1

47 5 0
                                    

Gunung berdiri tegak pada porosnya. Sedikit tertutupi rerimbunan pohon. Entah pohon pinus yang bentuk segitiga pucuknya. Pohon karet, dan pohon lainnya. Bukit-bukit kecil tertata rapi di depan, maupun sejajarnya. Berderet saling berdekatan bagai sang anak yang tak mau jauh dari sang ibu.

Owhh .... sungguh indah ciptaan Mu Ya Allah. Engkau masih memberi kesempatan hamba untuk bisa melihat ciptaan Mu yang tak akan pernah ada yang menandingi.

'Nikmat Tuhan Mu yang manakah yang kau dustakan?'

Bibir tersungging, menerbitkan seulas bulan sabit. Sangat tipis dan manis. Menghiasi wajah ayu nan rupawan walau sudah banyak kerutan di wajah wanita paruh baya yang datang dengan menggendong keranjang di punggungnya. Baju lusuh penuh tanah liat. Muka hampir seperti terbakar karena terkena paparan sinar matahari.

Betapa kuatnya Kau peri? Bekerja pagi, siang terkadang sampai sore. Sudah berapa banyak keringat yang kau keluarkan, untuk menghidupi keluarga kecilmu ini?

Ku hampiri sosoknya yang sekarang sedang berusaha menurunkan keranjang dari punggungnya. Ku bantu dirinya. Setelah itu ku salami tangannya.
Jelas kotor karena tanah. Namun, tak membuatku enggan untuk menyalami tangan yang penuh berkah ini.

Dia tersenyum. Keringatnya begitu deras. Napasnya tak teratur. "Yang lain di mana, Yu?"

'Yu'. Panggilan untuk kakak perempuan di daerah ku. Biasanya kalau lengkap dengan panggilan Mbak Yu.

"Danis lagi main, Bu, ke rumah Lana. Kalau Nida main ke rumah Olip." Jawabku menyodorkan teh hangat dan diterima oleh ibu.

"Wahh ... seger banget Yu. Sering-sering, ya, buatin Ibu wedang," Katanya, duduk di bangku kayu jati.

"Iya, Bu. Insya allah ta buatin terus."

"Ibu yo, pengin banget gawe jletot meneh. Penghasilan malah gede gawe jletot. Mung abot. Kowe ne pada sekolah. Lan Bapak di Jakarta. Ibu dewekan, " Ungkapnya .

Aku tersenyum. Lelah pasti menjadi seorang ibu. Apalagi kita-kita orang adalah orang desa. Yang penghasilannya tak jauh dari hasil kebun atau sawah. Itu pun kalau ada sawah atau kebun. Biasanya yang hanya buruh tani atau mereka yang bekerja di kebun orang, sehari paling mimim 30 ribu, maksimal mendapat 60 ribu. Itu pun hanya cukup untuk sehari. Karena orang desa biasanya memiliki banyak anak. Intinya jauh berbeda dengan orang-orang kota. Sangat jauh.

"Aku mundur wes, Bu, sekolahnya," Jawabku sekenanya.

"hussh! Kamu ibu sekolahkan biar pintar, seperti anak-anak lainnya bisa sekolah. Kok malah pengin mundur."

Aku meringis karena ibu menjitak kepalaku. Reflek mungkin karena candaan ku berlebihan.

"Hehe ... 'Kan Ibu nanti jadi ada teman buat bikin jletot."

"Ibu pengin punya anak yang nantinya bisa sarjana, nduk. Enggak seperti ibu bapakmu yang SD saja tidak lulus. Ingin kalian jika nanti kerja mudah carinya dengan ijazah tersebut. Ndak, harus gendong yang berat-berat. Ndak, harus mainan lumpur. Ndak, seperti ibu dan bapak. Rekasa, nduk," Jelasnya.

Aku terharu mendengarnya. Ibu begitu gigih menginginkan anak-anaknya menjadi orang yang terpandang bahkan mereka rela berpanas-panasan, rela banting tulang demi menyekolahkan anak-anaknya agar dapat gelar sarjana.

PELITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang