|2. Hari Yang Suram|

45 9 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Dua hari setelah kepergian Tita, pria keturunan bule itu tidak pernah pulang ke rumahnya. Sibuk meratapi nasib  dengan beberapa botol minuman keras di lantai apartemennya. Menonaktifkan ponselnya semenjak pulang dari peristirahatan terakhir sang istri.

Pria itu terisak dalam mabuknya, menggenggam satu botol berwarna hijau berbahan kaca. Dalam posisi terduduk bersandar pada meja kerjanya. Menunduk. Terlihat begitu menyedihkan dengan rambut panjang hingga tengkuknya yang tak terawat.

Satu detik. Tangisannya masih normal. Dua detik, mulai meraung menyebut nama istri tercinta. Tak sadar melepas botol itu dari genggamannya, membuatnya jatuh berdebam.

Prank!

Pecah. Membuat isinya yang masih setengah tercecer di sekitar kakinya. Untung saja pecahan botol tak sampai mengenainya. Namun, cukup untuk memancing Derrel melakukan hal gila.

Derrel mengambil belahan botol tersebut, berniat menggoresnya pada lengannya. Masih dengan air mata membanjiri pipinya, bagian runcing dari pecahan itu siap merobek kulit putihnya. Namun, seperkian detik ia melempar kuat-kuat pecahan tersebut.

Ia tak sanggup, walaupun ingin. Yang bisa ia lakukan hanya menangis dan menangis. Meratapi kesedihannya.

Brak!

Tiba-tiba dari luar, pintu terbuka. Rusak sudah mesin pelindungnya.

Dari balik pintu, dua orang perempuan dan satu laki-laki mendekat. Dengan cepat laki-laki itu mencengkram lengan Derrel, menariknya untuk bangkit. Keluar dari apartemen tersebut. Dibantu dengan dua perempuan tadi. Dan Derrel saat itu dalam keadaan setengah sadar, direcoki rasa lemas akibat minuman beralkohol itu.

Setelah berhasil membawa Derrel keluar, ketiganya pergi mengantar Derrel kembali ke rumahnya.

●●●

"Apa dia tidak memikirkan anaknya?" tanya salah satu perempuan yang tadi membantu membawa Derrel pulang. Suaminya mengangkat bahu, tidak tau. Sementara perempuan yang lebih muda dari mereka menggeleng pelan.

Kini ketiganya berada di kamar Derrel. Sengaja menunggu teman seperjuangannya itu sadar dari pingsannya.

"Della, Airi nangis nih!" seru wanita baya yang kerepotan menggendong sang cucu.

"Oke, Ma, bentar ya," jawab perempuan bernama Adella itu, diangguki suaminya.

Adella dan wanita yang dipanggil mama itu beranjak dari sana. Menyisakan dua orang berbeda gender dan usia itu, menyaksikan Derrel yang pulas tertidur.

"Dian, kamu gak kuliah?" Gadis yang dipanggil Dian menoleh, lantas menggeleng pelan. "Kamu udah kabarin Maya?"

Dian menggeleng lagi, "Aku belum sempat kasih tau Kak Maya kondisinya Kak Derrel. Aku takut dia khawatir, apalagi sekarang dia lagi sibuk-sibuknya ngurus dua bayi."

Pria itu terdiam, tak lanjut bertanya. Ia juga mengerti. Namun, gadis di depannya itu kembali membuka suara. "Kak Ikam udah kabarin teman-temannya Kak Derrel?"

"Udah, Di. Cuma ya mereka lagi sibuk, gak bisa dateng. Kemarin Nendra juga mau ke sini, tapi kerjaan dia di LN gak bisa ditinggalin," jawab Ikam ikut menatap Derrel yang berbaring.

Keduanya sama-sama diam lagi. Bergelung dengan pikiran masing-masing. Hingga Derrel bergumam meminta air.

Dian dengan cekatan langsung memberi sang kakak gelas di atas nakas. Membantunya bangun. Gadis itu kembali menaruh gelas pada tempat tadi.

Derrel menghela napas pelan setelah melirik sekitarnya. Lagi-lagi ia terjebak di kamar ini. Entah kenapa sekarang ia benci berada di tempat ini.

"Kakak udah baikan?" Derrel bergumam, seraya menatap Ikam yang hanya diam saja di tempatnya.

"Dian, boleh keluar? Ada yang mau Kakak bicarakan berdua." Dian menoleh pada Ikam, ia mengangguk. Lantas berjalan keluar dari kamar itu.

Ikam mendekatkan kursinya. Tepat di samping ranjang Derrel.

"Lo mau ngomong apa?" tanya Derrel to the point.

Ikam berdehem pelan. "Gue mau balik ke Inggris. Lo mau ikut sama kita gak? Gue denger lo masih punya kerjaan di sana," ucapnya.

Derrel menatap sahabatnya itu datar. Merasa bahwa apakah ia pantas berbicara tentang pekerjaan di saat kesedihan melanda dirinya?

"Gue tau lo masih berduka, tapi kalau lo gak boleh terlalu terpuruk dalam luka itu. Apa lo gak kasihan sama Tita di atas sana? Dia pasti sedih," ujar Ikam membuat Derrel menggeleng.

"Oke, gue ikut. Lo jangan lanjut ceramah, gak mempan."

Ikam hanya tersenyum, ia memaklumi perkataan Derrel. Ia tak akan lanjut membujuk satu-dua hal lagi. Mengutarakan yang satu itu saja terasa susahnya.

"Oh iya, anak lo–"

"Lo yang urus."

Ikam menghela napas, tak bisa berkata apa-apa lagi jika sudah begini. Entah mengapa sejak hari itu, Derrel yang ia kenal berubah. Derrel yang punya jiwa hangat menghilang bagai ditelan bumi bersamaan dengan perginya Tita.

"Lo keluar. Gue mau sendiri."

Ikam mengangguk, beranjak dari duduknya. Sebelum keluar, ia berpesan, "Gue harap lo gak bodoh dalam menyikapi ini. Hidup lo masih panjang."

Setelah itu, Ikam menghilang di balik pintu. Meninggalkan Derrel yang mengatupkan rahang dengan kuat. 'Berbicara memang mudah.'

●●●



Bener kata Derrel, ngomong kadang memang mudah. But, ya ... :)

Jangan lupa tekan bintang di samping kanan ini ya^^

Kamu dan Kenangan✔(TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang