9 : [ MEREKA ]

106 15 3
                                    

—Kita mati bagai tak berjiwa
Bergerak karena kaki manusia—
'Sepatu'

"Aku tidak menemukanmu melalui waktu, kau abadi, kita beriringan."




Hampir lelah keterdiaman menyentuh keduanya. Meski pertanyaan yang hinggap tidak terjawab secara menyeluruh. Tak banyak pertanyaan yang dapat lelaki itu berikan respon. Namun, jawaban itu bagai kepingan puzzle yang Haizel temukan.

Dia bukan Matteo Argavias, sejak kecil, tangan kanannya memegang sendok emas. Cucu pertama dari perusahaan ternama. Cukup membosankan mendengar fakta kesempurnaan lelaki itu, walau Haizel tau bahwa ada harga yang dibayar untuk semua itu. Termasuk, kebebasan.

"Cerita gue udah cukup atau masih ada yang bikin lo bingung?" tanya lelaki yang seharusnya masih bernama Matteo dalam benak Haizel. Tak menghiraukan pertanyaannya, pemuda itu menoleh dan menggeleng pelan. Tangannya terangkat seolah mengajak berjabat. Matteo yang melihat itu turut membalas jabatan tersebut.

"Kita belum pernah kenalan dengan baik 'kan," ucap Haizel membuat Matteo mendengus gemas melihatnya.

Baru lelaki itu ingin membuka suara, Haizel menyela dan menggelengkan kepalanya, "dan- bukan nama pengganti."

Matteo terdiam sejenak mendengar hal tersebut, seolah-olah paham bahwa ia akan mengenalkan dirinya sebagai seorang Matteo Argavias. Lelaki itu menatap dalam netra manusia dihadapannya.

"Gue Mattravias Argasein Radwijaya, gue biasa dipanggil Arga," kenal Matteo lebih datar dari biasanya, dirinya seolah berlakon sesuai nama.

Haizel mengernyit pelan, sedikit panik mendengar nama Matteo yang sesungguhnya, "salam kenal Matt-Matt, Mattravias?" memastikan ucapannya, Matteo mengangguk seolah membantu kegagapan Haizel.

"Seperti nama orang luar saja," celetuk Haizel membuat Matteo tertawa, tangan keduanya yang tadinya berjabat berganti dimainkan oleh Matteo. Ia mengangkatnya keatas, lalu melepaskannya, menangkapnya kembali dan melakukan gerakan melempar tangan Haizel keatas lalu membuka telapak tangannya dengan gerakan saling menepuk satu sama lain. Seakan keduanya memang tak memiliki jarak.

"Gue memang lahir di luar negeri, gue sendiri bilang nama gue terlalu berlebihan," balasnya sambil tertawa yang dibarengi gelengan oleh Haizel, meski pemuda itu merasa Matteo ada benarnya, dia meyakini bahwa tetap saja nama selalu membawa harapan bagi si pemiliknya.

Haizel menyadari gerakan yang dilakukan Matteo pada tangannya, namun pemuda itu memilih acuh dan melanjutkan percakapan, "ga berlebihan, lo lahir diluar negeri dan dalam pengandaian lo itu bangsawan dalam satu kerajaan, jelas harus mencolok."

Analogi yang diberikan Haizel membawa tertawaan pada Matteo. Dirinya merasa bahwa manusia dihadapannya sedang mengucapkan suatu sanjungan. Lucu rasanya bahwa Matteo lebih sering mengalihkan pembicaraan tentang stratanya namun malah membuka lebar-lebar fakta yang dia sembunyikan pada Haizel. Lagipula, pemuda itu banyak bicara, Mattravias menyukainya.

"Jadi?" tanya Matteo membuat Haizel mengernyit. Tangan keduanya berhenti bergerak, namun masih tergenggam oleh Matteo dengan lembut.

"Apa?" bingung Haizel.

"Lo sekarang manggil gue apa? Matteo? Mattravias atau Argasein?" tanya Matteo yang membuat Haizel berpikir. Dirinya menggumam bingung, menunduk untuk berpikir.

"Gue berencana manggil lo seperti biasa, ini cukup privasi, sebagai orang yang tau diri, gue ga akan menciptakan kehebohan. Apalagi, identitas asli yang pasti sudah pernah masuk ke artikel atau media. Gue bukan sumber masalah lo," jelas Haizel panjang lebar.

[MH DWILOGI] : INSOMNIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang