EMPAT – Alasan yang Seharusnya Tidak Ia Dengar
Belakangan ini Dru mulai akrab dengan aroma disinfektan yang mengelilinginya. Sore ini ia berjalan dengan tenang, sambil sesekali menyapa para perawat yang sudah mulai ia kenal baik saking seringnya ke rumah sakit ini.
"Mau jenguk Mbak Yumna ya?" tanya Risa, salah satu perawat yang akrab dengan Dru, karena ia yang sering bertemu dengan Dru saat menjenguk sang kakak.
Yumna sudah dirawat sejak lima bulan yang lalu. Kecelakaan yang menimpanya setelah jam pulang kantor saat itu, membuatnya dalam kondisi bisa bertahan hidup dengan bantuan alat-alat penunjang hidup yang terpasang di tubuhnya.
Sejak dirawat secara intensif itulah, hampir setiap hari keluarga Yumna bergantian menjenguk dan menjaganya di rumah sakit. Makanya Dru bisa akrab dengan sebagian besar perawat di rumah sakit ini.
"Iya. Udah makan belum, Mbak?" Dru menyodorkan tote bag dengan logo Hokben di tangannya kepada Risa. "Tadi aku sekalian beli buat makan Papa sama Mama. Dimakan ya, Mbak, sama temen-temennya."
Risa menatap Dru dengan tidak percaya dan masih enggan untuk menerima makanan yang dibelikan untuk dirinya dan beberapa perawat yang berjaga bersamanya. "Dru... ngerepotin banget lho."
"Nggaklah, Mbak, mana ngerepotin sih? Yang masak kan bukan aku," tukas Dru dengan senyum di bibirnya. "Diterima ya, Mbak, nanti pas ada waktu, dimakan, hehehe."
"Makasih lho, Dru. Mbak terima ya."
"Sip, Mbak. Kalau gitu aku ke kamar Mbak Yumna dulu ya."
Risa mengangguk dan menepuk bahu Dru dengan gestur bersahabat beberapa kali, sebelum membiarkan Dru berlalu menuju salah satu kamar yang dihuni Yumna.
Langkah Dru berhenti di depan pintu kamar rawat inap Yumna. Tangannya sudah hendak terangkat menyentuh kenop pintu, tapi berhenti di udara begitu rasa sesak tiba-tiba muncul di dadanya.
Selalu begini, pikir Dru sambil memejamkan mata, lalu berusaha mengatur napasnya baik-baik. Belakangan ini Dru selalu merasa bahwa ia sering merasa sesak napas begitu mendekati kamar Yumna.
Apakah karena kecemasan yang berlebihan? Entah apa penyebabnya, Dru tidak tahu pasti.
Bagi Dru, Yumna adalah sahabat terbaik yang bisa ia miliki. Di saat semua sahabatnya kala semakin dewasa semakin sibuk dengan kehidupan mereka, selalu ada Yumna di sisi Dru kapan pun ia membutuhkannya—dan juga sebaliknya.
Jadi sewaktu Dru dikabari Yumna kecelakaan dan kondisinya sangat parah... separuh jiwa Dru rasanya pergi begitu saja.
"Mbak? Baru sampai?"
Dru mundur selangkah saat tiba-tiba pintu kamar dibuka dari dalam dan sang ibu, Aida, menyapanya.
"I-iya, Ma." Dru berdeham beberapa kali untuk menghilangkan kegugupannya. "Mama mau ke mana?"
"Mau beli makan. Mau ikut?"
"Nggak usah, Ma, aku udah beliin nih." Tangan kanan Dru mengangkat tote bag yang ia bawa. "Yuk, makan. Aku udah beli buat Papa, Mama, sama aku."
"Oke, ayo, kalau gitu." Aida menggandeng tangan kiri Dru dan mengajaknya masuk.
Di kamar tersebut, ada ayah Dru—Seno, yang menyambutnya dengan senyum walau wajahnya terlihat lelah.
"Baru sampai, Mbak?"
"Iya. Papa sama Mama udah lama?"
"Lumayan. Mamamu duluan yang sampai sih tadi." Seno menepuk sisi kosong di sofa yang ia duduki. "Harusnya kamu tuh langsung pulang aja ke rumah, Mbak. Emang nggak capek dari kantor langsung ke sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[SELESAI] Tuan dan Nona Kesepian
Romantizm[SELESAI] "Ada yang bilang kalau orang seperti kamu adalah dia yang cintanya sudah habis untuk orang lama, Bim." "Ada juga yang bilang kalau orang seperti kamu adalah dia yang jiwanya udah mati tapi fisiknya masih hidup. Apakah kamu memang begitu, D...