertemuan yang sudah direncanakan demi ikatan masa depan, [Name] mengumpat sering kali tak peduli jika terdengar seperti wanita urakan jauh dari kata keturunan keluarga terpandang.

Lagi pula siapa yang sudi berdiam dengan sosok berusaha dihindari sejak lama, sialnya segala niat pergi terasa sulit sebab pergelangan kedua tangan justru dicengkeram kuat seolah tidak memberi izin menjauh walau sedetik saja.

"Jangan bermimpi jika Kakakmu akan datang kemari. Menolongmu. Atau bahkan kembali membawamu pergi."

"Apa yang kau lakukan padanya?!"

Sudut bibir terangkat untuk mengulas senyum menawan, kedua mata itu bahkan ikut menyipit menandakan jika lengkungan kurva begitu lebar penuh kebahagiaan. Tubuh tegap condong ke depan berusaha menghapus jarak dengan idaman yang kini menatap nyalang, bibirnya berbisik pelan namun penuh penekanan.

"Hanya ... kehancuran karier. Itu saja." Bisiknya.

"Bajingan!"

Alis menukik tajam seakan tidak bisa menerima kata umpatan, cengkeraman pada kedua tangan sang wanita semakin diperkuat bahkan bergerak memutar; memelintir hingga tubuhnya berbalik menjadi membelakangi lalu mendorong pada meja sebagai tumpuan.

Seringai mulai terbit tatkala melihat tubuh [Name] dari belakang apalagi posisi seperti ini, membungkuk; menungging dengan bagian depan menempel rapat pada meja sebab kedua tangan tertahan di punggung sulit untuk sekadar memberi perlawanan penuh arti.

"Lass mich los, Arschloch!"

"Sei höflich zu deinem zukünftigen Ehemann."

Tubuh mendekat guna menghapus jarak, membungkuk lalu menindih punggung [Name] menggunakan dada bidangnya diikuti kekehan seduktif. Hidung mancungnya menyentuh tengkuk disusul labium memberi kecupan manis sebagai sapaan singkat, wangi sang wanita memang benar-benar membuatnya semakin terpikat.

"Kau hanya memiliki dua pilihan,"

Pinggul menekan lebih maju, dan hal itu jelas membuat [Name] menggeram dipenuhi emosi hingga napasnya mulai memburu.

"Menikah denganku, maka karier Kakakmu akan selalu aman. Atau, terus melawanku dan melihat kehancurannya dengan mata kepalamu sendiri. Pilihlah, sayang. Aku akan sabar menunggu."

"Aku tidak akan memilih!"

"Kuanggap, kau menjatuhkan pilihan pada opsi kedua."

"Sialan--- kau benar-benar tidak pantas disebut sahabat, Ness!"

Dialah Ness, rekan, kawan, sahabat tetapi ternyata pengkhianat.

Lagi-lagi melukiskan senyum manis, ia mengecup pipi [Name] dengan gemas.

"Inikah alasanmu selalu menentang kami?!"

"Alasan? Hahaha, bukankah seharusnya kalian yang menyadari bagaimana menjijikkannya hubungan antar saudara itu? Aku menginginkanmu, dan aku juga tidak rela semisal rekan dekatku terjerumus pada jalan kesesatan. Jadi, berterima kasihlah karena aku sudah menjadi sahabat paling baik."

Cengkeraman dilepas tanpa permisi, namun dengan gerakan cepat kedua tangannya membalik tubuh [Name] hingga berhadapan seperti semula tanpa jarak walau beberapa inci. Wajah mendekat guna menyatukan labium berharap akan bersatu dalam ciuman mesra, tetapi apa daya jika tendangan dari sang wanita pada bagian inti berhasil membuatnya meringis dipenuhi rasa ngilu sampai ujung kepala.

Buaagh!

"Persetan. Ness. Persetan."

Merasa dejavu, lelaki itu tertawa bak kesetanan karena mendapati dua orang sinting yang masih saja berusaha berdiri pada pijakan penuh kobaran api.

"Du gehörst nur mir, [Name]!"

Jari-jemarinya terulur cepat, menjambak helai mahkota indah sang wanita lalu menariknya dengan begitu kuat.

Membawa kepala bertemu dinding memicu dentuman keras perlahan mengalirkan cairan merah menghilangkan kesadaran, mendekap seolah memberi seluruh kehangatan dan menggendong tak peduli jika memaksa akan menjadi pilihan terakhir demi mencapai sebuah tujuan.

"Kita akan menikah. HAHAHA. Kita akan menikah, [Name]! Camkan itu!"

 Kita akan menikah, [Name]! Camkan itu!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MERKURIUS : Michael Kaiser ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang