|6. Tirta Aldana Putra|

15 7 0
                                    

●●●

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

●●●

Hari ini, Ikam dan Adella ada urusan mendadak. Mereka hendak bertemu dengan teman lama di salah satu acara besar yang diadakan sekali dalam setahun. Mereka tidak dapat membawa Tirta ikut serta. Hanya bisa membawa Airi. Oleh karena itu, dengan permohonan yang teramat tulus, pasangan itu meminta Derrel untuk menjaga si kecil yang untungnya sedang tertidur pulas.

Kini Derrel tengah berada di kamar bayi yang sudah berumur 3 minggu itu. Ia mencoba menyibukkan membaca koran pada sofa yang tak jauh dari keranjang bayinya. Namun, lagi-lagi matanya mengarah pada keranjang yang terayun pelan tersebut. Pria itu mendecak, bangkit dari duduknya. Mendekat ke arah keranjang.

Derrel mengambil kursi di sebelah keranjang. Duduk di sana sambil memperhatikan bayi itu. Entah apa yang ia pikirkan, seolah bayi itu menyuruhnya untuk berada di dekatnya. Derrel mendecak lagi, ingin beranjak, tapi tidak tega saat melihat mata teduh itu tertutup rapat.

Ia menghela napas, melempar pandang ke segala arah. Tak ingin melihat wajah sang anak. Apapun, asal bukan wajah anaknya. Dalam hati ia selalu menolak bahwa anak itu memang mirip dengan ibunya. Ia tak mau mengakuinya. Itu menyakitkan, bagi dirinya yang merasa telah kehilangan setengah hidupnya.

Deg

Derrel tak sengaja melihat tulisan nama pemilik ranjang yang tertempel di bawah kaki bayi itu. Ada perasaan asing yang menyusup ke hatinya. Namun, ia tak tau apa itu. Ia membaca nama itu dalam hati.

Tirta Aldana Putra.

Derrel menggeleng saat membacanya. Ia ingat sekali nama itu. Nama yang Tita sematkan pada dua bulan masa kehamilannya. Entah siapa yang ia beritahu tentang nama itu, tentu selain dirinya. Bahkan sejak hari dikebumikan istrinya, Derrel tak pernah menengok bayi itu lagi. Lantas siapa yang memberikan nama itu?

Derrel menggeleng lagi. Cukup. Ia tak akan penasaran dengan hal itu. Lagipula anak di hadapannya ini tidak perlu memanggilnya ayah di masa depan nanti. Itu tak akan menyakitkan. Tak sebanding dengan saat anak itu merenggut nyawa ibunya sendiri.

"Ck, pikiran itu lagi," kesalnya.

Pria itu beranjak berdiri, lantas meninggalkan bayi itu sendirian. Tujuannya adalah kamarnya. Namun, baru akan memasuki pintu kamarnya, suara tangis bayi itu terdengar. Sangat besar, membuat ia mendecak sebal.

Mau tak mau, Derrel kembali ke ruangan tadi. Mengangkat tubuh bayi itu untuk kedua kalinya. Tentu saja yang pertama adalah saat mengadzankannya.

"Kau mau apa?" ketusnya bertanya pada bayi digendongannya. Konyol memang, akan tetapi bayi itu langsung terdiam saat botol dot diperlihatkan oleh Derrel.

Derrel ber-oh singkat. Lantas memberi sang anak dot berisi susu tersebut. Ia menggendong bayinya sambil memperhatikan cara makan si bayi tersebut.

Beberapa menit memberi makan si bayi, Derrel meletakkan kembali botol susu tersebut ke tempatnya. Dan hendak mengembalikan sang anak ke dalam keranjangnya, tapi anak itu menangis lagi. Membuat Derrel mendecak tak suka.

"Apa-apaan ini?" Ia merasakan sesuatu yang hangat di tangannya. "Hei, kenapa ... arghh!"

Bayi itu pipis, ternyata sedang tidak menggunakan pelindung sehingga menembus kain selimutnya.

Derrel yang tak tau harus bagaimana bergerutu panjang. Ia kesal tak bertanya pada Adella tadi jika bayi itu tidak mengenakan pelindung. Lupa juga bahwa dirinya tak bisa merawat bayi. Ia sedari dulu selalu menolak untuk mengurus anak sepupunya bersama sang istri jika dititipkan kepadanya. Bagaimana sekarang?

Derrel menaruh bayi itu di sofa. Sementara ia berlari mencari baju ganti untuk si bayi. Setelah dapat, ia segera menggantinya. Alhasil si bayi tak menangis lagi.

Derrel mengembuskan napas lega. "Cepatlah besar! Kau merepotkan sekali."

Ia berkata sembari menggendong anak itu. Mengembalikannya ke dalam keranjang. Lantas mengayunkan keranjang tersebut agar sang anak tertidur.

Tak butuh waktu lama, suara napas pelan nan lembut terdengar. Membuat Derrel tersenyum tipis.

Pria itu beranjak ke sofa. Hendak duduk meregangkan ototnya. Sayangnya, ia baru sadar bahwa lengan pakaiannya terkena bocoran dari si mungil. Membuatnya berlalu pergi ke kamar mandi. Tentu kamar mandi di kamarnya. Meninggalkan bayi itu yang sebenarnya terbangun lagi, tapi tetap diam karena keranjang yang masih terayun pelan.

Tanpa sang ayah tau, bahwa bayi laki-laki itu bisa menjadi peredam kesedihan yang selama ini ia ratapi. Hanya saja, mungkin kali ini bukan waktunya. Entah kapan waktu itu akan tiba. Boleh jadi melalui nama yang disematkan almarhumah sang ibu, hubungannya dengan Derrel bisa membaik. Atau bahkan menjadi keluarga kecil yang bahagia, walau tanpa adanya seorang ibu. Namun, kehidupan tiada yang tau. Selalu berputar. Kadang di bawah, kadang pula di atas. Dan kemungkinan saat ini, kehidupan keduanya sedang berada di bawah. Masa-masa sulit untuk menerima semua hal menyakitkan itu.

●●●






Derrel hanya belum tau. Mungkin belum saatnya.

Jangan lupa tekan bintang di kiri ini yaw^^

Duh, lupa, happy reading😃

Kamu dan Kenangan✔(TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang