|20. Kekuatan Doa|

21 2 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.









"Assalamualaikum warah matullah ..."

Derrel memperbaiki posisi duduknya setelah salam. Mengikuti imam di depan sana yang mulai berzikir. Khusyuk sekali sampai tak sadar dirinya menangis tanpa suara. Bahunya bergetar, seraya terus melafazkan kalimat tahlil. Dilanjutkan dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh sang imam.

Usai doa itu, jamaah yang hadir bangkit dan bersalam-salaman dengan imam. Hanya Derrel yang masih menunduk.

"Pak Ustadz, dia kenapa?" Seorang jamaah bertanya ketika melihat Derrel masih setia pada posisinya.

"Tidak apa-apa, dia hanya berzikir. Mari biarkan dia fokus," jawab Ustadz itu, mengajak jamaah tadi untuk keluar.

Derrel selesai dengan kalimat tahlilnya. Kini ia mengangkat tangannya, tatapannya jauh ke arah ventilasi di atas mimbar. Mulai mendengungkan doa.

"Ya Allah, hamba mohon ampuni segala dosa hamba. Ya Allah, hamba mohon ampun segala dosa kedua orang tua hamba, dosa seluruh keluarga hamba, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Ya Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, hamba mohon kabulkan doa hamba. Sembuhkanlah anak hamba, jangan ambil anak hamba Ya Allah. Hamba tidak sanggup hidup sendirian, cukup kehilangan istri hamba yang buat hamba lupa arah. Hamba mohon Ya Allah, kabulkanlah doa hamba, hamba ingin menepati janji hamba Ya Allah. Janji hamba kepada istri hamba di sana. Hamba mohon Ya Allah ... hamba mohon ...."

"Dan semoga Engkau menempatkan istri hamba di sisi-Mu Ya Allah. Di tempat hamba-hamba-Mu yang bertakwa. Aamiin."

Derrel meraup wajahnya. Kemudian menghapus sisa air mata di pipinya. Entah mengapa merasa lega setelah berdoa. Setelahnya, pria itu beranjak keluar dari mushola.

Di depan mushola, Ustadz tadi menyapanya. Membuat Derrel tersenyum sopan.

"Ambil untukmu, Nak," ujar Ustadz itu memberikan nasi kotak di tangannya kepada Derrel.

"Untuk saya, Pak Ustadz?" tanyanya sambil menunjuk dirinya.

Ustadz itu mengangguk, "Kamu harus sarapan untuk bisa menjaga anakmu. Jaga kesehatan itu perlu, Nak."

Derrel tersenyum lagi, lantas menerima uluran tersebut. "Terima kasih, Pak Ustadz," ucapnya tulus.

"Berterima kasihlah selalu pada Allah, saya hanya perantara, Nak. Dan ya, semoga anakmu lekas sembuh," kata Ustadz itu lagi membuat Derrel kembali mengucapkan terima kasih.

"Kalau begitu saya pamit, Pak Ustadz." Ustadz itu mengangguk, tersenyum melihat punggung Derrel yang menjauh.

"Mudahkanlah urusannya, Ya Allah."

***


Kini Derrel sudah berada di ruangan sang anak. Seperti sebelum-sebelumnya, anak itu masih betah menutup matanya. Membuat Derrel mengeluh tertahan.

"Tirta ... kapan bangun, Nak? Apa gak rindu sama Ayah?"

Derrel menggenggam tangan mungil itu. "Kamu sedang mimpi apa, Nak? Apa kamu sedang bertemu bunda?"

Baru Derrel akan melanjutkan, Tirta lebih dulu bergerak. Gerakan yang membuat Derrel panik. Anak itu kejang-kejang.

Pria itu memencet tombol, "Dokter! Dokter!"

Entah dari mana, dokter yang dipanggil  membuka pintu dengan cepat. Berlari kecil mendekat.

Derrel diminta untuk keluar, agar tidak menganggu fokus sang dokter. Mau tak mau Derrel menunggu di luar lorong.

Pria itu seolah merasakan dejavu. Padahal itu sudah lima tahun yang lalu dirinya menanti anak pertamanya lahir. Sekarang ia tau bahwa sang anak adalah anugerah terindah yang Tuhan titipkan untuknya. Maka dengan sangat ia memohonkan agar Tuhan mengabulkan doanya.

Dokter tadi keluar bersama dua perawat. Membuat Derrel bangkit dari duduknya.

"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?"

"Kondisinya stabil, Pak, tidak seperti sebelumnya. Ada hal yang tidak bisa saya jelaskan secara akal sehat."

Derrel mengernyit, meminta penjelasan.

"Sebelumnya akibat kecelakaan itu, ada bagian yang bengkak di lengan kirinya. Namun, setelah saya periksa tadi, anak Bapak baik-baik saja. Tinggal menunggu waktu saja untuk dia sadar," jelas Dokter itu.

Derrel mengangguk, tidak mendesak lagi untuk dijelaskan lebih rinci.

"Kalau begitu kami pamit dulu," ucap Dokter itu lagi berlalu dari sana diikuti kedua perawat tadi.

Derrel lantas masuk ke ruangan sang anak. Kembali duduk di samping brankar. Menatap lega sang anak masih bernapas lancar. Tidak seperti tadi.

"Tirta, maafin Ayah. Kalau kamu bangun, Ayah janji bakal menyayangi Tirta sepenuh hati. Kamu mau bangun kan, Nak?"

Lagi. Dengungan AC menjawab pertanyaan Derrel. Sepanjang apapun kalimat tanyanya, bibir mungil itu tak kunjung terbuka untuk menjawab.

Derrel tersenyum tipis, menggeleng pelan. Bergumam tidak apa-apa berulang kali. Ia siap menunggu kapanpun sang anak bangun dari tidurnya. Karena ia tidak ingin menyesal untuk kedua kalinya.

Derrel tak bersua lagi. Memilih memandangi Tirta. Seolah menghafal setiap inci kesamaan sang anak dengan istrinya.

Ketika sedang fokus memandangi wajah sang anak, tiba-tiba jemari kecil itu bergerak. Membuat Derrel melompat dari kursinya. Mengamati jemari-jemari itu. Lantas melihat sang anak mulai membuka matanya. Setelah mengerjap pelan, anak itu menatap Derrel yang juga menatapnya.

"Tirta!"

"Ayah," panggilnya pelan sambil mengulas senyum.

***


—Fin—

Kamu dan Kenangan✔(TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang