ENAM – Kepindahan untuk Perbaikan Hati yang Patah
Seumur-umur, Dru tidak pernah mengalami kepindahan. Baik itu pindah rumah, sekolah, kampus, dan bahkan kantor. Kantor di mana Dru bekerja sekarang adalah kantor pertama tempatnya menjadi pekerja purnawaktu.
Jadi saat ia dihadapkan pada momen pindah rumah seperti ini, Dru sedikit gugup dan cemas.
"Kamu kelihatan happy-happy aja mau pindah gini, Tara."
Tara, adik perempuan Dru, tersenyum sambil mengangguk-angguk setelah mendengar komentar Dru. Adik Dru yang jauh lebih tinggi daripada dirinya itu, tengah berdiri di samping Dru sambil mengawasi para pekerja yang membantu mereka untuk memindahkan barang-barang ke rumah baru.
"Katanya pindah itu menguras energi yang cukup besar—mentally and physically," timpal Tara. "Tapi pindahjuga bisa jadi pertanda hidup baru. Jadi... kupikir nggak apa-apa pindah. Jangan tegang begitu dong, Mbak," bujuk Tara lagi kepada Dru.
"Kuharap juga begitu," balas Dru pada adiknya.
Kali ini Tara merangkul tubuh Dru dengan erat dan mengusap lengan atasnya berkali-kali. "Aku tahu pindah itu bukan sesuatu yang mudah. Tapi tenang aja, Mbak, Mbak kan nggak ngehadapin ini semua sendirian. Kita bakal beradaptasi bareng-bareng di rumah baru."
Dru akhirnya tersenyum dan mengembuskan napasnya, mencoba mengurangi ketegangan yang sejak tadi ia rasakan. Apalagi saat truk untuk membawa sisa-sisa barang mereka tiba di depan rumah, ada keinginan di dalam diri Dru untuk menghentikan truk tersebut supaya tidak membawa barang-barangnya. Namun, siapa pun tahu hal itu percuma.
Mereka memang harus pindah.
Adik perempuan Dru itu kembali mengatakan, "Kuharap nanti Mbak Yumna cepet bangun dan kita bisa dekor kamar bareng-bareng."
Harapan itu membuat Dru senang sekaligus sedih. Keluarganya—termasuk Dru sendiri, masih berharap Yumna akan bangun meski dokter mengatakan bahwa harapan itu bahkan sangat kecil.
Ada satu masa di mana Dru menyadari bahwa mungkin dokter benar, Yumna tidak akan bangun kecuali ada mukjizat yang datang. Tapi dokter itu juga seharusnya tahu, keluarga Dru bertahan setiap harinya karena harapan yang sekecil titik tersebut.
Mereka bertahan hidup dengan berpegang teguh pada sebuah harapan.
"Kuharap juga begitu," timpal Dru. "Semalem aku udah mulai cicil rapiin kamar Mbak Yumna walaupun belum selesai."
"Nanti biar aku bantu, Mbak."
Sebagian besar perabotan rumah mereka sudah dicicil untuk dibawa ke rumah baru mereka. Hari ini hanya sisa barang-barang esensial, seperti ranjang, lemari pakaian, dan beberapa barang pribadi yang memang baru bisa dibawa hari ini.
Setelah ini, rumah mereka akan benar-benar kosong. Orangtua Dru akan memberikan kunci rumah kepada pemilik barunya di minggu depan, setelah semua selesai diurus.
Semalam adalah kali terakhir mereka semua tidur di rumah yang sudah ditempati Tara dan Dru sejak lahir.
"Keluar aja yuk, Mbak, di sini banyak debu," ajak Tara pada Dru.
Dru mengiakan dan mereka melangkah keluar rumah. Ada lima lelaki yang membantu mereka mengeluarkan barang-barang besar tersebut, dipandu oleh Seno. Kedua kakak beradik itu duduk di teras Rumah Komiko yang sudah kosong. Sang ayah tidak memperbolehkan mereka membantu mengangkat perabotan yang berat-berat tersebut.
"Jujur aja, aku juga sedih kayak Mbak Dru." Tara kembali buka suara. "Tapi kupikir memulai kehidupan baru nggak salah juga. Dengan begini, Mbak Yumna bisa terus dirawat di rumah sakit dan kemungkinan bertahan sampai bangunnya juga besar. Terus kamu nggak perlu ketemu sama si Mas Arjuna lagi, Mbak...."
KAMU SEDANG MEMBACA
[SELESAI] Tuan dan Nona Kesepian
Romance[SELESAI] "Ada yang bilang kalau orang seperti kamu adalah dia yang cintanya sudah habis untuk orang lama, Bim." "Ada juga yang bilang kalau orang seperti kamu adalah dia yang jiwanya udah mati tapi fisiknya masih hidup. Apakah kamu memang begitu, D...