8 : [ RUMOR ]

122 17 0
                                    

'My eyes are telling you everything'
like we just met—

Banyak hal yang tak bisa dijelaskan malam ini.  Untung saja Terra memberitahunya, mengingat hari ini Haizel disuruh kembali kerumahnya. Walau ada juga hal yang Haizel sesali, seperti tentang pesta makan malam antarkalangan bisnis seperti saat ini.

Tata krama, kemewahan, setelan jas dan gaun yang rapi memukau. Tipikal orang berada sekali, bukan? Beginilah seharusnya kehidupan Haizel jika terus berada didekat kedua manusia yang sempat merawat nya itu.

Mengakui itu, Haizel jujur saja memilih untuk pergi. Pemuda ini benci pesta dan komunikasi miring penuh cacian, kata-kata halus mereka bukan tak lebih hanya kelelahan untuk Haizel. Tak perlu ditanyakan bagaimana Haizel bisa berada disini.

"Malam," Haizel berbalik mendengar sapaan tersebut, rasanya asing.

Kedua orangtua Haizel lebih memilih menyapa beberapa rekan kerja dan membiarkan Haizel berhenti merapatkan diri pada dinding dengan segelas minuman segar. Sialnya, posisinya seakan terbaca. Berakhir dengan menemukan seseorang yang turut memegang gelas dengan penuh manner .

Pemuda itu menaikkan alisnya sebelah lantas bergerak mundur hampir rapat pada dinding ruangan.

"Hei, ada apa?" tanya seseorang itu saat interpretasi Haizel yang mundur karena rasa takutnya. Hal itu lantas diberi gelengan pelan oleh Haizel menolak pergerakan orang asing tersebut.

"Hasta Prawira," ucapnya menawarkan jabatan tangan pada Haizel. Pemuda itu hanya balas tak bergeming membuat rasa malu mencoreng Hasta. Tangannya kembali ditarik sembari berdeham pelan.

"Gue kira kita seumuran, kebetulan gue rasa lagi gak mau bicara sama kenalan papa gue yang ikut kesini. Gue lihat lo sendiri, jadi ya—" basa basi Hasta membuat Haizel semakin diam dan melirik ke arah lain seolah-olah tidak ada manusia lain.

Haizel dalam hati sebenarnya mulai berpikir kapan Hasta harus paham akan suasana tak ingin diganggu pemuda itu. Dirinya bahkan lebih memilih untuk sendiri dibandingkan berbicara dengan Hasta saat ini.

Merasa tak ada balasan, Hasta bersikap percaya diri mulai kembali berbicara, "—lo tau Prawira Corp, kan? Perusahaan bokap gue baru launching produk baru."

"Btw, nama lo siapa? Lo emang introvert atau membatasi diri? Ya, emang sih kita anak-anak penerus harus milih-milih dalam berteman, tapi kan itu hanya untuk anak-anak yang ga satu pijakan sama kita—"

Oke, bla bla bla. Haizel mulai muak, pertemanan tidak berbatas pada seberapa besar perusahaan, kan? Atau memang pola pikir lelaki ini yang harus dirombak. Haizel saja mampu berteman dengan anak seorang pekerja negeri sipil dan anak seorang dokter.

Haizel merasa agak sensitif mendengar perbincangan strata sosial yang terkesan mengelompokkan. Pemuda itu menjadi sangat terganggu. Entahlah, dari awal dia memang merasa terganggu.

Perlahan ucapan-ucapan Hasta itu memanaskan telinganya. Ekspresi wajahnya mulai berubah, Haizel menggosok hidungnya ragu, pemuda itu menghela napas pelan. Ingin meninggalkan lelaki itu tapi rasanya tidak sopan sekali. Bisa-bisa dia akan membicarakan Haizel pada orang yang selanjutnya dia ajak bicara, yah kalau lelaki itu kenal Haizel harusnya.

Pokoknya, siapapun tolong selamatkan Haizel dari manusia bernama Hasta ini. Minuman di gelasnya bahkan telah habis. Hasta yang terus berbicara namun malah kerongkongannya yang terasa kering. Beberapa kali Haizel menutup matanya lalu melihat ke kanan dan ke kiri tak menghiraukan Hasta.

Serius saja, tolong seseor—

"Lo disini?"

Mati, pikir Haizel. Mata pemuda itu menutup seolah-olah merasa manusia lain itu akan menambah panjangnya percakapan ini. Sebelum akhirnya pupilnya membulat saat menemukan manusia yang pernah menjadi kompas nya itu. Walau memang rasa malu menyeruak setelah itu, mengingat Haizel yang lebih lama tinggal pada daerah itu dan masih tak mengenali jalannya.

[MH DWILOGI] : INSOMNIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang