|15. Pertunjukan Yang Mengagumkan|

16 4 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





Kini Derrel dan Tirta tengah menuju perjalanan ke sekolah. Hening mendominasi keduanya. Terlihat fokus pada kegiatan masing-masing. Derrel sibuk menyetir, sedangkan Tirta sibuk memeriksa isi tasnya.

Mobil berhenti saat sampai di perempatan jalan. Lampu lalu lintas berwarna merah menyala. Di sekitarnya terdapat dua orang anak kecil yang tengah berlari ke arah kendaraan terdekat. Mengencreng tutup botol yang disulap menjadi alat musik dengan ganggang kayu. Lengkap dengan kaleng bekas tanpa tutup yang dibawa anak satunya.

Derrel menyaksikan itu, kemudian beralih melirik spion di depannya. Melihat Tirta juga memperhatikan kedua anak tersebut. Bibir bocah itu tersenyum tipis, tetapi Derrel tidak merasakan kesenangan dalam senyum sang anak. Atau mungkin itu berupa senyum getir?

Derrel melengos, berharap tak tertarik. Kembali menatap depan sepenuhnya. Mulai melajukan mobil lagi setelah lampu hijau menyala. Mengabaikan tanda tanya yang menyeruak di hatinya. Memilih menginjak gas lebih kencang agar cepat sampai di sekolah sang anak.

Setelah melewati perempatan tadi, tak lama gedung berlantai 4 itu terlihat dari kejauhan. Menyapa pasangan ayah dan anak itu mendekat ke bibir gerbang. Membawa mobil masuk ke halamannya yang luas.

Derrel mematikan mesin. Membuka sabuk pengamannya tanpa menoleh ke arah Tirta. "Sebaiknya kamu bergegas."

Tirta mengangguk. Bocah laki-laki itu sudah siap dengan tas punggungnya. Ia membuka sabuk pengaman, lantas setelahnya turun dari mobil bersamaan dengan sang ayah.

"Ikuti aku, Ayah!" serunya seraya melangkah menuntun langkah ayahnya untuk sampai di aula pertemuan.

Hari ini adalah acara pertemuan para wali murid yang dirangkai dengan acara pentas karya seni dan sastra. Acara tersebut ditentukan secara acak, akan tetapi sebelumnya telah melalui pengambilan lot untuk para siswa. Di mana isi lot tersebut adalah jenis pentas seni ataupun sastra yang akan ditampilkan pada acara tersebut. Namun, untuk temanya akan ditentukan saat nama siswa yang bersangkutan dipanggil. Sehingga siswa diharapkan bersiap dengan segala kemungkinan tema yang akan ditentukan nanti. Dalam hal ini, Tirta mendapat pentas membacakan puisi dengan tema yang belum ditentukan.

Acara pun dimulai setelah para hadirin duduk di tempat yang telah disediakan. Wanita di depan lengkap dengan mic di tangannya berseru menyapa para wali murid yang hadir. Lalu mengiring pembukaan dengan doa dan pembacaan susunan acara.

Wanita yang bertugas sebagai MC itu lantas menyebutkan acara pertama, yaitu penampilan dari siswa yang mengambil pentas membaca puisi. Kurang lebih ada delapan siswa yang dipanggil maju ke depan. Termasuk Tirta yang sudah siap dengan puisi buatannya.

Bocah laki-laki itu sedari tadi berharap mendapatkan tema tentang 'ayah'. Karena puisi yang ia buat ini khusus untuk Derrel. Ia ingin mengungkapkan segala perasaan cintanya pada ayahnya. Ia juga ingin agar ayahnya tau seberapa besar cinta dan sayang dirinya pada sang ayah.

Tirta di atas panggung tersenyum, mencoba meminimalisir kegugupannya. Menyapu pandang ke segala penjuru ruangan, hingga pandangannya bertemu dengan Derrel yang juga menatapnya. Anak itu tersenyum sekali lagi, seolah memberitahu ayahnya bahwa ia bisa.

"Baik, untuk peserta pertama yang dipanggil silakan maju ke podium," ucap MC mempersilakan anak perempuan berkepang itu maju ke depan. "Nah, Nak, sini ambil lot dulu untuk temanya," lanjutnya sembari menyodorkan box berwarna biru di tangannya.

Anak perempuan ber-name tag Jihan Ananta itu mulai memilih lot. Mengambil satu bola berwarna merah. Ia menunjukkan bola tersebut ke arah MC.

"Wah, Jihan mendapat tema 'ayah' lagi pada acara tahun ini." Seruan itu membuat Tirta cemas. Setidaknya hanya ada dua bola lagi yang berisi tema tentang 'ayah'.

Jihan mulai membaca puisi buatannya. Anak perempuan itu fokus menghadap kursi di ujung ruangan. Menatap seseorang yang tersenyum kepadanya.

Hal itu tak lepas dari pandangan Tirta. Ia kembali menghela napas. Sedikit tau bahwa ternyata teman sebayanya itu memiliki keluarga yang lengkap.

MC berseru heboh ketika Jihan menyelesaikan puisinya. Seluruh penjuru aula bertepuk tangan, ikut senang dengan keberhasilan Jihan dalam membawakan puisi untuk ayahnya. Berbeda dengan Tirta yang mulai gugup karena kini gilirannya.

"Baiklah, kita beralih ke peserta selanjutnya. Ini dia murid baru kita pindahan dari Inggris, Tirta Aldana Putra!" Suara tepuk tangan kembali riuh, menyambut Tirta yang mengambil lot.

Tirta mendapat bola berwarna kuning. Dengan degup jantung yang tak karuan, bocah laki-laki itu mengarahkan tulisan pada bola kepada MC.

"Ya! Tirta mendapat tema puisi tentang 'ibu', silakan dimulai, Nak," ucap MC itu mempersilakan.

Tirta bergeming. Menatap lurus Derrel yang juga sama terkejutnya. Pria itu mengeraskan rahangnya, hendak berdiri maju. Namun,  suara Tirta yang terbata membuatnya mematung.

"I-ibu."

Kata itu yang diulang Tirta sampai tiga kali. Membuat seluruh ruangan menjadi hening.

"Engkau bagai bumi bagiku."

Suaranya terdengar parau. Seakan menahan isakan agar tak lolos dari bibir mungilnya.

"Tujuan berlari di kala gundah,
Tujuan pulang di saat asa tercerai,

"Ibu,
Pun bagai matahari dalam hidupku,
Menghangatkan raga yang dingin karena kesepian.

"Ibu,
Nun jauh di sana,
Harapku bahagia untukmu,
Serta memeluk rindu dari anakmu."

Tirta memperbaiki kacamatanya yang merosot, sembari menghapus jejak air mata di pipinya. Menatap sang ayah yang masih bergeming.

Seperkian detik, penonton yang hanyut dalam bacaan puisi Tirta mulai bertepuk tangan. Riuh. Ikut mengusap sudut mata yang berair. Bahkan MC pun sampai berlari ke pinggir panggung guna mengelap sisa air matanya.

Hari itu, Derrel sadar bahwa anaknya mengagumkan. Benar-benar duplikat sang istri.

•••

Kamu dan Kenangan✔(TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang