SATU – Tempat Bersejarah untuk Mereka yang Hampir Menyerah
"Kamu habis dari makamnya Maya, Mas?"
"Iya, Ma."
"Udah di mana sekarang?"
"Di jalan pulang," jawab Bima dengan helaan napas panjang di akhir kalimatnya. "Aku nggak sampai malam kok di sana."
"Hmmm."
Gumaman itu menandakan masih adanya kekhawatiran di suara sang ibu, tapi Bima memilih untuk tidak memperpanjang percakapan tersebut. "Aku matiin dulu kalau gitu teleponnya ya, Ma."
Setelah jawaban iya diterima dari ibunya, Bima menyudahi percakapan itu. Hari ini seharusnya jadi hari ulang tahun kekasihnya, Maya. Tapi karena Maya telah meninggal, tentu Maya tidak bisa merayakannya lagi.
Karena jatah hidupnya sudah habis. Sudah tak ada lagi lilin yang harus Maya tiup.
Mengingat hal itu membuat Bima menggeram pelan. Rasanya selalu sakit saat ia mengingat perempuan yang tangannya tak bisa ia genggam lagi itu.
"Pak, Pak, berhenti di sini aja, Pak." Rasa sesak itu mendorong Bima untuk meminta kepada sopir taksi yang mengantarnya pulang, supaya berhenti saat itu juga.
"Lho, udah sampai di tujuannya, Pak?" Sang sopir tentu saja kebingungan. "Katanya tadi masih tiga belokan tadi."
"Iya," jawab Bima cepat. "Di sini aja, Pak."
Taksi berhenti di depan sebuah rumah dan Bima mengulurkan uang kepada sang sopir untuk ongkosnya hari ini. Taksi biru muda itu segera berlalu dari hadapan Bima begitu ia keluar.
Rasanya menyegarkan saat angin sepoi sore itu menampar pelan wajah Bima. Lelaki dengan tinggi 180 cm dan mengenakan pakaian kerjanya—setelan celana jeans dan kemeja yang sudah kusut yang juga dipadupadankan dengan sneakers itu, menghirup udara dalam-dalam.
Sekuat tenaga, Bima berusaha meminimalisir rasa sesak itu. Saat dadanya tak seberat tadi, barulah Bima menoleh ke sekitar dan mendapati kalau dirinya benar-benar bukan di rumahnya, tapi di depan sebuah rumah dengan neon box bertuliskan Rumah Komiko.
"Rumah Komiko?" Bima mengamati neon box yang menggantung di depan sebuah rumah berlantai dua dengan cat salem dan pagar hitam, yang tadi ia belakangi.
Di bawah tulisan Rumah Komiko, terdapat sebaris kata yang dituliskan dengan huruf yang lebih kecil.
Rumah Komiko!
Sewa komik dan novel di sini!
"Oh...." Bima menggumam secara spontan. Ia ingat akan tempat ini. Dulu saat masih kuliah, BIma dan Maya sering pacaran di sini.
Bima maniak komik, Maya maniak novel. Tempat yang dulu ramai saat Bima masih SD hingga SMA ini, akhirnya jadi tempat pacaran Bima dan Maya. Bima baru berhenti berkunjung ke sini ketika kondisi Maya sudah tidak memungkinkan lagi, juga saat tempat ini hanya buka di akhir pekan.
Karena kenangan yang tiba-tiba melintas, Bima pun mendekat pada pagar rumah tersebut. Bima juga ingat kalau ruang baca milik penyewaan komik dan novel itu adalah sebuah bangunan yang agak kecil dan terpisah dari rumah utama. Seperti sebuah paviliun, tapi letaknya tak jauh dari depan rumah utama.
Selain dengan bangunan utama, Rumah Komiko juga berhadapan langsung dengan taman kecil yang kini tidak terlalu terawat. Pintu kacanya terlihat dari pagar, ada papan bertuliskan OPEN yang menggantung di tengah-tengah pintu.

KAMU SEDANG MEMBACA
[SELESAI] Tuan dan Nona Kesepian
Lãng mạn[SELESAI] "Ada yang bilang kalau orang seperti kamu adalah dia yang cintanya sudah habis untuk orang lama, Bim." "Ada juga yang bilang kalau orang seperti kamu adalah dia yang jiwanya udah mati tapi fisiknya masih hidup. Apakah kamu memang begitu, D...