TIGA – Selembar Kenangan yang Ingin Dibuang
"Bareng yuk, Mas."
Bima baru saja keluar dari ruang kerjanya, saat Deka bertanya kepadanya. Deka juga ternyata baru keluar dari kamarnya dengan setelan kerja yang gayanya tidak jauh beda dari Bima.
"Hmmm."
Bima tidak langsung menjawab, ia menimbang-nimbang tiga komik Detective Conan yang berbeda dari yang kemarin ia ambil. Karena dua komik kemarin selesai Bima baca bahkan sebelum perjalanan pulang, akhirnya hari ini ia memutuskan untuk membawa tiga komik.
"Mas juga kan masih bisa baca komik di mobil." Deka sepertinya juga memperhatikan tiga komik yang baru diambil Bima. "Yuk, daripada naik TransJakarta atau GrabBike."
"Ya udah, ayo." Bima akhirnya mengangguk.
Kakak beradik itu pun berpamitan kepada orangtua mereka, lalu menaiki Wuling Almaz milik Deka yang baru dikeluarkan oleh adik Bima tersebut dari garasi. Sambil berjalan menuju mobil Deka, Bima melirik sekilas Honda HR-V miliknya yang terparkir rapi di garasi.
"Oh ya, hari Sabtu nanti aku bawa mobil Mas ke bengkel ya," kata Deka saat mereka sudah di dalam mobilnya. "Udah jadwal ganti olinya juga kan."
"Oke. Nanti aku transfer buat ke bengkelnya."
"Nggak usah nggak apa-apa kok, Mas. Paling berapa sih ganti oli sama cek mesin?"
Bima melirik adiknya yang menyetir dengan tenang, mengingatkan Bima kalau sudah cukup lama sejak terakhir kali ia menyetir sendiri seperti yang dilakukan Deka sekarang.
"Tenang, walaupun aku abis beli satu isi rental komik, aku masih mampu bayarin service mobilku kok."
Deka tergelak keras mendengar candaan Bima yang diucapkan dengan datar. Kalau orang lain yang mendengar ucapan Bima barusan, mungkin mereka akan menganggap bahwa Bima baru saja merasa tersinggung. Akan tetapi, Deka yang sudah bersama dengan Bima seumur hidupnya, mengerti bahwa kakaknya sedang mencandainya.
"Tahu aja kalau aku mikir Mas Bima lagi krisis moneter padahal sekarang baru tanggal 7," balas Deka dengan nada humor yang kental. "Nggak perlu traktiran service mobil nih berarti?"
"Nggak perlu," tukas Bima santai. "Nanti aja traktir aku makan pas tanggal tua kalau aku kena krisis moneter beneran."
Kini Bima ikut tertawa dengan Deka. Deka pun menepuk bahu Bima beberapa kali, masih sambil tertawa dan sesekali meliriknya.
"Udah lama nggak denger kamu ngakak gini, Bang."
Komentar itu sederhana, tapi senyum simpul langsung muncul di wajah Bima. Deka memang terkesan cuek, tapi sebenarnya ia adalah orang yang sangat peduli pada orang-orang di sekitarnya. Sejak kepergian Maya, Deka selalu memastikan bahwa Bima selalu baik-baik saja dan selalu berusaha menemani Bima, kalau dirasa Bima sedang butuh teman.
Ada kalanya Bima merasa tidak menjadi kakak yang baik, karena kalau dipikir-pikir, sepertinya lebih banyak kontribusi Deka di dalam hidup Bima daripada sebaliknya. Padahal Bima adalah kakak, tapi Deka bisa bersikap jauh lebih dewasa dibanding dirinya.
"Kalau nanti kamu traktir aku selama dua minggu, aku bakal lebih rajin tertawa kok," canda Bima yang lagi-lagi menuai tawa Deka.
Bima menggeleng pelan, geli dengan adiknya yang mudah sekali dibuat tertawa. Ia pun membuka salah satu komiknya setelah Deka menaikkan volume stereo mobil yang sedang mengumandangkan lagu dari Arctic Monkeys—pertanda bahwa Deka mempersilakan Bima untuk membaca komiknya sesuai dengan yang ia sarankan tadi saat di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[SELESAI] Tuan dan Nona Kesepian
Romance[SELESAI] "Ada yang bilang kalau orang seperti kamu adalah dia yang cintanya sudah habis untuk orang lama, Bim." "Ada juga yang bilang kalau orang seperti kamu adalah dia yang jiwanya udah mati tapi fisiknya masih hidup. Apakah kamu memang begitu, D...