"Lo enggak akan tahu semenyakitkan apa jadi orang yang punya kelebihan tapi enggak ada yang mengakui? " ucap Ghali penuh tekanan.
Azka terkekeh, "Orang kayak Lo dengan segudang prestasi, ganteng, penyayang, baik hati mana ada yang enggak mengakui Lo, Bang? Lihat diri Lo! Ngaca. Lo sempurna enggak mungkin ada yang benci Lo. "
Ghali tertawa terbahak mendengarnya. Tertawa yang sakit menurutnya. Jika saja dia perempuan mungkin lelehan air mata sudah banjir sejak tadi. Namun, Laki-laki juga berhak menangis bukan?
"Kelebihan yang tersisihkan. Kelebihan yang hanya bisa di banggain oleh diri sendiri. Sementara batin tersiksa?? Menurut Lo, Gue bahagia karena kelebihan itu? Enggak! Enggak sama sekali. Justru karena kelebihan yang gue punya orang-orang mengesampingkan hak kasih sayang yang seharusnya gue dapat. Gue TERSISIHKAN. GUE DI CAMPAKKAN! ARGHHH SETAN LU SEMUA!! "
"LO DAPET PERHATIAN PENUH SAMA AYAH BUNDA! GUE? GUE DI CUEKIN BANGS*T! "
"FASILITAS LO PUNYA SEMUA. GUE? HIDUP LUNTANG LANTUNG HASIL JERIH PAYAH SENDIRI. ITU YANG NAMANYA BAHAGIA? HAH? "
Azka diam. Seperti ada bongkahan batu runcing dan besar menghantam dadanya. Rasanya begitu nyeri ketika mendengar pengakuan Abangnya. Apa semenyakitkan itu? Ia menyadari bahwa di sini dirinyalah yang egois. Dan kenapa dia baru menyadari setelah semuanya hancur?
"Lo enggak akan pernah tahu, Ka. Rasanya hidup di tuntut buat mandiri dan dewasa sebelum waktunya. Hanya karena otak cerdas yang bikin gue sengsara selama 7 tahun ini."
Ghali tersenyum miris. "Gue bersyukur. Allah kasih gue otak cerdas dan karena Nya gue bisa berdiri di kaki sendiri tanpa adanya kasih sayang palsu dari Bonyok Lo. It's Oke. "
Azka tergugu. "Bang? Gue egois banget ya? "
"Gk. Lo Serakah! " jawab Ghali cepat.
"Gue cuman pengen satu. Penuhi hak kasih sayang gue. Bilangin ke bonyok Lo. Tapi, terlambat! Sekarang gue gk butuh. Mana ada orangtua kandung lepas tanggung jawab selama 7 tahun?? Ada. Bonyok Lo. Atau jangan-jangan Gue anak pungut?? "
Azka terkejut atas pertanyaan yang Ghali lontarkan. Ia menggeleng spontan, "Gak. Enggak mungkin. Lo abang kandung Gue. Pasti. Lo. Abang. Kandung. Gue. " Azka mengucapkannya dengan penuh tekanan. Ia sendiri tidak pernah berpikir sejauh itu. Bagaimana bisa abangnya berpikiran sejauh itu? Kalaupun itu benar nyatanya Ghali akan tetap menjadi abangnya. Karena Ghali merupakan abang yang ia kagumi. Bisa mengayomi adiknya.
"Enggak mungkin masih ada peluang mungkin bukan? " Ghali tersenyum sinis. Ia lalu menepuk pundak Azka, "Gue pulang. " kakinya mengayun cepat membawanya hilang di balik pintu tuang tamu. Sedangkan Azka entah kenapa tidak bisa merespon apapun. Karena ini terlalu cepat dan membuatnya terkejut.
Sehingga mencegah Ghali agar tidak pergi ia masih terdiam di tempatnya. Ia masih mencerna semua kejadian hari ini.
Ketika suara mobil terdengar di depan sana_Ghali pelakunya_Azka baru tersadar. Ia bergegas menyusul Ghali untuk menghentikannya. Ia masih ingin bersama abangnya.
"Bang?! BERHENTI! " teriak Azka keras. Namun, nihil. Ghali sudah melesat jauh bersama mobilnya.
Aska tergugu. "Maaf. Aska minta maaf sudah egois, Bang. "
*****
TUJUH TAHUN KEMUDIAN
"Maafin Mas ya? Mas enggak tahu harus begini. " sang suami mengelus puncak kepala sang istri. Si istri hanya cemberut, "Enggak tahu lah, Mas. Aku enggak mood lagi makan itu. "
KAMU SEDANG MEMBACA
PELITA
RandomSedekah paling murah dan ringan adalah senyum. Cerialah hati. Walau duka melanda sanubari. Suka duka, senang sedih, bahagia susah seakan datang terus silih berganti. Tanpa itupun hidup tidak akan semenarik yang kita lalui.