|9. Sekat Yang Tak Terlihat|

5 6 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Setelah mengantarkan Airi, Derrel kembali melajukan mobilnya menuju sebuah restoran ternama. Memarkirkan mobilnya di tempat biasanya, lalu menyuruh Tirta untuk turun. Berjalan lebih dulu memasuki restoran mewah tersebut. Membuat kaki kecil itu berlari kecil mengejar langkahnya.

"Duduk."

Tirta duduk di hadapan sang ayah. Pria itu sedari tadi tak menunjukkan sikap ramah-tamah. Wajah datar terlalu mendominasi. Bahkan tersenyum pun tidak.

"Saya mau makan dulu, kita bicara setelahnya. Kamu mau makan apa?" Derrel menyela saat Tirta hendak membuka mulut, bertanya tentang pembicaraan mereka. Membuatnya beralih menyebutkan pesanan.

Setelah memesan, Derrel sibuk pada gadget-nya. Membiarkan Tirta leluasa memperhatikan interior restoran tersebut.

Tak lama, pesanan keduanya pun datang. Derrel selalu memesan steak di restoran mana pun, lengkap dengan segelas wine. Semenjak kematian Tita, pria itu rajin mengkonsumsi minuman beralkohol. Setiap tengah malam, ia akan meminum minuman beralkohol tersebut. Entah sebagai pelepas penat atau obat tidurnya yang mana akhir-akhir ini memimpikan hal-hal buruk yang pernah terjadi di masa lalu.

Denting pisau tak terdengar lagi begitu irisan daging terakhir masuk ke dalam rongga mulutnya. Begitupula dengan Tirta yang sudah selesai dengan spaghetti-nya.

Derrel meneguk minuman pahit itu dengan sekali tegukan. Lantas tersenyum miring karena rasanya sama dengan kehidupannya yang demikian.

"Ayah," panggil Tirta pelan.
Pria itu melirik sekilas, sembari meletakkan gelas bekas wine itu ke atas meja. Balas menatap Tirta yang ketakutan melihat dirinya yang tak menampilkan ekspresi apapun.

"Langsung saja, apa kamu ingin ikut ke Indonesia?" Tirta mengangguk pelan, kembali menunduk takut.

"Kalau begitu, hari ini bereskan semua barangmu. Bawa yang perlu saja."

Setelah mengatakan itu, Derrel bangkit dari duduknya. Membuat Tirta yang masih terkejut segera mengikuti. Berlari kecil lagi mengejar langkah besar sang ayah. Namun, sepertinya kali itu bukan keberuntungan Tirta. Bocah laki-laki itu tersandung kaki sendiri, sehingga jatuh mencium lantai keramik.

Tirta meringis, sambil bangkit dari posisinya. Sempat menatap sekitarnya yang terlihat sibuk dengan aktivitas masing-masing. Bahkan punggung sang ayah mulai menjauh. Ia terduduk sambil memegangi lututnya yang tergores. Hendak mengeluarkan air matanya, tetapi sebuah tangan menarik lengannya.

"Merepotkan sekali," desis Derrel melepaskan tangannya dari lengan Tirta. Membuat anak itu tersenyum tipis, saking tipisnya tak ada yang tau jika ia sedang tersenyum.

Tirta kembali mengikuti sang ayah yang sudah lebih dulu masuk ke mobil. Dengan langkah terseok, Tirta membuka pintu mobil dengan susah payah. Begitu terbuka, ia segera masuk. Tak ingin membuat sang ayah menunggu.

Derrel melirik sang anak dari kaca spion depan. Berdecak pelan. Tak ingin membuang waktu untuk menyiapkan  barang-barang yang perlu dibawa. Ia menginjak gas, segera setelahnya membelah jalanan kota.

•••

Malamnya, Tirta sudah selesai membereskan semua keperluan yang ia akan ia bawa esok pagi. Bersiap hendak tidur, seseorang bersandar pada bingkai pintu kamarnya. Bersedekap dada menatap Tirta yang mengernyit heran.

"Airi mau nangis?" tanya Tirta polos. Membuat gadis kecil itu menggeleng pelan, sembari mendekat ke arah Tirta. Memeluk sang sepupu dengan erat.

"Airi kalau mau nangisin Tirta gak apa-apa. Lagian Tirta jarang lihat Airi nangis," ucap Tirta yang seketika itu juga si gadis kecil merengek keras. Mengeluarkan suara tangisnya sekencang yang ia bisa. Membuat Tirta menggaruk kepala yang tak gatal.

Masih dalam keadaan terisak, gadis kecil itu berusaha berbicara. "Ai hiks Ai ... Ai gak mau Tirta pergi, tap-tapi Papi bilang ini yang terbaik buat Tirta. Ai hiks ... pasti akan tetap doain Tirta supaya cepat baikan sama Oom Derrel, Ai yakin pasti Tirta bisa buat Oom datar itu senyumin Tirta," ujar Airi panjang.

Tirta tersenyum, kali ini ia memeluk Airi. Menenangkan sang sepupu agar tidak sedih lagi. Memang Airi ini jika menangis maka akan memenuhi seluruh ruangan. Untung saja Ikam dan Adella sedang tidak di rumah, jika ada ... habislah Tirta dicerca berbagai pertanyaan. Berbeda dengan Derrel. Walaupun ada di rumah mendengar salah satu anak itu menangis, ia tidak akan pernah peduli.

Tirta melepas pelukannya setelah menepuk-nepuk pelan punggung Airi. Gadis kecil itu pun sudah berhenti menangis, hanya saja masih terdengar sesenggukan.

"Udah ya, Ai, sekarang kita tidur. Besok pagi-pagi, Tirta harus ikut ayah."

Airi mengangguk, sambil mengusap matanya yang sembab, ia berjalan keluar kembali menuju kamarnya. Membiarkan Tirta mulai beristirahat.
Setelah Airi pergi, bocah laki-laki itu menangis. Mengingat sulitnya untuk mendekati sang ayah. Seolah ada sekat besar di antara keduanya.

Tirta beranjak naik ke atas ranjang setelah menghapus air matanya. Sebelum tidur, ia selalu menyempatkan mengucapkan 'selamat malam' pada sosok sang bunda yang tersenyum manis dalam bingkai itu.

"Selamat malam, Bunda. Tirta kangen, kapan-kapan kita ketemu ya, Bunda," ucapnya sambil tersenyum.

Tanpa ia sadari, sedari tadi di balik pintu yang terbuka sedikit itu, seseorang tengah memperhatikannya. Seseorang itu menggigit bibirnya, menahan diri untuk tak menangis lagi.


•••








Sakit memang, tapi ... ya sudahlah.

Kamu dan Kenangan✔(TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang