|14. Permintaan Mama|

8 4 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





Usai makan malam di kamarnya, Derrel kedatangan Raina. Pria itu mengernyit, heran melihat sang mama yang duduk di depannya. Sebelum sempat bertanya, Raina lebih dulu memanggil namanya. Menjelaskan tujuan kedatangannya, dengan selembar kertas di tangannya.

“Setelah melihat ini, Mama pengin kamu punya tanggapan yang berbeda mengenai Tirta,” ucapnya sembari menyodorkan kertas yang dibawanya kepada Derrel.

Derrel mengambil kertas tersebut, melihat isinya yang penuh dengan tinta berwarna-warni. Pun dengan ketiga sosok yang diberi keterangan ‘bunda, aku, dan ayah’. Derrel beralih menatap sang mama, meminta penjelasan atas gambar tersebut.

Raina mendongak. Melihat langit-langit ruangan guna menahan cairan bening pada pelupuk matanya tak keluar. Lantas balas menatap Derrel, “Itu gambaran Tirta, dia bilang kangen sama bundanya, juga pengin dipeluk ayahnya.”

Derrel tak menanggapi, ia menunggu sang mama melanjutkan.

“Apa kamu gak ada niatan buat perlakuin Tirta sebagaimana mestinya? Dia masih kecil, Rel, izinin dia buat tau rasanya punya ayah yang sayang sama dia. Apa kamu gak kasihan sama dia?”
Derrel menghela napas, akhirnya sampai pula ia pada obrolan seperti ini. Terakhir, dirinya selalu menolak. Walau tetap memenuhi kebutuhan sang anak, tetapi tam pernah terbesit sedikitpun untuk dekat dengannya.

“Rel,” panggil Raina membuat Derrel menoleh. “Kamu tau gak saat umurmu lima tahun?”

Derrel meggeleng, ia tak ingat. Saat itu dirinya masih terlalu kecil untuk memahami sesuatu.

“Kamu masih merengek meminta dibelikan mainan, bahkan sering menghabiskan waktu di taman belakang sampai sore. Sampai lupa makan, lupa mandi, lupa tidur siang.” Raina menerawang jauh, seolah sedang menarik ingatan masa lampau tersebut.

“Tapi kami tidak marah. Karena bagi kami, kebahagiaan masa-masa kecil seperti itu patut kamu rasakan. Tidak ada kekangan, melainkan pembimbingan dan pendidikan. Dan melihat kamu sudah besar sekarang pun masih terlihat seperti anak kecil di mata Mama. You are my little boy. Selalu.”

Derrel bergeming, masih berusaha mencerna kalimat sang mama. Berbeda dengan wanita itu yang kemudian melanjutkan, “You know? Tirta masih lima tahun, Rel, maka sepantasnya kamu menjadi orang tua bagi dia. Tirta butuh lebih dari sekedar materi, dia butuh cinta dan kasih sayang dari orang tuanya. Tentu sebagai single parent, kamu bisa memberi dia dua kali lipat cinta dan sayang. Karena bagi anak-anak, perhatian orang tuanya adalah yang terbaik.”

“Mama ingin aku melakukan sesuatu?” Raina mengangguk, memang ada yang ia inginkan. “Apa?”

“Mama punya permintaan. Mama pengin lihat kamu sama Tirta sebagai sepasang orang tua dan anak yang bahagia. Mama tau ini berat, tapi Mama mohon sama kamu, pikirkan Tirta. Dia anak kamu dan Tita. Dan pasti Tita ingin yang terbaik untuk anaknya.” Raina menyatukan kedua tangannya di depan dada. Membuat Derrel sedikit tersentak. Buru-buru ia maju, menggenggam tangan sang mama.

“Oke, aku bakal lakuin hal yang Mama mau, tapi aku gak melakukannya karena benar-benar niat. Ini hanya sebatas formalitas, yang kebetulan adalah permintaan Mama sendiri. Tapi aku gak bakal ada 24/7 untuk anak itu,” ujarnya berhasil membuat sang mama mengulas senyum senangnya.

“Mama yakin, Rel, kenyamanan akan tumbuh seiring kalian bersama. Terima kasih, Rel,” ucap Raina masih dengan senyumannya.

“Ada lagi yang mau Mama sampaikan?” tanya Derrel melihat mamanya kembali duduk.

“Em, mulai besok ya. Tirta ada acara di sekolahnya, orang tua wajib datang. Dan ini acara yang penting banget buat Tirta. Mama harap–“

“Iya Ma, nanti aku temenin anak itu. Sekarang aku mau istirahat.”
Setelah mengatakan itu, Raina mengangguk. Lantas keluar dari kamar Derrel, membiarkan sang anak beristirahat agar besok bisa menemani Tirta ke sekolah.

Derrel  membuka matanya kembali, tak jadi tidur. Pikirannya penuh dengan kalimat permintaan sang mama. Pria itu menghela napas lagi, entah sudah berapa kali. Tak terhitung. Sembari memikirkan hal yang besok pagi harus ia lakukan.

Jujur saja, selama Tirta ada di dekatnya, ia tak pernah sekalipun memanggil nama anak itu. Bahkan untuk mengajarinya sesuatu saja, ia menyerahkannya pada Ikam dan mamanya. Sehingga anak itu sekarang tau-tau sudah bisa berbicara fasih, tak seperti tiga tahun yang lalu.
Derrel menatap langit-langit kamar, mengingat-ingat apa saja yang bisa dilakukan orang tua kepada anaknya dan sebaliknya. Namun, berapa kalipun ia berpikir, tak pernah terlintas untuk mencoba menyayangi anak itu.

“Ck, merepotkan!”

Pria itu bangkit dari pembaringannya, lantas melangkah menuju meja kerjanya. Mulai menyalakan layar monitor. Mencari sesuatu yang sejak tadi ia pikirkan. Kemudian membaca dalam hati setiap kalimat yang tertera pada layar. Wajahnya terlihat serius pada data pencarian yang tepat sesuai keinginannya.

“Cara berinteraksi normal dengan anak kecil,” ucapnya membaca kalimat di hadapannya.

•••





Wah, apakah hati Derrel mulai terbuka untuk Tirta?

Kamu dan Kenangan✔(TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang