Chapter 12

78 17 8
                                    

Lampu di depan pintu depan otomatis menyala ketika Baekhyun membuka pintu apartemennya. Ia memiringkan tubuhnya untuk membiarkan Danbi masuk lebih dulu. "Selamat datang di gubuk hamba yang sederhana, Tuan Putri."

Danbi tertawa, agak gugup. Setelah satu bulan lebih tinggal di rumah Chanyeol yang notabene adalah orang asing, seharusnya tidak ada bedanya dengan masuk ke apartemen Baekhyun yang praktis sama asingnya. Tapi, tetap saja ia gugup. "Terima kasih, Rakyat Budiman," balasnya bergurau.

Sebagai salah satu gedung pencakar langit di kompleks apartemen elite Apgujeong, "gubuk yang sederhana" sama sekali tidak cocok dengan apartemen Baekhyun yang berada di lantai tiga puluh enam. Sofa dan perabotannya didominasi warna putih dan pastel di bawah lampu yang hangat. Tirai satin yang berwarna gading dibiarkan terbuka, sehingga kaca jendela yang menghadap arah Sungai Han menunjukkan pemandangan langit malam gulita dan kota yang berkelap-kelip di bawahnya.

Danbi meletakkan kantong kertas belanjaannya di sebelah sofa. Ia sempat berpikir apartemen Baekhyun akan dipenuhi potret diri—mengingat pekerjaan Baekhyun adalah model—tapi hampir tidak ada satu pun foto maupun cermin sepanjang matanya memandang. Apartemen itu tampak bersih dan baru, tapi juga sepi.

"Aku jarang berada di rumah," kata Baekhyun tanpa ditanya. "Kalaupun di rumah, aku lebih banyak tidur. Jadi apartemenku tidak berantakan."

"Kau tidak punya saudara?" tanya Danbi, merujuk pada absennya foto diri maupun keluarga di sekitarnya.

"Ada satu kakak laki-laki. Dia tinggal di Kanada sejak kuliah," kata Baekhyun. "Umur kami berbeda cukup jauh, jadi kami tidak begitu akrab."

"Orangtuamu juga tinggal di sana?"

Baekhyun mengangguk. "Mereka ikut pindah beberapa tahun yang lalu."

"Kenapa kau tidak ikut juga?"

"Supaya aku bisa bertemu denganmu, tentu saja," jawab Baekhyun ringan. "Aku lapar. Ayo masak ramyeon-nya."

Danbi menyengir sambil mengikuti Baekhyun ke arah dapurnya ketika ia teringat sesuatu. Langkahnya terhenti sejenak. "Oh, sebentar."

Baekhyun menoleh, melihat Danbi merogoh-rogoh tas tangan. "Ada apa?"

"Aku lupa ini hari Jumat," kata Danbi. "Chanyeol-ssi pasti sedang siaran."

Sebelum ibu jari Danbi menyentuh aplikasi radio, sebuah tangan menutup layarnya. Ia mendongak untuk menemukan Baekhyun yang menunduk padanya. "Aku tidak mau mendengar ocehannya di sini," katanya.

"Aku akan pakai earphone," balas Danbi.

"Aku tidak mau kau mendengar ocehannya di tempatku," ralat Baekhyun. "Kau tidak akan mati karena tidak melewatkan satu kali siarannya."

"Tapi—"

Baekhyun memotong kata-katanya, "Bukankah kau mau membuatku bahagia? Aku akan bahagia kalau kau melewatkan siarannya kali ini."

Danbi menghela napas kalah. "Baiklah," katanya. "Aku mengirim pesan dulu pada temanku. Tunggu sebentar."

"Memangnya kau punya teman?" komentar Baekhyun sambil berbalik kembali ke arah dapurnya. Laki-laki itu tidak menunggu jawaban, jadi Danbi juga tidak mengaku kalau sebenarnya ia mengirim pesan pada Chanyeol. Walaupun, sebenarnya ia merasa Baekhyun mungkin sudah tahu dan memilih tidak mendesaknya.

Setelah mengirim pesan singkat itu, Danbi menyimpan kembali ponselnya ke tas dan meninggalkan tas itu di sofa sebelum menyusul Baekhyun. "Ah, aku juga lapar," katanya sambil menepuk-nepuk perut. "Apa kau sudah memasak nasi? Biar kubantu."


***


Mendadak hujan deras turun tepat ketika Chanyeol mengemudikan mobilnya memasuki jalan raya. Butir-butir besar air menampar kaca depan dan atap mobilnya, memaksanya memelankan laju kendaraan. Lalu lintas lazimnya sudah sepi menjelang tengah malam, tapi entah kenapa para pengemudi tampaknya memilih tepat saat ini, saat Chanyeol sedang terburu-buru, untuk memadati jalan dan menghambatnya.

Pretty GhostwriterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang